Sisi Kelam Patriarki dalam Kasus-Kasus Ekstrem

Aspek patriarki dan dampaknya terhadap psikologi pelaku dalam kasus-kasus ekstrem.

oleh Liputan Enam diperbarui 09 Jul 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2019, 15:00 WIB
Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT (iStockphoto)​
Ilustrasi KDRT (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia hingga saat ini masih sangat kental dengan budaya patriarki dalam berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Dampaknya, beberapa kasus juga berawal dari budaya patriarki yang salah kaprah. Kasus pernikahan sedarah di Bulukumba, Sulawesi Selatan dan kasus pembunuhan istri di Pekanbaru menjadi buktinya.

Pada 1 Juli 2019, Ansar (32), membuat kehebohan di Bulukumba, setelah diketahui menikah dengan adik kandungnya sendiri. Ansar sebenarnya telah memiliki istri bernama Hervina (28) yang menetap di kampung halaman mereka di Dusun Lembang, Desa Salemba, Kecamatan Ujung Loe, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ansar pun terpaksa menikahi adik kandungnya itu lantaran sang adik telah hamil empat bulan usai keduanya berhubungan badan.

Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani mengatakan bahwa Unit PPA Polres Bulukumba terus mendalami kasus perzinahan sesuai dengan pasal 284 ayat 1 KUHP. Perkara dengan nomor LP /333/VII/2019/SPKT Res Bulukumba yang dilaporkan Senin, 1 Juli 2019 kemarin ini masuk dalam agenda pemeriksaan saksi-saksi yang diduga mengetahui peristiwa pernikahan sedarah itu.

"Perzinahan ini diduga dilakukan sekitar bulan Maret 2019 lalu. Terlapor Ansar telah melakukan hubungan badan layaknya suami istri dengan Fitri yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri," kata Dicky saat dikonfirmasi.

Setelah hubungan gelap keduanya ketahuan oleh istri sah Ansar, Hervina, keduanya pun langsung melarikan diri ke Kalimantan. Di tempat pelariannya di Jalan Tirtayasa, Gunung Sari Ilir, Balikpapan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur itulah, mereka melangsungkan pernikahan sedarah secara siri.

"Kita masih akan terus memeriksa saksi untuk mendapatkan informasi tambahan, nanti kita infokan lagi," Dicky memungkasi.

Juni lalu, tepatnya tanggal 30, terjadi keributan yang berujung pembunuhan istri oleh suami di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, di mana pelakunya sudah ditangkap ketika berusaha kabur ke Medan, Sumatra Utara.

Menurut Kasat Reskrim Polresta Ajun Komisaris Awaludin Syam, peristiwa nahas ini terungkap ketika pelaku pulang ke rumah orang tuanya. Dia memaksa ibunya memberikan pinjaman untuk ongkos ke Medan.

"Tapi gak dikasih oleh orang tuanya, lalu pelaku pergi terburu-buru sehingga membuat ibunya curiga," kata Awaluddin, Senin siang, 1 Juli 2019.

Selanjutnya, orang tua korban pergi ke rumah pelaku tapi tak menemukannya lagi. Di dalam kamar, orang tua pelaku bersama dua saudaranya melihat korban tergeletak di kamar."Ketika diperiksa, korban sudah tak bernyawa lagi, lalu dilaporkan ke Polsek setempat," ucap Awaluddin.

Pengakuan pelaku kepada petugas, dirinya nekat membunuh korban karena cemburu. Pelaku curiga ada orang ketiga dalam rumah tangganya karena korban tidak mau diantar dan dijemput ke tempat kerjanya."Korban juga sering marah ke pelaku, apalagi kalau dijemput ke tempat kerjanya," ucap Awaluddin.

 

 

Pengaruh Aspek Patriarki

Dalam kasus ini, penyidik menjadikan sebuah bantal dan lain sarung sebagai barang bukti. Keduanya dijadikan alat oleh korban untuk mengakhiri hidup perempuan berumur 21 tahun itu."Bantal digunakan untuk menutup wajah korban hingga tak bernafas lagi," kata Awaluddin.

Menurut dosen Kriminologi Universitas Indonesia, Vinita Susanti, budaya patriarki berperan dalam mempengaruhi sisi psikologis dari pelaku tersebut.

“Bila ditelusuri ada kemungkinan terjadinya dominasi dalam keluarga. Pada kasus pernikahan sedarah, kakak bisa saja mendominasi adiknya. Hingga si adik yang tidak berdaya ataupun belum mengerti, terlibat perselingkuhan dengan kakaknya, hingga terjadi incest” jelasnya kepada Liputan6.

Efek dominasi tersebut kemudian menjadi permakluman untuk melakukan tindakan apapun, termasuk pembunuhan seperti pada kasus pembunuhan istri di Pekanbaru.

“Untuk melindungi korban, sebaiknya, mengaktifkan kembali hukum adat yang berkaitan dengan kasus-kasus tertentu, seperti pernikahan incest tersebut” ujarnya mengakhiri.

(Tito Gildas, mahasiswa Kriminoogi Universitas Indonesia)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya