Liputan6.com, Jayapura - Vince Rumbewas, 35 tahun, seorang penyandang disabilitas, selalu mempercayakan anak atau keluarganya, untuk menemaninya ke dalam bilik suara, setiap hajatan pesta demokrasi dilakukan.
Menurut ibu tiga orang anak ini, hak suara yang dipilihnya lebih terjamin rahasianya, dibandingkan ia ditemani oleh seorang relawan yang disediakan oleh penyelenggara pemilu.
"Kalau sa (saya) mau coblos A atau B, pasti anak atau keluarga yang temani di bilik suara selalu mengikuti kemauan saya. Ada perasaan yang janggal, jika pilihan sa diketahui oleh seorang relawan yang ditugaskan, walaupun sa kenal dorang (mereka)," kata Vince.
Advertisement
Baca Juga
Vince mengaku, rata-rata komunitas di tempat tinggalnya yang biasa disebut Komunitas Humania Polimak, lebih mempercayakan anak atau keluarganya dalam menentukan pilihan dalam pesta demokrasi.
Komunitas Humania Polimak merupakan komunitas penyandang disabilitas netra. Kata Vince, ada lebih dari 60 orang pemilih yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilihan presiden dan legislatif tahun ini.
"Komunitas kami ini juga menyebar di Abepura. Biasanya mereka yang di Abepura pergi ke Polimak untuk menyalurkan hak pilihnya. Sa tra tau (saya tidak tau) jumlah dorang yang di Abe berapa banyak," jelas Mama Corry menimpali obrolan dengan Liputan6.com di Jayapura.
Corry menceritakan, tahun 2002, Komunitas Humania tak satu orang pun terdata dalam DPT. Saat ini, banyak penyandang disabilitas protes, karena tak bisa menyalurkan hak pilihnya. Beruntung ada kelompok warga yang terus menyuarakan hak bagi penyandang disabilitas untuk tetap bisa memberikan suaranya dalam setiap pesta demokrasi.
"Mulai saat itu, kita tra (tidak) percaya dorang (penyelenggara pemilu). Termasuk relawan-relawan yang dorang (penyelenggara pemilu) berikan. Makanya, kalau mau coblos, kita minta anak-anak saja yang temani," jelas Corry.
Saksikan video menarik berikut ini :
Minim Pendataan
Adalah Roby Nyong, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Jayapura, salah satu orang yang selalu bersuara keras, untuk difabel diberikan hak memilih sama dengan warga lainnya.
Anehnya, sejak pilkada Walikota Jayapura 2014, lalu berlanjut ke pilkada Gubernur Papua 2017 dan pemilu 2019, data yang digunakan oleh KPU setempat tak pernah berubah.
Untuk pemilu tahun ini, hanya ada 162 orang difabel yang masuk dalam DPT, dari jumlah difabel yang memiliki hak suara 700-an orang.
"Melihat masalah ini, sama saja tak ada keberpihakan kepada difabel dari KPU. Harapannya, KPU harus bekerja lebih profesional dalam mendata pemilih difabel. Bukan hanya itu, harusnya KPU juga melakukan koordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Jayapura," kata Roby, usai pertemuan sosialisasi hak politik penyandang disabilitas dan pengawasan pemilu partisipatif bersama komunitas difabel Kota Jayapura yang dilakukan oleh Bawaslu Kota Jayapura, Jumat (5/4/2019).
Roby menyebutkan jika masalah ini dibiarkan, sama saja penyelenggara pemilu melakukan diskriminasi terhadap hak politik disabilitas.
"Jangan hanya disabilitas dijadikan obyek, tapi jadikanlah mereka subyek," ujarnya.
Kata Roby, dari 700-an pemilih disabilitas, sebagai besar sudah melakukan perekaman e-KTP, walaupun ada sejumlah difabel berat yang belum melakukan perekaman e-KTP.
"Untuk kasus ini, harusnya Dukcapil menjemput bola, menghampiri difabel untuk melakukan perekaman e-KTP. Apalagi sangat tidak mungkin, jika penyandang disabilitas mengurus surat keterangan (suket)untuk waktu yang relatif singkat jelang pemilu," ucapnya.
Roby melanjutkan hal lain yang harusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilu adalah membuat TPS khusus untuk difabel. Apalagi difabel rata-rata telah memiliki komunitas, sehingga mudah untuk dikumpulkan.
"TPS khusus difabel pernah dilakukan di Papua Barat, saat pilkada gubernur tahun lalu. TPS ini ramah difabel dan sangat baik untuk ditiru," jelas Roby.
Bukan hanya di Kota Jayapura, menurut Roby dari 16 ribu difabel yang tersebar di Provinsi Papua, hanya ada 2000-an orang yang terdaftar di DPT.
"Pendataan yang dilakukan penyelenggara ini kan aneh. Padahal penyelenggara katanya mendatangi rumah ke rumah dalam pendataan," jelasnya.
Advertisement
Kata Penyelenggara Pemilu
Bawaslu Kota Jayapura pada tahapan pemilu tahun ini sengaja melakukan pertemuan dengan penyandang disabilitas. Kegiatan ini baru kali pertama dilakukan oleh Bawaslu Kota Jayapura, dibandingkan dengan kepengurusan bawaslu sebelumnya.
Bawaslu Kota Jayapura menganggap penting untuk melihat dari dekat hak politik penyandang disabilitas dan pengawasan pemilu partisipatif bersama komunitas difabel Kota Jayapura.
Komisioner Bawaslu Kota Jayapura, Rinto Pakpahan menyebutkan hak politik difabel memiliki kesetaraan dengan hak pemilih lainnya. “Keterbatasan difabel yang dimiliki bukan hambatan, sehingga kami melakukan kegiatan ini, agar difabel paham dan mengetahui akan hak politiknya dalam setiap pesta demokrasi,” kata Rinto.
Termasuk dalam pembuatan TPS khusus difabel, kata Rinto, hal ini bisa saja dilakukan. Hanya saja waktu yang telah mepet saat ini, Bawaslu Kota Jayapura khawatir TPS itu tak bisa terwujud.
"Aturannya memang tak melarang. Namun hal yang lebih penting adalah bagaimana mengajak difabel untuk menggunakan hak pilihnya. Menggugah suara hatinya untuk datang ke TPS," jelas Rinto.
Hanya saja, karena minimnya pendataan difabel dari tahun ke tahun, Bawaslu Kota Jayapura akan berkoordinasi dengan KPU dan Dukcapil setempat untuk melihat data DPT bagi penyandang disabilitas.
Bawaslu Kota Jayapura yakin dengan sisa waktu yang ada, bisa meningkatkan jumlah pemilih bagi difabel.
"Kami masih diberikan penambahan DPT hingga H-7. Saya yakin ini bisa dilakukan," kata Rinto.
Bawaslu juga akan memprioritaskan difabel yang belum masuk DPT, agar bisa menyalurkan hak pilihnya pada pukul 12.00 – 13.00 WIT, setelah seluruh DPT yang ada di TPS itu selesai pencoblosan.
"Apalagi surat suara di setiap TPS ada 2% untuk cadangan," ujar Rinto.
Anehnya, KPU Kota Jayapura tak mengetahui minimnya pendataan bagi difabel pada pemilu tahun ini. Ketua KPU Kota Jayapura, Oktavianus Injama menyebutkan justru baru mendengar permasalahan ini.
"Sejak dilantik sampai sekarang, kami belum mendapatkan informasi itu. Tapi kami memiliki relawan yang fokus pada disabilitas, namun laporannya tak kami terima," ujar Injama.
Wajar saja, jika Mama Corry dan Mama Vince tak mempercayai relawan untuk menemaninya dibalik bilik suara. Untuk masalah pendataan saja, penyelenggara pemilu lempar tanggung jawab.
"Harapan kami, siapapun yang menang, presiden atau dorang (mereka) yang duduk di DPR, bisa melihat kami, orang kecil ini, orang yang penuh keterbatasan. Misalnya saja membuat peraturan daerah yang ramah bagi difabel," kata Corry yang juga disetujui oleh Mama Vince.