Kisah Perjuangan Bidan Ratna Bantu Melahirkan di Tengah Kepungan Banjir Aceh

Bidan Ratna terus berupaya dan melakukan mouth to mouth respiration. Ia memberi pernafasan buatan kepada bayi yang masih berlumur darah dan lendir itu. Sambil menangis, dalam hati, tak henti ia berdoa.

oleh Rino Abonita diperbarui 20 Okt 2018, 13:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2018, 13:00 WIB
Banjir di Aceh Jaya Putus Jembatan dan Isolasi 2.881 Jiwa
Hujan masih terus turun dengan intensitas sedang - tinggi di wilayah Kabupaten Aceh Jaya. (Dok. BNPB)

Liputan6.com, Aceh - Malam itu, ketika banjir mengepung Kabupaten Aceh Singkil, Selasa 16 Oktober 2018, Ratna Berutu (29) sedang berjuang. Di tengah derasnya hujan yang mengguyur Desa Situban Makmur, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, bidan bakti itu berjibaku dengan alat seadanya, menyelamatkan dua nyawa sekaligus.

Saat itu, angkatan ke III Akbid Mitra Husada Medan, Sumatera Utara, lulusan tahun 2011 itu hampir putus asa. Betapa tidak, bayi yang baru merojol dari perut ibunya itu tidak bersuara sama sekali. Tak menangis, tubuhnya pun membiru. Sang bayi mengalami asfiksia, sebuah istilah medis yang merujuk pada kondisi bayi kekurangan oksigen selama persalinan.

"Begitu bayi lahir, biasanya langsung beradaptasi dengan dunia luar dan menghirup udara pertama kalinya. Nah, proses inilah yang memicu respon bayi menangis. Tapi ini tidak, karena bayinya terlilit tali pusar," kata Bidan Ratna Berutu mengawali kisahnya kepada Liputan6.com, Jumat 19 Oktober 2018.

Menurutnya, dalam dunia medis, penanganan bayi lahir tidak menangis, lazimnya dilakukan dengan resusitasi (respirasi artifisialis) melalui alat yang dimasukkan ke dalam mulut bayi untuk mengalirkan oksigen.

Namun, karena berada dalam situasi dimana alat yang dimiliki tak mumpuni, Ratna hanya menepuk-nepuk atau menggosok perut dan punggung sang bayi untuk merangsang pernapasan. Namun bayi itu masih tidak bergeming.

Bidan Ratna terus berupaya dan melakukan mouth to mouth respiration. Ia memberi pernafasan buatan kepada bayi yang masih berlumur darah dan lendir itu. Sambil menangis, dalam hati, tak henti ia berdoa.

"Saya kasih nafas buatan mulut ke mulut. Walaupun dalam keadaan berdarah-darah. Saya menangis sambil berdoa. Minta pertolongan dari tuhan. Supaya diturunkan mukjizatnya ke anak itu," ujar umak Nesya (5) dan Karunia Gibran (3) ini.

Hampir 20 menit lamanya Ratna berjibaku dengan upaya dan doanya, ketika tangis bayi perempuan itu pecah, menyela diantara derasnya hujan malam itu. Si ibu bayi menangis haru. Namun, bukan semata anaknya lahir dengan selamat, tapi mengingat perjuangan sang bidan bakti, Ratna Berutu.

"Kau memang bidan luar biasa! Belum pernah kami jumpai bidan seperti kau. Yang mau ngasih nafasnya langsung dari mulut ke mulut," Ratna meniru ucapan si ibu bayi kepadanya. "Disitu saya mau menangis," lirih Ratna.

Kendati berjalan cukup dramatis, proses persalinan itu berjalan seperti yang diharapkan. Perjuangan Ratna yang sejak pagi menunggui pasien yang hendak melahirkan itu akhirnya terbalaskan. Bayi itu lahir sekitar pukul 20.00 WIB dengan bobot normal.

Cita-cita Sejak Kecil

Bidan Ratna tembus banjir di Aceh Singkil
Bidan Ratna tembus banjir di Aceh Singkil (Liputan6.com/Rino Abonito)

Sejumlah kabupaten/kota di Aceh dilanda banjir dalam seminggu terakhir. Tingginya curah hujan membuat sebagian wilayah terimbas luapan sungai. Banjir dengan ketinggian rata-rata hingga 1,5 meter itu tersebar di 9 kabupaten/kota dari total 23 kabupaten/kota di Aceh.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Teuku Ahmad Dadek, dalam keterangan diterima Liputan6.com, Jumat 19 Oktober 2018, korban terdampak akibat banjir mencapai ribuan Kepala Keluarga (KK).

Di sejumlah kabupaten, sebagian warga mengungsi ke tenda-tenda darurat. Beberapa rumah terdata rusak berat. Sementara di Kabupaten Aceh Singkil, kondisi banjir tak jauh berbeda. Selain akses transportasi lumpuh, satu rumah di Desa Situbuh-tubuh, Kecamatan Danau Paris, tertimbun longsor.

Tak jauh dari pusat Kecamatan Danau Paris, atau sekitar 30 menit berkendara menuju barat, terdapat Desa Situban Makmur. Di desa itulah Ratna Berutu mengabdi sebagai seorang bidan bakti. Ia bersama sang suami, Albiner Brasa serta dua anaknya, tinggal di Pustu Situban Makmur sejak 2013 lalu.

"Saya itu SMAN 1 Gunung Meriah masuk Akbid Mitra Husada Medan. Tahun 2011. 2012 kerja di rumah sakit Singkil di ruang ICU. 2013 baru di Pustu Situban Makmur," sebutnya.

Jerihnya sebagai bidan bakti memang tak mumpuni. Beruntung, wanita kelahiran Gunung Meriah 1989 ini terbantukan oleh suami yang bekerja sebagai operator alat berat di salah satu perkebunan kelapa sawit di desanya.

"Ada upah dari Puskesmas, tapi berupa uang jasa. Uang jasa 3 bulan sekali, Rp 300 ribu. Kalau dari pasien biasanya di klaim dari BPJS pasien. Itupun bisa enam bulan sekali baru bisa diambil. Yang penting ibu dan bayinya selamat. Udah senanglah. Tak ada bantu orang buat naik jabatan," getir Ratna.

Bagi Ratna, menjadi bidan adalah pengabdian hidup. Terlebih, profesi yang digelutinya itu adalah cita-citanya sejak kecil. Kecuali itu, ia punya kisah tersendiri kenapa dirinya begitu termotivasi menjadi seorang bidan.

Ratna tidak ingin apa yang pernah dialami ibunya dialami pula oleh ibu-ibu lain. Ia pernah kehilangan adiknya yang baru mencecap udara tak lama berselang setelah dilahirkan. Kendati ada tangan takdir yang bermain, bagi Ratna, proses melahirkan tanpa bidan yang dilewati oleh sang ibu turut menjadi penyebab.

"Mungkin infeksi, karena saat itu tali pusarnya aja dipotong pakai bambu. Maklum kita di jauh di desa pelosok saat itu. Mana ada bidan," ungkapnya. Setelah kejadian itu, tergetuk di benak Ratna kecil ingin menjadi seorang bidan jika ia dewasa nanti.

"Karenanya, kejadian itu menjadi motivasi saya saat itu. Saya ingin menjadi bidan. Supaya, kalau nanti ada yang melahirkan, janganlah seperti adik saya itu. Karena waktu ibu saya melahirkan, enggak ada bidannya," ucapnya.

Menerjang Banjir

Banjir
Ilustrasi Foto Banjir (iStockphoto)​

Menjadi satu-satunya bidan di desa Situban Makmur membuat Ratna harus sedia setiap saat. Sekalipun tanggungjawab yang disematkan ke pundak perempuan tambun ini kerap menyita waktu istirahatnya. Karena tak jarang, pasien meminta pertolongannya di pagi buta, ketika semuanya sedang terlelap.

Namun bagi Ratna, menolak permintaan pasien berarti melanggar sumpah yang sudah diikrarkannya dulu. Karena itu, berpantang baginya mengulur-ngulur waktu untuk menolong pasien. Selain sedia 24 jam, Ia juga mesti survive dengan segala kondisi atau medan yang harus ditempuh untuk mencapai rumah pasien. Bukan satu kali saja perempuan ini menerobos banjir seketiak demi pasiennya.

"Baru-baru ini saja. Malam hari, saya ditelpon keluarga pasien. Di jemput pake perahu. Namun saya tidak mau naik perahu. Takut jatuh. Maka kami lewat banjir. Lewat sungai berarus deras. Ada sejam. Setelah itu, lewat daratan 20 menit," tuturnya.

Desa Situban Makmur memang cukup terisolir. Dari Rimo, atau pusat kota Kabupaten Aceh Singkil ke desa ini memakan waktu sekitar satu jam lamanya jika berkendara. Saat hujan deras, desa ini kerap digenangi banjir. Di desa ini pula Ratna ditempa. Ia melawan phobianya sendiri.

"Dulunya kita takut sama air, sama ular, itu yang sekarang jadi kawan kita, ngapain kita takut. Itu yang selalu dijumpai disini," ujarnya kekeh.

Selama banjir, Ratna kerap diajak ibu-ibu mencari ikan yang terjebak di parit besar di pinggir desanya. Kegiatan yang baru dilakoninya ini cukup menyenangkan baginya, disela kisah pengabdian 6 tahunnya sebagai seorang bidan bakti.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya