Kisah Traveler Wanita Asal Indonesia Jalani Puasa di Negara Komunis

Bagi traveler sejati, rasanya tak ada waktu yang tidak tepat buat traveling. Pada momen bulan suci ini justru traveler bisa melihat dan merasakan sendiri suasana Ramadan yang unik, beda dari tempat tinggal.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 08 Jun 2018, 18:00 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2018, 18:00 WIB
Dewi Choiriyah berfoto bersama suku Naxi di Baisha Village. (Dok. Dewi Choiriyah)
Dewi Choiriyah berfoto bersama suku Naxi di Baisha Village. (Dok. Dewi Choiriyah)

Liputan6.com, Bandung - Banyak orang berpendapat bahwa bulan puasa bukan waktu yang cocok untuk traveling. Namun bagi traveler sejati, rasanya tidak ada yang namanya waktu yang tidak tepat buat traveling. Pada momen bulan suci ini justru traveler bisa melihat dan merasakan sendiri suasana Ramadan yang unik, beda dari kota tempat dia tinggal.

Seperti yang dilakoni Dewi Choiriyah yang berpuasa sambil traveling ke negeri Cina. Dewi adalah wanita asal Indramayu, Jawa Barat. Dia sudah berhari-hari beribadah puasa di negara dengan paham komunis, di mana banyak orang berpikir Cina atau Tiongkok merupakan wilayah yang praktek agamanya jarang dilakukan.

Sejak 28 Mei 2018, sampai sepuluh hari, Dewi sudah kenyang menjalani Ramadannya di negeri komunis tersebut. Ia memulai perjalanan dari Kunming ke Lijiang dan Shangrila.

"Saya janjian ketemu sama teman dari Indonesia di Kunming. Karena dia sampai Kunming tanggal 29 Mei, saya berangkat sehari Iebih dulu dari dia. Meskipun kita berdua tidak lancar berbahasa Cina, sejauh ini perjalanan lancar saja karena orang Cina apalagi di Provinsi Yunan ini selain dikenal sebagai tempat asal nenek moyang orang Indonesia, mereka juga baik banget," cerita Dewi pada Liputan6.com.

Dewi bertutur, pernah suatu waktu dalam perjalanan malam, ia dan temannya mencari stasiun kereta.

"Meskipun kita tanya dalam Bahasa Inggris, mereka tidak mengerti. Tapi pas kita tunjukkan gambar stasiunnya, mereka bahkan bersedia mengantar sampai depan stasiun padahal itu sedang hujan," tuturnya.

Dalam daftar perjalanan yang disiapkan Dewi di antaranya mengunjungi tempat-tempat bernuansa alam dan pegunungan. Namun demikian, ibadah puasa tetap bisa dilakukan tanpa ada halangan berarti.

"Serunya traveling pas bulan puasa di sini itu waktu sangat tidak terasa. Tiba-tiba sudah hampir magrib. Meskipun berpuasa di sini lebih lama dari Indonesia yaitu sekitar 16 jam dan di sini waktu berbuka puasa pukul 8.01 malam," kata wanita yang bekerja sebagai wiraswasta ini.

Seperti diketahui, durasi berpuasa di Indonesia, yang dilintasi garis ekuator, cenderung stabil setiap tahunnya. Kebanyakan di angka 12-13 jam per hari. Sedangkan RRC yang beriklim subtropis, lamanya berpuasa di sana memang sedikit lebih lama.

"Ketika traveling di bulan puasa ini, saya menggunakan aplikasi muslim pro di telepon genggam untuk melihat waktu imsak dan berbuka," ujarnya.

Pengalaman Istimewa di Bulan Ramadan

Penduduk lokal di Shangrila berkumpul sambil menyetel lagu-lagu Tibet dan berjoget mengelilingi alun-alun kota. (Dok. Dewi Choiriyah)
Penduduk lokal di Shangrila berkumpul sambil menyetel lagu-lagu Tibet dan berjoget mengelilingi alun-alun kota. (Dok. Dewi Choiriyah)

Melancong ke negeri orang tentu saja sebuah pengalaman berharga. Begitu pula bagi Dewi. Kesempatan itu juga memberikannya pengalaman untuk menikmati Ramadan di sana.

Sebagai muslim dan berjilbab, pengalaman itu memberinya pelajaran tentang sikap toleransi dan menghargai perbedaan. Dewi yang terbiasa hidup sebagai mayoritas di negeri sendiri, namun dalam satu kesempatan hidupnya, harus merasakan jadi kelompok minoritas di negeri orang.

"Apalagi kalau kita cari-cari restoran terus ketemu restoran halal. Pengalaman ketemu restoran halal aja serasa ketemu sama keluarga baru, senang banget. Ya, meskipun agak berlebihan tapi ya itu yang bisa saya rasakan," ujarnya.

Sejak berada di Shangrila selama dua hari, Dewi traveling sendirian. Teman perjalanannya sudah pulang ke Indonesia karena waktu liburan sudah habis. Pernah suatu waktu dari Lijiang ke Shangrila, dia naik bus selama empat jam. Sesampainya di terminal bus, Dewi tak tahu arah jalan menuju hostel.

"Kemudian saya tanya orang lokal yang kebetulan suami istri baru turun dari bus yang sama. Dia coba bantu dengan menggunakan peta yang saya bawa bahkan sampai bertanya ke orang-orang di terminal. Begitu jemputan mobil mereka datang, saya disuruh masuk mobil dan diantar ke penginapan," tutur Dewi.

Ada juga kisah ketika Dewi mencari makan untuk berbuka puasa. Waktu itu pilihannya adalah restoran halal di Shangrila.

"Saya tunjuk di menu harganya 15 Yuan. Pas bayar yang punya warung bilang 13 Yuan saja, meskipun korting cuma dua Yuan alias sekitar Rp 5 ribuan, rasanya bahagia. Mungkin berkah Ramadan," selorohnya.

Begitu pula saat Dewi menginap di salah satu hostel di kawasan Shangrila. Awalnya, ia memesan hostel dengan kamar dorm alias campur beberapa orang satu kamar. Mengingat kamar tipe dorm hanya Rp 130 ribu per malamnya.

"Pas check in, resepsionisnya tahu saya cewek pakai jilbab. Kamar Ialu di-upgrade jadi private room,“ tukas Dewi.

Sedangkan untuk menu sahur, Dewi memilih membeli buah-buahan seperti pisang, leci, apel dan buah-buahan lokal. Sebenarnya, pihak hostel menyediakan mie instan, tapi Dewi tak mau memilih mie dengan kemasan cup karena ada wijen di dalamnya.

Menyingkirkan Rasa Takut

Pemilik salah satu resto di Shangrila beragama muslim dari suku Hui. (Dok. Dewi Choiriyah)
Pemilik salah satu resto di Shangrila beragama muslim dari suku Hui. (Dok. Dewi Choiriyah)

Dewi tidak seperti kebanyakan wanita lain. la memiliki keberanian tinggi untuk traveling bahkan solo traveling sekalipun. Tak disangkal bila rasa takut dan merasa asing di suatu tempat seringkali menjadi faktor penghalang untuk melakukan perjalanan tanpa adanya orang lain.

"Sebelum saya benar-benar pergi kekhawatiran itu memang tidak bisa dipungkiri. Tapi, setelah dijalani toh ternyata baik-baik saja. Bahkan, di perjalanan ini saya menemukan banyak sekali malaikat tak bersayap," kata wanita berusia 32 tahun ini.

Meski menjadi salah satu minoritas karena memakai jilbab di negeri komunis, Dewi justru merasakan perlakuan orang setempat baik padanya.

"Bukan hanya ramah tapi mereka juga tak segan untuk menolong saya," kenang Dewi.

Selain diantar oleh sepasang suami istri saat menanyakan alamat hostel, pernah dalam perjalanannya menuju Old Town Shangrila, seorang bapak tak segan untuk mengantarkan ia naik bus. Meskipun Dewi mengaku tidak bisa berbahasa Cina.

"Jadi untuk komunikasinya saya pakai bahasa Indonesia bahkan terkadang saya pakai bahasa Indramayu, dia pakai bahasa Cina," ucapnya.

Begitu juga saat Dewi hendak pulang dari sebuah toko teh. Ketika itu, ia ingin menuju halte bus tujuan Stasiun Lijiang untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Kunming. Dewi diantar oleh pelayan wanita di toko teh dengan payung karena kondisi sedang hujan dan Dewi tidak punya payung.

Bahkan, keramahan warga di sana sangat luar biasa baik. Sewaktu dari hostel di Shangrila untuk melanjutkan perjalanan ke Lijiang, dalam suasana gerimis, si resepsionis turut memayungi dan membawakan tas kecil yang cukup berat saat itu.

"Padahal saya tidak bisa berbahasa Cina. Bahkan, Inggris saya bisanya "broken inggris" alias bahasa Inggris bisa di jalan," kata Dewi sambil terkekeh. (Bersambung)

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya