Menelusuri Jejak Mbah Ma'shum, Pendiri Cabang Pertama NU di Indonesia

Dibanding Gus Dur, Mbah Ma'shum bin Syamsuddin mungkin tidak begitu familiar di masyarakat luas. Namun Mbah Ma'shum bukan orang sembarangan.

oleh Ahmad Adirin diperbarui 05 Jul 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 21:00 WIB
Jejak Mbah Ma'shum
Makam Mbah Ma'shum, ulama besar NU kelahiran Desa Tinatah, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. (Liputan6.com/ Ahmad Adirin)

Liputan6.com, Blora - Dibanding Gus Dur, Mbah Ma'shum bin Syamsuddin mungkin tidak begitu familiar di masyarakat luas. Namun Mbah Ma'shum bukan orang sembarangan, dia merupakan sosok kiai pertama yang mendirikan cabang Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia.

Mbah Ma'shum merupakan ulama besar kelahiran Desa Tinatah, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Dirinya wafat pada 1947 dan dimakamkan di Kidangan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Syaerozi (60), suami dari cucu Mbah Ma'shum kepada Liputan6.com menceritakan, cabang NU pertama di Indonesia ada di Kabupaten Blora, berdiri pada 1927, tepatnya setahun setelah NU berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926.

"Demi kemajuan organisasi NU waktu itu, pada tahun 1930-an cabang NU yang semula di sini (Kidangan), dipindahkan ke Blora Kota barat alun-alun," kata Saerozi.

Berita Majalah Lailatul Idjtima' Nahdlotoel Oelama (LINO) pada awal Mei 1971 juga pernah memuat informasi cabang NU Blora merupakan cabang pertama di Indonesia.

"Saya ingat betul waktu itu, di majalah LINO jelas-jelas disebutkan bahwa NU Cabang pertama berdiri pada tahun 1927 dan pusatnya di Kidangan,” ungkapnya.

Syaerozi juga mengatakan, peresmian NU cabang pertama di Indonesia saat itu sempat mendapat perhatian luas dari umat Islam. Ribuan masyarakat hadir pada acara peresmian.

"Dulu, secara langsung dihadiri KH Wahab Hasbullah, KH Asyari dan KH Abdullah Ubaid," katanya.

Saat itu, kata Syaerozi, yang menjadi pemimpin cabang NU pertama adalah Mbah Ma'shum Kidangan sendiri. Sudjak (seorang pensiunan komandan polisi) sebagai Sekretarisnya, Tjipto sebagai Bendahara, dan Chasan Hardjo sebagai seksi pembantu (perlengkapan).

"Untuk Syuriyah dipercayakan kepada Kiai Muntaha, Kiai Muzayyin, H Zaenuri dan Kiai Tamzis," terangnya.

Saat cabang NU pertama didirikan, kata Syaerozi, kala itu kolonial Belanda masih bercokol. Usaha-usaha yang dilaksanakan NU cabang Blora sering mendapat gangguan dari penjajah.

"Mbah Ma’shum Kidangan juga pernah ditahan oleh Belanda," katanya. 

Dalam dakwahnya, cabang NU pertama langsung mendirikan jemaah di desa-desa yang belum memiliki masjid. Kemudian pengurus juga membangun masjid dan madrasah di sejumlah desa, antara lain Masjid Desa Brumbung, Masjid Al Ma'shum Dukuh Pelem-Kidangan, Masjid Desa Puledagel, Masjid Desa Tempellemahbang, Madrasah Diniyah Dukuh Pelem-Kidangan, Madrasah Diniyah Jetis Blora, dan lain sebagainya.

Di Majalah LINO kala itu, lanjut Syaerozi, disebutkan mulai tahun 1930 setalah cabang NU dipindah ke Blora kota, barulah dilakukan penyempurnaan kepengurusan.

"Seperti Ketua Umum Kiai Ma'shum Syamsuddin dan Wakil Ketua umum H Asjhari," katanya.

 

 

Misteri Pemindahan Makam

Jejak Mbah Ma'shum
Nyai Cholil. Foto: Ahmad Adirin/ Liputan6.com

Banyak versi menyebut, tiga makam yaitu makam Mbah Ma'shum, istrinya, dan makam putranya (Mbah Cholil) bukan di sebelah selatan Masjid Al Ma'shum yang seperti sekarang, melainkan terletak di perkampungan tanah miliknya.

"Makam Mbah Ma'shum dan keluarga, awalnya berada di sebelah pohon Klampis dekat sungai (kali) Kidangan. Karena adanya longsor zaman dulu, makam dipindahkan di sebelahnya masjid," ujar Chamdani, salah seorang cucu dari Mbah Ma'shum.

Menurutnya, proses pemindahan makam tokoh Kiai NU ini bersamaan dengan dipindahkannya makam Mbah Cholil (putra Mbah Ma'shum).

"Makamnya Mbah Cholil dulu dipindahkan 2 kali. Pertama dari pemakam umum ke perkampungan (peperangan) milik Mbah Ma'shum ditahun 1994. Kemudian yang kedua itu tahun 2002 bersama Mbah Ma'shum dan Nyai Ma'shum dipindahkan ke selatan Masjid," katanya menceritakan.

Siti Maimunah, istri Mbah Cholil membenarkan penyampaian putranya Chamdani. Menurutnya, ada hal menakjubkan pula ketika pemindahan makam. Hal yang mungkin bagi sebagian orang tidak mungkin, namun kejadian itu nyata benar-benar terjadi.

"Di pindahkannya makam Mbah Cholil (Putra Mbah Ma'shum) ke-2 kalinya. Jasad, Papan, maupun kain kafannya masih utuh," kata Nyai Kholil, sapaan akrabnya.

Lanjut Nyai Cholil yang saat ini usianya 91 tahun, waktu pemindahan makam Mbah Ma'shum, istrinya dan putranya banyak keanehan terjadi.

"Warga yang membuat batu bata maupun genteng tidak ada yang jadi (masih berupa tanah liat meskipun telah dibakar lama)," ungkapnya.

 

 

Kebiasan Unik Mbah Ma'shum

Jejak Mbah Ma'shum
Masjid Al Ma'shum. Foto: Ahmad Adirin/ Liputan6.com

Nyai Cholil, kepada Liputan6.com menceritakan banyak sejarah tentang Mbah Ma'shum maupun Mbah Cholil. Katanya, Mbah Ma'shum dulu diminta KH Hasyim Asy'ari mendirikan Cabang NU Indonesia di Kabupaten Blora.

"Zaman dulu kan Mbah Ma'shum pernah nyantri di pesantren Tebuireng Jombang, setelah lulus Mbah Ma'shum mendirikan Cabang NU dan pesantren di sini,” bebernya.

Mbah Ma'shum dulu kerap kali mendapatkan undangan dari KH Hasyim Asyari, Selaku menantu, Nyai Cholil mengetahui Mbah Ma'shum sering melakukan tirakatan.

"Mbah Ma'shum sering puasa juga. Meskipun berbuka puasanya hanya minum air segelas, Mbah Ma'shum itu kuat. Mbah Ma'shum itu dulu juga bisa menyebrangi sungai dengan jalan kaki dan mengambil buah kelapa dari pohonnya tanpa naik," kenangnya.

"Kalau Mbah Cholil (Putra Mbah Ma'shum) itu punya kebiasaan tiap kali batal wudhu selalu wudhu lagi," katanya menambahkan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya