Liputan6.com, Jakarta Siapa yang tidak kenal cokelat? Makanan yang satu ini memiliki penggemar yang tidak sedikit. Nyaris semua orang menyukai manis dan legitnya cokelat.
Biasanya cokelat dikombinasikan dengan buah, aneka kacang, atau bahkan minuman beralkohol. Di tangan Dyah Sunanik, cokelat berkolaborasi dengan tempe yang menghasilkan kesan tidak terlupakan dan enggan ditinggalkan.
Gigitan pertama cokelat tempe, sensasinya melekat sampai akhir. Bahkan ketika cokelat tempe sudah habis dikunyah, orang cenderung mengambil lagi, dan kembali menikmati.
Advertisement
Baca Juga
Sepintas, teksturnya mirip dengan cokelat yang dicampur dengan rice crispy atau kacang mete cincang. Tetapi sensasi berbeda ketika berada di lidah. Cokelat melumer dan renyahnya tempe menyeruak, menghasilkan bunyi krenyes-krenyes ketika dikunyah.
Cokelat tempe yang dibuat Dyah diberi label Cokelat Tempe Pawiro. Cokelat dikemas dalam ukuran 11 gram.
Cokelat tempe dijual eceran Rp 1.500 per buah. Namun, konsumen juga bisa membeli dalam kemasan stoples berisi 24 buah seharga Rp 35.000 dan 100 buah seharga Rp 135.000. Cokelat Pawiro bisa bertahan sampai 10 bulan tanpa bahan pengawet.
Cokelat yang dipasarkan di banyak sekolah di DIY ini bisa diperoleh juga di supermarket, kafe, atau via online. Sekalipun dibuat secara manual, cokelat tempe juga sudah mengantongi PIRT.
Rumah produksi cokelat tempe Pawiro berlokasi di RT 44 Labasan Pakembinangun Sleman (Primatel foto kopi). Tidak sulit mencari tempat produksi cokelat tempe karena hanya berjarak 200 meter dari Pasar Pakem ke arah barat.
Produksi 1.000 Buah Cokelat Tempe per Hari
Perempuan berusia 54 tahun ini menjalani usaha cokelat tempe Pawiro pada Agustus 2018. Ia berani memasarkan secara luas produknya setelah perizinan selesai diurus.
Sebelumnya, ia sebatas menjual produknya ke sekolah-sekolah terdekat. Bahkan sebelum diberi merek Pawiro ia memakai merek Krenyes-Krenyes.
"Saya sering membagikan cokelat tempe dan orang bilang rasanya krenyes-krenyes, akhirnya saya pakai saja jadi merek, ketika PIRT keluar baru saya ganti dengan nama Pawiro, nama mbah saya," ujar ibu dari tiga anak ini, Rabu (30/1/2019).
Dalam sehari ia membuat 1.000 buah cokelat tempe dibantu oleh dua karyawannya. Ia bekerja dari pukul 08.00 sampai 16.00 WIB setiap hari, mulai dari produksi sampai pengemasan.
Dyah membutuhkan 10 kilogram adonan cokelat dan tempe per hari. Komposisinya 50 persen cokelat dan 50 persen tempe.
Cokelat yang digunakan juga bukan sembarangan. Ia menerapkan bahan berkualitas karena produknya juga dikonsumsi sendiri.
"Saya juga tidak ingin mengonsumsi makanan yang bahannya sembarangan, jadi pilih cokelatnya pun yang berkualitas, menggabungkan beberapa jenis cokelat batangan dan bubuk," kata Dyah.
Advertisement
Siap Mendunia
Rencana Dyah selanjutnya adalah mencetak cokelat tempe Pawiro untuk dipasarkan secara global. Lewat sejumlah pelatihan, ia memilih tempe dan cokelat karena keduanya asli Indonesia.
"Selama ini orang mengidentikkan cokelat dari Eropa atau Amerika, padahal Indonesia penghasil cokelat terbesar ketiga di dunia," ucapnya.
Indonesia menghasilkan cokelat 400.000 ton per tahun, dua negara di atasnya adalah Pantai Gading dan Ghana.
Menurut Dyah, cokelat dalam negeri kurang dikenal karena nilai budaya dalam produk cokelat kerap diabaikan. Selama ini isi cokelat monoton dan kerap meniru cokelat impor.
"Karena isi yang monoton itu akhirnya saya mencampur dengan tempe yang merupakan produk asli Indonesia dan dikenal di seluruh dunia," ujar Dyah.