Liputan6.com, Purbalingga - Pagi terasa lesu bagi guru honorer yang tergabung dalam Forum Pendidik dan Tenaga Kependidikan (FHPTK) Purbalingga. Saat anak didik menempuh ujian tengah semester, mereka mesti meninggalkan ruang kelas untuk Istighasah dan doa bersama.
Pintu aspirasi pemerintah untuk mengganti Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 36 Tahun 2018 telah tertutup. Padahal terdapat ratusan honorer K2 yang berusia lebih dari 35 tahun.
Satu jalan terakhir mereka tempuh, yakni mengetuk pintu langit. Istighasah dan doa bersama mereka panjatkan di lima titik Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa, 25 September 2018.
Advertisement
Masing-masing berada di lapangan Desa Bojanegara, Desa Kalimanah, Kecamatan Kemangkon, Kecamatan Karanganyar, dan Masjid Ceng Hoo. Lebih dari 1200 Guru berkumpul dan mengharapkan perubahan untuk nasib yang lebih baik.
Baca Juga
"Ini tinggal kita meminta kepada Gusti Allah sing gawe urip, agar seimbang perjuangan kita," ujar Ketua Forum Honorer Pendidik dan Tenaga Kependidikan (FHPTK) Kabupaten Purbalingga, Abas Rosyadi.
Unjuk rasa sudah mereka lakukan beberapa kali. Sama dengan guru honorer wilayah lain yang menyalurkan aspirasi di kabupaten masing-masing dan di Jakarta.
Petisi serta surat permohonan kepada Presiden pun sudah mereka lakukan. Namun, hingga kini perjuangan mereka belum membuahkan hasil.
"Kami sudah melakukan aksi di alun-alun Purbalingga dan di Jakarta, Sabtu dan Senin, 15 dan 17 September kemarin," ujarnya.
Tidak Putus Asa
Dibalik gaji kecil itu, mereka masih menyimpan harapan pengabdiannya kelak berbuah manis. Seperti Bambang, guru honorer yang sudah mengabdi di SD Palumbungan Kecamatan Karanganyar selama 13 tahun.
Dia tidak putus asa meratapi gajinya yang sebesar Rp 700 ribu per bulan. Sebagai solusi untuk menutup biaya hidup, ia modal nekad membuka bengkel tambal ban di rumahnya.
"Dari bengkel lumayan dapat tambahan sekitar Rp 500 ribu per bulan tergantung rame atau tidak," katanya.
Selain Bambang, guru honorer di SD 1 Kebunderan, Karangangar, Nur Hidayat juga banting tulang mencari penghasilan lain. Sepulang sekolah, dia tidak malu berjualan es pisang hijau untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Gajinya sebagai guru sama dengan Bambang, sekitar Rp 700 ribu. Dengan berjualan es, ia mendapat tambahan laba 30 persen dari omset sekitar Rp 50 ribu - Rp 100 ribu per hari.
"Sudah sekitar satu tahun ini saya berjualan es keliling, biasanya mangkal di depan Bank Jateng, Kecamatan Bobotsari," katanya.
Bagi Bambang dan Yayat, mengajar serta menghidupi keluarga adalah kewajiban. Mereka berharap agar Pemerintah bisa lebih memperhatikan guru honorer sepertinya.
Jika gaji guru honorer mencukupi mereka tidak perlu lagi mencari tambahan penghasilan. Sehingga, bisa lebih fokus dalam mendidik para siswa.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement