Liputan6.com, Jakarta - Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), berpotensi menjadi lokasi perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi. Beberapa daerah di sekitar kawasan TNKS dan di bentang alam Bukit Balai Rejang Selatan diyakini menjadi lokasi penampungan, penyembunyian dan lokasi transaksi perdagangan satwa liar dilindungi seperti harimau sumatera, gajah sumatera, atau trenggiling.
Kepala Balai KSDA Bengkulu Lampung Donal Hutasoit menyatakan sejak 2015 hingga Desember 2018 tercatat 18 kasus perdagangan dan kepemilikan satwa liar dilindungi yang berhasil dibongkar oleh aparat penegak hukum di Provinsi Bengkulu dengan melibatkan 21 tersangka.
Advertisement
Baca Juga
“Dari serangkaian kasus yang ada, tuntutan pidana dan putusan pengadilan yang diterima tersangka sangat bervariasi. Salah satu contoh kasus pedagang organ harimau sumatera dengan barang bukti kulit harimau dan bagian lainnya memperoleh hukuman tertinggi yaitu vonis empat tahun penjara, denda limapuluh juta rupiah, dan subsider dua bulan kurungan oleh Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu Utara,” jelas Donal.
Donal menambahkan bahwa pada beberapa kasus serupa masih mendapatkan vonis yang terbilang sangat ringan jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku.
Tingkat perburuan di alam yang masih tinggi juga masih terjadi di kawasan TNKS. Perburuan di alam dapat dilihat pada saat kegiatan monitoring dan patroli. Tim patroli dapat menghitung jumlah jerat yang ditemui selama tim berada di dalam hutan.
Administrator Pelestarian Harimau Sumatera, Fauna & Flora International Indonesia Programme Iswadi menjelaskan dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, tim patroli di Bengkulu menemukan 20 jerat untuk harimau dan 113 jerat mangsa. Di antara penemuan jerat selama patroli, tim menghitung ada enam harimau yang terkena jerat tersebut.
“Kami sering menemukan pemburu saat kami melakukan patroli bersama BKSDA Bengkulu. Tidak segan-segan kami memberikan sanksi kepada mereka berupa surat peringatan bahkan kami tahan untuk segera diadili,” jelas Iswadi.
Demi mendukung penyelamatan satwa liar dan memberikan efek jera kepada pemburu dan pedagang satwa liar, maka diadakan kerjasama antara aparat penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim yang menangani kasus-kasus tersebut. Kerjasama tersebut termasuk dalam peningkatan pengetahuan, kapasitas serta kepedulian aparat penegak hukum.
Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara Kejaksaan Agung Republik Indonesia Ricardo Sitinjak saat ditemui pada in house training penanganan perkara kejahatan di Bengkulu pada 26 Maret 2019 mengapresiasi pelatihan ini sebagai bentuk dukungan pengetahuan dan prioritas penanganan kejahatan untuk satwa liar bagi jaksa yang memiliki sertifikat.
“Bila berbicara masalah unsur pasal, jaksa sudah sangat mengerti. Namun mereka perlu diberi pengetahuan mengapa harus melindungi satwa liar dan fungsi satwa liar di alam. Perlu juga diberikan pengetahuan bahwa pada saat satwa liar tertangkap dan sisi liarnya masih terlihat, maka harus segera dibuat berita acara dengan dokumentasi sebagai tanda bukit untuk segera dilepasliarkan untuk mengurangi stres pada satwa tersebut,” jelas Ricardo.
Ricardo menambahkan bahwa kegiatan serupa perlu diadakan di kejaksaan tinggi pada setiap ibukota Provinsi agar lebih efektif dan dapat dipahami oleh setiap jaksa berwenang.