Cerita Toko Peninggalan Belanda Berusia Hampir Satu Abad di Bandung

Lucita Purnamasari (74) mengatakan, bangunan ini dibeli oleh ayahnya bernama Liong Fen Hwat pada tahun 1946. Sesuau surat ukur, kata Lucita, bangunan Toko Cairo didirikan Desember 1920.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 13 Jul 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2019, 18:00 WIB
Toko Cairo
Toko Cairo dibangun pada 1920. Sejak awal didirikan, fungsi bangunan ini dipakai sebagai toko. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Sebuah bangunan bercat putih dengan tulisan di atas pintunya nampak mencolok di pojokan Jalan Mangga No. 26, Kota Bandung, Jawa Barat.

Jika diperhatikan, arsitektur model kuno dengan warna dinding yang mulai kusam seakan menguatkan bahwa rumah itu merupakan peninggalan masa silam.

Menariknya, posisi pintu justru berada tepat di sudut rumah. Posisi yang tak lazim dan terlihat berbeda di antara bangunan lain di sekitarnya. Namun itulah ciri khas bangunan yang dikenal dengan Toko Cairo.

Bangunan ini diperkirakan dibangun pada masa penjajahan Belanda. Tepatnya pada Desember 1920. Posisinya berhadapan dengan kuliner legendaris Mi dan Nasi Goreng Anglo Gowes milik Bu Sani yang diwariskan dari ayahnya, Pak Suyud.

Namun siapa sangka, bangunan di samping Anglo Gowes merupakan salah satu toko tertua di Kota Bandung. Walau rumah itu sudah berpindah-pindah kepemilikan, tetap saja fungsinya sebagai toko.

Sang pemilik toko, Lucita Purnamasari (74) mengatakan, bangunan ini dibeli oleh ayahnya bernama Liong Fen Hwat pada tahun 1946. Sesuai surat ukur, kata Lucita, bangunan Toko Cairo didirikan Desember 1920.

"Bapak saya beli toko ini dari tangan pemiliknya orang Belanda tahun 1946. Bapak tadinya karyawan di toko di kawasan Dago. Uang dari hasil tabungannya, dia bisa membeli rumah dari orang Belanda," kata Lucita ditemui Liputan6.com, Kamis 11 Juli 2019.

Sebelum diambil alih sang ayah, rumah tersebut sempat dikontrakkan kepada seorang Tionghoa bermarga Lie. Bahkan, rumah itu pernah dikunjungi kembali oleh anak keempat Lie yang sudah menetap di Hong Kong.

"Orang yang dari Hong Kong itu bilang pernah tinggal di sini tahun 1927. Waktu itu yang datang anak keempatnya, sekitar lima tahun yang lalu," kata Lucita.

Beberapa furnitur yang ada di Toko Cairo merupakan peninggalan lama. Lemari kayu dari kayu walnut misalnya. Menurut Lucita, lemari tersebut bahkan sudah ada sejak orang Belanda yang tinggal pertama di rumah ini.

"Jadi selain yang pernah kontrak rumah, ada juga orang Belanda yang mengaku masih cucu dari pemilik pertama rumah. Dia bilang, kok masih ada tokonya. Dia juga tahu apa yang ada di toko ini seperti lemari yang ada sekarang," ujar Lucita.

Toko P&D dan Hikayat Nama Cairo

Nota jualan
Lucita menunjukkan nota lama Toko Cairo. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Lucita masih menyimpan sebuah nota belanja Toko Cairo pada masa awal berdiri. Dia pun menunjukkan nota yang sudah terlihat kusam tersebut.

Nota toko ini berbeda dengan yang ada sekarang. Tekstur kertasnya kasar dan tebal. Meski sudah berpuluh tahun, tinta pada kertas tidak pudar sama sekali.

Di bagian kepala nota, terdapat tulisan Toko Cairo, Provisien & Dranken. Orang zaman dulu tentu tahu itu P&D yang kurang lebih berarti makanan dan minuman. Selain itu ada Vrieskamer, kulkas pendingin untuk menyimpan daging, minuman dan sebagainya. Serta ada juga Artikelen.

Sehingga Toko Cairo adalah toko serba ada atau supermarket di zamannya.

"Dulunya ketika dipegang oleh keluarga Lie, nama tokonya Tai Ping. Kemudian setelah ayah saya beli, namanya berubah jadi Cairo," kata Lucita.

Menurut dia, nama Cairo dipilih karena sang ayah ingin mengenang Konferensi Cairo, 1943. Di mana pertemuan tersebut selain dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Franklin Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill. Turut hadir pula Generalissimo Chiang Kai-shek dari Republik China.

"Saya dengar ada konferensi di Cairo. Tapi tidak karena konferensi itu saja. Memang pas nama di Cairo ada artinya bagi kita orang keturunan Tiongkok," ujarnya.

Merujuk pada kata dalam Bahasa Mandarin, Kai/Khai yang berarti buka. Sedangkan lo memiliki arti bakul.

"Buka bakul, artinya juga buka toko. Jadi sebetulnya tidak ada hubungan dengan Mesir," kata Lucita.

Lucita, anak kedua dari empat bersaudara yang terus melanjutkan usaha sang ayah tidak banyak mengubah perdagangan jual beli di tokonya.

"Kalau sekarang ya mirip warung saja. Jadi saya memilih apa yang umum laku yang orang cari. Dulu limun, sekarang minuman berkarbonat kan," ujarnya.

Toko Cairo masih menjual kebutuhan barang pokok sehari-hari. Ia pun masih memiliki pelanggan yang sudah biasa ke toko ini mengingat sudah lamanya toko berdiri.

Tawaran Pemkot

Lemari tua
Lemari tua peninggalan pemilik rumah pertama yang merupakan orang Belanda. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Lucita masih terkenang toko ayahnya pernah menjadi sasaran amuk massa pada peristiwa 1972. Pada saat itu, dia sudah cukup dewasa.

"Itu merupakan peristiwa kelam di mana orang Tiongkok dijarah, dilempar batu oleh gerakan mahasiswa yang benci sama orang China. Kejadian awalnya di Astana Anyar, ada kereta kuda ditabrak mobil. Jadi merembetnya ke kita. Toko kita dilempari sambil menjarah juga," ujarnya.

Setelah toko tersebut tutup beberapa saat, usaha sang ayah masih terus berjalan.

Lucita lanjut bercerita soal rumahnya yang ditawari untuk jadi bagian dari cagar budaya atau heritage oleh pemerintah kota.

"Saya pernah ikut workshop tentang heritage. Toko ini karena sudah lama dianggap heritage. Ditawari heritage, saya tanya apa keuntungannya. Mereka bilang nanti dirawat oleh pemerintah. Saya bilang bagaimana mendaftarkannya, katanya harus daftar ke Dispar. Saya bilang repot amat ya," ujarnya.

Dia mengaku tidak lagi mengetahui kelanjutan dari seminar tersebut. Adapun saat ini ia justru terbebani dengan tingginya harga pajak bumi dan bangunan (PBB).

"Pajak PBB setahun Rp4,7 juta. Ini yang tidak saya mengerti, naik terus harga pajaknya," kata dia berkeluh.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya