Nostalgia Awal Jokowi Terjun Dunia Politik

Jauh sebelum menjadi presiden, Jokowi merupakan pengusaha mebel di Solo. Setelah itu, ia mencoba peruntungannya dengan maju Pilkada Solo 2005.

oleh Fajar Abrori diperbarui 13 Apr 2019, 01:00 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2019, 01:00 WIB
Jokowi Mantan Wali Kota Solo
Capres nomor urut 01 Jokowi saat menggelar kampanye di lapangan Stadion Sriwedari Solo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Solo - Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi awalnya merupakan seorang pengusaha mebel di Solo. Ia menapaki karir organisasi profesional sebagai Ketua Komda Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda Solo Raya pada tahun 2002.

Siapa sangka sepak terjang mengurusi asosiasi yang bergerak di industri perkayuan dan kerajinan itu menjadi pembuka Jokowi untuk terjun ke dunia politik.

David R Wijaya masih ingat betul ketika para pengusaha mebel yang tergabung dalam Asmindo Komda Solo Raya menginginkan Jokowi untuk maju sebagai salah satu calon dalam Pilkada Solo tahun 2005. Pemilihan kepala daerah secara langsung itu merupakan yang pertama kalinya digelar di Solo.

Keinginan mengajukan Ketua Asmindo Komda Solo Raya untuk maju sebagai calon wali kota karena sesama rekan pengusaha mebel itu mengingingkan agar Solo dipegang oleh pengusaha, bukan kalangan militer maupun birokrasi seperti pejabat sebelumnya.

Apalagi potensi ekonomi, perdangangan, dan pariwisata di Solo cukup bagus sehingga membutuhkan sentuhan pengusaha untuk memajukannya. Lantas, para pengusaha mebel itu ingin sekali memunculkan nama Jokowi.

Hal ini sangat beralasan karena sosok Jokowi di hadapan mereka sudah terbukti kesuksesannya, seperti menciptakan kawasan terpadu untuk industri permebelan di Kali Jambe, Sragen. Di kawasan itu antara eksportir mebel, perajin mebel, dan lainnya, menjadi satu sehingga saling menguntungkan dan memudahkan.

David pun mengapresiasi kinerja Jokowi sebagai Ketua Asmindi Komda Solo Raya saat itu dengan berbagai hasil kinerjanya. Tak pelak, gebrakan dan hasil tangan dingin Jokowi itu kian diperhitungkan di kancah nasional pada waktu itu. Terlebih, dalam usahanya memberdayakan potensi industri permebelan di kawasan Solo Raya.

"Pak Jokowi itu visi dan misinya jauh ke depan dan orang yang optimis. Saat itu, beliau berkeinginan agar potensi industri mebel di Solo bisa menyalip Jepara. Pak Jokowi memunculkan ide membuat kawasan industri mebel untuk para eksportir dan perajin di Kalijambe, Sragen," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis, 11 April 2019.

Dorongan Ikut Maju Pilkada

Jokowi Mantan Wali Kota Solo
Capres nomor urut 01 Jokowi saat menggelar kampanye di lapangan Stadion Sriwedari Solo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Kelihaian Jokowi dalam mengurusi asosiasi pelaku industri mebel itu membuat rekan-rekan sesama pengusaha mebel tertarik untuk maju dalam Pilkada. Tak hanya pengusaha mebel, ternyata sejumlah tokoh masyarakat juga tertarik dengan figur Jokowi untuk maju menjadi calon wali kota.

"Tokoh-tokoh masyarakat itu menilai Pak Jokowi itu orangnya menonjol, sederhana, enggak ambisi, rendah hati, dan lain sebagainya. Mereka menggangap figur ini pas untuk kultur Solo. Karena banyak diminta, Pak Jokowi curhat dan makin galau," kenang dia.

Munculnya dorongan dan dukungan itu menyebabkan Jokowi meminta masukan dari para pengurus dan anggota Asmindo Solo Raya. Setelah itu, Jokowi mengumpulkan para pengusaha dari berbagai asosiasi untuk dimintai pendapatnya serta masukan terkait rencana maju dalam Pilkada Solo. Mereka pun mempertanyakan niat dan alasan yang melatarbelakangi keinginannya untuk maju sabagai salah satu calon wali kota.

"Jika Pak Jokowi maju menjadi calon wali kota dan hanya ingin mencari uang, tentunya menjadi pengusaha lebih mudah mencari duit dibandingkan menjadi wali kota. Terus Pak Jokowi coba balik bertanya kepada para pengusaha yang hadir, kalau saya jadi wali kota, apa yang jenengan (kalian) inginkan?" kata dia menirukan ucapan Jokowi saat itu.

Lantas pada saat itu, seperti diutarakan David, Jokowi menjelaskan jika keinginan kuat maju dalam Pilkada Solo supaya bisa membangun dan memberdayakan potensi yang ada di Solo. Baginya, Solo memiliki potensi yang besar karena ada industri tekstil, batik, kerajinan, dan potensi lainnya yang cukup besar.

"Potensi-potensi yang ada kalau enggak dikemas dengan baik dan enggak ada orang yang bisa mengaturnya dengan baik sangat eman-eman (sia-sia). Cara Pak Jokowi untuk mengelola Solo yaitu dengan 'menjual' Solo dan mem-branding Solo. Konsepnya Pak Jokowi itu cuma sederhana untuk me-manage Solo," ujarnya.

Bingung Mencari Parpol Pengusung

Jokowi Mantan Wali Kota Solo
David R Wijaya merupakan teman Jokowi saat menjadi pengusaha mebel di Solo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

David mengungkapkan, setelah semua sepakat mendukung Jokowi maju dalam Pilkada Solo 2005, pertanyaan muncul mengenai kendaraan politik yang akan dipakai Jokowi untuk maju sebagai calon wali kota. Pasalnya, Jokowi selama menjadi pengusaha tidak terlibat dalam kegiatan partai politik, apalagi menjadi pengurus partai.

Alhasil, Jokowi bersama dengan teman pengusaha mebel langsung melakukan pemetaan kekuatan partai politik yang ada di Solo. "Melihat kenyataannya di Solo yang paling besar itu PDIP waktu itu hampir 50 persen. Terus parpol di luar PDIP itu tidak seberapa porsinya, cuma ada beberapa yang domiman seperti PAN, PKS, PKB dan lain sebagainya," sebutnya.

Selanjutnya, Jokowi dan tim mulai melakukan penjajakan dan lobi politik kepada partai politik seperti PAN dan PKS. Singkat cerita, akhirnya dua partai itu setuju untuk mengusung Jokowi sebagai calon wali kota. Meski demikian muncul masalah karena posisi untuk calon wakil wali kota ternyata dua partai itu saling berebut untuk mendudukkan kadernya sebagai pasangan Jokowi.

"Kedua partai itu bisa menerima figur Pak Jokowi sebagai calon wali kota karena dianggap layak. Apalagi saat itu sebagai partai baru belum memiliki figur. Dari pembicaraan itu sampai mengerucut ke wakil, tapi akhirnya penentuan calon wakil itu gagal karena tidak ada titik temu," tutur dia.

Dengan kondisi yang tidak menentu serta terombang-ambing tidak mendapatkan kepastian, akhirnya menurut David, muncul tawaran dari PDIP yang notabene sebagai partai paling berkuasa di Solo. 

Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menginginkan Jokowi untuk mendapuk calon wali kota. Sementara itu, posisi calon wakil ketua diisi kader yang juga Ketua DPC PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo.

"Sedangkan dari PDIP menawarkan Pak Rudy (sapaan Ketua DPC PDIP Solo) sebagai calon wakilnya. Itu sebuah tawaran yang luar biasa. Artinya sebuah bargaining yang cukup baik. Akhirnya, pasangan Pak Jokowi dan Pak Udy ini masuk dan direstui oleh Bu Mega," kata dia bangga.

Dalam pertarungan Pilkada Solo 2005, pasangan Jokowi-FX Hadi Rudyatmo unggul dalam perolehan suara. Dua lawan pasangan dalam Pilkada itu juga berasal dari kalangan pengusaha, yakni pengusaha Achmad Purnomo-Istar Yuliadi yang diusung PAN dan pengusaha Hardono-Dipokusumo yang didukung Partai Golkar, Demokrat dan PKS.

Sedangkan satu calon wali kota lainnya adalan mantan Wali Kota Solo sebelumnya Slamet Suryanto. "Alhamdulillah pada Pilkada itu Pak Jokowi yang berpasangan dengan Pak Rudy itu berhasil menang," ucapnya semringah.

Kebiasaan Jokowi

Jokowi Mantan Wali Kota Solo
Capres nomor urut 01 Jokowi saat menggelar kampanye di lapangan Stadion Sriwedari Solo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Saat masih aktif menjadi pengusaha mebel, David mengaku sosok Jokowi merupakan orang yang tidak kuat melek pada malam hari. Ia mengetahui hal itu dari kegiatan rapat-rapat Asmindo yang digelar pada malam hari.

Jokowi sering menanyakan jam kepada dirinya saat rapat berlangsung. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, Jokowi biasanya langsung mengeluh jika matanya sudah kantuk.

"Kalau sudah ongap-angop itu biasanya sudah jam 21.00 WIB. Karena Pak Jokowi memang melek malam enggak kuat,” terangnya.

Karena tak kuat melek malam, kata David, Jokowi seringkali mewanti-wanti untuk tidak menggelar rapat pada malam hari hingga di atas pukul 21.00 WIB. Bahkan, Jokowi pernah meminta supaya rapat dilaksanakan pada sore hari, tetapi usulan itu ditolak karena sebagain besar pengurus Asmindo masih sibuk kerj di kantor pada jam-jam sore hari.

"Pak Jokowi terus minta habis magrib saja raatnya dan kalau bisa satu atau dua jam saja biar tidak kemalaman selesainya. Karena pada saat itu Pak Jokowi memang benar-benar tidak betah melek malam," kata dia.

Hanya saja kebiasaan tidak betah melek itu lambat laun hilang ketika telah resmi menjabat sebagai Wali Kota Solo. Hal ini disebabkan sebagai kepala daerah, kini tugas dan kegiatannya tidak hanya pagi, siang, dan sore, tapi hingga malam hari. Alhasil, kebiasaan tak betah melek itu pun mulai hilang. "Setelah itu sampai sekarang kok kalau melek kuat banget. Heran saya," ucapnya.

Jokowi dan Kemeja Putih

Jokowi Mantan Wali Kota Solo
Presiden Jokowi ketika mengenakan kemeja batik.(Lioutan6.com/Fajar Abrori)

Mengenakan kemeja putih lengan panjang memang sudah menjadi kebiasaannya sejak masih menjadi pengusaha mebel. David menuturkan, saat memakai kemeja putih lengan panjang bagian lengannya selalu digulung. Kebiasaannya itu masih terlihat hingga saat ini ketika menjadi presiden.

"Dulu waktu jadi pengusaha mebel itu setiap hari bajunya pasti kemeja lengan panjang berwarna putih. Tidak pernah memakai lengan pendek, pasti lengan panjang dan digulung," kata dia.

Meskipun tetap memakai kemeja putih, tetapi untuk bawahan memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan dulu. Menurut David, Jokowi selalu mengenakan bawahan celana jins biru tua dan atasan kemeja putih lengan panjang. Hampir setiap hari gaya berpakaiannya seperti itu saat menjadi pengusaha mebel.

Namun, setelah menjadi pejabat pemerintahan, Wali Kota Solo, gaya berpakaian celana jins mulai diganti dengan memakai celana kain berwarna hitam.

"Dulu itu ke mana-mana setiap harinya selalu pakai atasan kemeja putih digulung dan celana jins. Sampai saya pernah tanya, kemeja putih dan jinsmu piro tho Pak kok pendak dino pakai kuwi terus (jumlahnya berapa yak kok setiap hari pakai itu terus," canda David saat itu.

Selain itu, David mengungkapkan Jokowi saat berkecimpung di Asmindo jarang sekali mengenakan pakaian batik. Ia jarang memakai batik karena ada alasannya, tidak mau terlihat kurus. "Kalau batik sutera itu kan kayak jatuh gitu ya jadi bentuk tubuhnya kelihatan, karena itu Pak Jokowi dulu enggak mau pakai karena kelihatan kurus," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya