Senja Kala Petani di Tanah Para Dewa

Dieng memang berada di kaldera gunung purba raksasa. Pegunungan dan perbukitan yang mengelilingi Dieng, sejatinya adalah tepian kawah gunung purba raksasa purba.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 28 Jan 2019, 17:01 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2019, 17:01 WIB
Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Berada di ketinggian rata-rata 2.000 meter di atas permukaan laut, keunikan dataran tinggi Dieng atau Dieng, Jawa Tengah sulit dicari duanya. Tak aneh jika bertambah hari, Dieng semakin diminati.

Tiap tahun, ratusan ribu wisatawan datang silih berganti. Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Sumur Jalatunda hingga Bukit Sikunir menjadi lokasi yang tak pernah kehabisan peminat.

Apalagi, sepanjang tahun Dieng punya helatan untuk memikat wisatawan, dengan puncak Dieng Culture Festival (DCF) yang kini telah menjadi agenda wisata nasional. Pariwisata telah menjadi andalan Dieng untuk mendulang rupiah.

Sejak zaman dulu, nyaris seluruh masyarakat Dieng adalah petani. Pun hari ini. Sebagian besar warganya masih menggantungkan hidup dari kesuburan tanah vulkanik muntahan gunung api purba, jutaan tahun lampau.

Dieng memang berada di kaldera gunung purba raksasa. Pegunungan dan perbukitan yang mengelilingi Dieng, sejatinya adalah tepian kawah gunung purba raksasa purba.

Keindahan keunikannya membuat Dieng dikenal sebagai tanah para dewa. Mitologi yang berkembang, Dataran Tinggi Dieng adalah persemayaman para dewa ketika menyambangi dunia.

Kini, pekerjaan masyarakat Dieng semakin beragam. Pariwisata telah mendongkrak perekonomian Dieng, dari yang tadinya daerah miskin terpencil, menjadi salah satu area wisata yang selalu ramai sepanjang tahun.

Ada yang menjajal peruntungan dengan membuka toko oleh-oleh atau memproduksi makanan khas Dieng. Sebagian lainnya, membangun penginapan, atau setidaknya menyulap satu atau dua kamar rumahnya berfasilitas standar penginapan kecil.

Ekonomi pun berkembang pesat. Apa saja yang berbau Dieng laku keras. Istilahnya, orang lokal bilang laris manis tanjung kimpul, dagangan laku keuntungan terkumpul.

Nasib Petani Kentang Dieng

Sajian istimewa kentang dan kopi Dieng. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sajian istimewa kentang dan kopi Dieng. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tetapi, nampaknya, nasib petani di Dieng tak selaras dengan sektor pariwisatanya yang terus menggeliat. Seperti diketahui, Dieng dikenal sebagai penghasil kentang terbaik, kentang Dieng.

Umbinya besar, mulus, dengan warna daging buah yang kuning cerah. Kentang Dieng di pasaran berhagra lebih tinggi dibanding kentang wilayah lainnya.

Kesuburan dan jenis tanah serta iklim yang mendukung membuat kentang Dieng sulit dicari tandingnya. Senyum selalu merekah tatkala panen raya tiba.

Namun, itu dulu. Ketika kentang impor belum membanjir di pasaran. Setahun terakhir ini, petani kentang Dieng lemas lunglai. Harga kentang di pasaran jatuh, meski panen di luar musim sekali pun.

Muntaha, seorang petani di Desa Sumberejo Kecamatan Batur mengatakan saat ini harga kentang hanya Rp 7.500 per kilogram. Dengan harga sebegitu rendah, petani pun rugi.

Dia menjelaskan, bertambah tahun, biaya produksi pertanian semakin tinggi. Semua komponen biaya naik, mulai dari biaya tenaga kerja, pupuk, obat-obatan dan biaya variabel lainnya.

“Belum mampu menutup biaya produksi yang terus naik,” katanya, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, petani baru bisa menutup modal dengan sedikit keuntungan jika harga kentang berada di kisaran harga Rp 9.000 per kilogram. Di bawah itu, petani merugi.

Impor Kentang Bikin Petani Terpuruk

Tanaman kentang Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Tanaman kentang Dieng, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Dia pun yakin, harga kentang jatuh bukan lantaran hasil panen di daerah lain melimpah. Pasalnya, hanya ada beberapa wilayah di Indonesia yang bisa ditanami kentang dengan hasil optimal.

Dan Dieng, menurut Muntaha, adalah penghasil kentang terbesar di Indonesia. Di luar itu, ada kawasan Tengger, Bromo, dan Pangalengan, Bogor.

Namun, mesti diakui, produksi kentang dua daerah ini tak semelimpah Dieng. Bahkan, kentang Dieng diakui merupakan kentang terbaik di Indonesia.

Sebab itu, ia yakin penurunan harga kentang disebabkan oleh impor kentang. Kentang impor itu membanjiri pasaran dan menyebabkan kentang lokal terdesak.

“Penurunan harga kemungkinan karena ada impor itu,” dia mengungkapkan.

Sebenarnya, bukan kali ini petani kentang di Dieng menderita. Tahun 2016 lalu, petani juga sempat rugi besar akibat anjloknya harga kentang.

Saat itu, ratusan petani Dieng bahkan sempat berunjuk rasa di Gedung DPR, Kementerian Perdagangan hingga Kementerian Pertanian. Mereka menuntut agar pemerintah menghentikan impor sayur, utamanya kentang.

Nampaknya, sayup tangisan petani kentang itu dianggap angin lalu. Impor kentang jalan terus. Sementara, petani berhadapan dengan biaya yang terus membengkak.

Berbeda dengan aksi spontan petani dua tahun lampau, kini petani memilih jalan lain. Mereka berkomunikasi dengan pemerintah daerah untuk mencari solusi.

“Kami belum ada rencana untuk kembali demonstrasi,” ucap dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya