Jalan Panjang dan Berliku Guru Besar Unpad Menemukan Pengobatan TBC Otak

Penyakit TB ternyata tak hanya menyerang paru-paru saja, tapi juga dapat menyerang otak. Penyakit TB yang menyerang otak ini biasa disebut dengan Meningitis tuberkulosis.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 05 Agu 2018, 08:00 WIB
Diterbitkan 05 Agu 2018, 08:00 WIB
Prof. Rovina dalam diskusi Riung Karsa bertajuk Tantangan Pengobatan TBC pada Selaput Otak
Prof. Rovina dalam diskusi Riung Karsa bertajuk Tantangan Pengobatan TBC pada Selaput Otak. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Sembilan tahun lalu, Prof. Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD, sedang mengambil pendidikan program doktor (S3) di Belanda. Selesai menamatkan studinya, ia berkesempatan melakukan riset yang kelak menjadi temuannya untuk mengobati pasien Meningitis tuberkulosis (TB).

Prof. Rovina bercerita, kesempatan untuk melakukan pascadoktoralnya kala itu dimodali hibah pemerintah Belanda. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka itu, ia dan rekan-rekannya meneliti topik yang sedang hangat-hangatnya, yaitu Meningitis tuberkolosis.

"Penelitian ini berat, kita bahkan berhadapan dengan pasien yang sudah sakit berat. Tapi untungnya, kami punya tim yang sangat solid," tutur Prof. Rovina dalam diskusi Riung Karsa bertajuk Tantangan Pengobatan TBC pada Selaput Otak di Taman Bale Rumawat kampus Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, 3 Agustus 2018.

Penyakit tuberkulosis atau TB banyak menyerang warga negara-negara berkembang, tak terkecuali masyarakat di Indonesia. Penyakit ini adalah salah satu penyakit yang membunuh terutama daerah-daerah yang memiliki kondisi udara tidak sehat.

Penyakit TB ternyata tak hanya menyerang paru-paru saja, tapi juga dapat menyerang otak. Penyakit TB yang menyerang otak ini biasa disebut dengan Meningitis tuberkolosis.

Selama ini, kata Prof. Rovina, pengobatan Meningitis TB mengacu pada aturan pengobatan TB paru-paru. Ini disebabkan, belum ada dasar penelitian mengenai pengobatan meningitis TB secara global, sehingga acuannya masih mengikuti dosis pengobatan TB paru-paru.

"Sifat dari selaput otak itu sangat susah dilewati obat. Hanya 10 persen yang bisa menembus selaput otak. Kalau dia cukup dosisnya di paru-paru, jelas tidak cukup untuk di otak,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Unpad itu.

Penyakit Meningitis TB yang menyerang selaput otak, lebih berbahaya dibanding TB yang menyerang paru-paru. Data menunjukkan, dari 10 pengidap meningitis TB, sebanyak 5-7 jiwa tidak dapat terselamatkan.

Selama bertahun-tahun, Prof. Rovina bersama peneliti lainnya melakukan penelitian mengenai pengobatan meningitis TB. Ia berfokus pada penggunaan obat rifampisin, obat utama untuk TB paru-paru yang dinilai sangat kuat tetapi lebih ramah efek sampingnya dibanding obat TB lainnya.

Berdasarkan kasus, hanya sedikit obat yang bisa menembus selaput otak. Prof. Rovina lalu mengeksplorasi peningkatan dosis rifampisin pada penderita Meningitis TB. Tentunya, eksplorasi ini dilakukan kajian yang mendalam dan hati-hati, mengingat proses uji klinik ini melibatkan manusia.

"Uji klinik ini merupakan penelitian tertinggi levelnya dalam penelitian dan tidak main-main. Itu dikaji dengan ketat oleh komite etik dan badan khusus yang mengawasinya," kata dia menjelaskan.

Tak tanggung-tanggung, hampir 8 tahun ia melakukan uji klinik ini. Uji dilakukan kepada pengidap Meningitis TB secara langsung. Pemberian rifampisin dengan dosis yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ini tidak bisa secara oral atau diminumkan kepada pasien. Ini disebabkan, seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalam kondisi tidak sadar.

"Kita lakukan secara injeksi, diberikan melalui infus," tuturnya.

Namun, proses penuh kehati-hatian ini berbuah baik. Peningkatan dosis rifampisin perlahan ternyata menekan angka kematian akibat Meningitis TB hingga setengahnya. Hingga saat ini, penelitian yang dilakukan Prof. Rovina berhasil menaikkan dosis menjadi tiga kali lipat dari dosis yang selama ini ditetapkan.

Guru besar bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi ini menuturkan, peningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa.

Simak video pilihan berikut ini:

Harapan Baru di Dunia Penelitian Tuberkolosis

Prof. Tri Hanggono
Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono menjadi pembimbing penelitian yang dilakukan Prof. Rovina. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Dalam melakukan penelitian ini, Prof. Rovina tidak sendiri. Dengan dibimbing Prof. Tri Hanggono, bersama dr. Ahmad Rizal Ganiem, Sp.S(K), PhD, tim dari Departemen Neurologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, serta tim peneliti dari Radboud University Medical Nijmegen, Belanda, mereka melakukan penelitian ini. Hasil penelitian tersebut kemudian mampu dipublikasikan di jurnal internasional.

Sejak publikasi internasional dan hasil penelitian, Prof. Rovina kemudian mendapat hibah penelitian BOPTN Unpad untuk penelitian kedua. Serta hibah PEER Health dari Amerika Serikat dan PSKLN Kemenristekdikti untuk penelitian ketiga.

Dari penelitian ketiga inilah dihasilkan peningkatan dosis rifampisin tiga kali lipat untuk mengobati meningitis TB. Hasil penelitian ini kembali lolos dipublikasikan di jurnal internasional terindeks Scopus.

"Tetapi, ini masih penelitian. Dalam dunia kedokteran, segala sesuatu itu sangat hati-hati. Ujian terakhir, dilakukan penelitian skala besar, melibatkan banyak pasien dari berbagai benua," paparnya.

Untuk itu, dalam waktu dekat, tim peneliti berkolaborasi dengan konsorsium Meningitis TB internasional akan melakukan penelitian dalam skala besar. Penelitian yang melibatkan lima negara, yaitu Uganda, Afrika Selatan, Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia ini didanai penuh oleh Badan Riset Medis atau Medical Riset Council (MRC) di Inggris.

Jika hasil penelitian besar itu berhasil dan tetap aman, metode pengobatan Meningitis TB akan berubah. Harapannya, temuan Prof. Rovina dan tim ini bisa diajukan sebagai rekomendasi panduan pengobatan meningitis TB kepada Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO).

"Jika kami berhasil menyelesaikan penelitian dalam tiga tahun dan terpublikasi juga maka 2022 sudah ada masukan buat WHO untuk mengubah panduan pengobatan Meningitis TB," tuturnya.

Hindari Merokok

Liputan 6 default 3
Ilustraasi foto Liputan 6

Disinggung terkait usia pasien berpenyakit Meningitis TB, Prof. Rovina menjelaskan, penyakit ini banyak menyerang kelompok usia produktif, yaitu antara usia 20-30 tahun. Satu dari tiga manusia di bumi berpotensi memiliki kuman TB.

"Jika lingkungan berpengaruh, kuman TB akan bergerak atau membelah diri. Yang bisa melindungi TB berkembang biak adalah sistem imun pada tubuh," ucapnya.

Meski 10 persen dari penduduk bumi memiliki kuman TB, kuman ini menurutnya tidak akan berkembang biak jika sistem imun tubuhnya bagus. Akan tetapi bila sistem imun seseorang menurun, kuman TB akan mudah menyerang.

"Menjaga hidup sehat merupakan upaya efektif dalam meningkatkan sistem imun dalam tubuh," tegasnya.

Di sisi lain, ia juga mengingatkan perokok yang sudah terbukti sebagai faktor risiko terjangkit TB. Dengan demikian, larangan merokok sudah tidak diragukan lagi.

"Tidak ada sedikit pun keraguan melarang merokok karena banyak mudaratnya. Dengan TB, sudah jelas," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya