Prahara Sawit di Negeri Serambi Makkah

Sejauh mata memandang hanya kelapa sawit. Rimbunannya membentangi tanah condong, di antara bukit berngarai, sepanjang dua sisi jalan Meulaboh-Tapak Tuan, antara Kabupaten Nagan Raya dan Abdya.

oleh Rino Abonita diperbarui 01 Agu 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2019, 10:00 WIB
Sawit
Hasil investigasi LBH Banda Aceh menyatakan, land clearing (pembukaan lahan) yang dilakukan PT DPL pada 2017 berlokasi di lahan masyarakat. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Sejauh mata memandang hanya kelapa sawit. Rimbunannya membentangi tanah condong, di antara bukit berngarai, sepanjang dua sisi jalan Meulaboh-Tapak Tuan, antara Kabupaten Nagan Raya dan Abdya.

Tanaman palem-tanaman palem itu milik salah satu korporasi di Kabupaten Nagan Raya. Kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare, berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019.

Angka ini disusul oleh dua kabupaten lain, yakni Aceh Singkil 43,910.13 hektare, dan Subussalam 19,057.29 hektare. Adapun total luas lahan kelapa sawit di provinsi ini mencapai 321.903 hektare, terbagi atas perkebunan rakyat, negara, dan swasta.

Catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps.

Jumlah petani sawit per jiwa di Aceh kurun waktu 2015-2017, yakni 119.890, 123.644, dan 127.155, berdasarkan data yang dilansir oleh statistik perkebunan. Adapun jumlah tenaga kerja di sektor itu mencapai 75.030 jiwa pada 2017.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Aceh, Sabri Basyah, mengatakan bahwa kelapa sawit menjadi komoditas strategis karena menyumbang devisa terbesar di Indonesia. Pun begitu di Aceh di mana 30 persen pertumbuhan ekonomi disokong oleh industri kelapa sawit.

"Tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera, tingkat penganggurannya juga tertinggi, kemudian tingkat pertumbuhan ekonominya terendah nomor 3 paling rendah di Sumatera. Itu bisa selesai kalau sektor perkebunannya didukung," kata Sabri, kepada Liputan6.com, Rabu siang (31/7/2019).

Kalkulasi Sabri, jika satu orang Aceh dipekerjakan di sektor perkebunan sawit berarti 6-7 orang miskin hilang. Hal ini melihat threshold (batas) kemiskinan di Indonesia terutama desa yaitu Rp450 per bulan, sementara Aceh memiliki UMP tertinggi di Sumatera sekitar Rp2,9 juta per bulan. 

"Dan, industri kelapa sawit Indonesia itu bermula dari Aceh. Ada nama satu desa namanya Sungai Liput, Aceh Tamiang. Itu tahun 1911, di situlah industri kelapa sawit Indonesia bermula," jelasnya.

Sebab itu, ketersediaan jangka panjang komoditas ini digadang-gadang bisa berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Tapi, apa mau, di balik prospek ekonomi yang menjanjikan itu, kelapa sawit terkadang tumbuh di "tanah sengketa", bahwa penguasaan tanah yang timpang telah menyeret rakyat dalam pusaran konflik agraria.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Sartika, kepada Liputan6.com, mengungkap bahwa sepanjang tahun 2018 telah terjadi sedikitnya 410 kejadian konflik agraria. Luas wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektare, melibatkan 87.568 Kepala Keluarga (KK) di berbagai provinsi.

Sektor perkebunan kembali menempati posisi tertinggi sebagai penyumbang konflik agraria dengan jumlah 144 letusan konflik, di mana sebanyak 83 kasus atau 60 persen terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit. Sektor lainnya yaitu, properti 137, pertanian 53, pertambangan 29, kehutanan 19, infrastruktur 16, dan pesisir/kelautan 12.

Sementara itu, berdasarkan rekaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di 15 provinsi, luas lahan konflik pada 2018 mencapai 338.280,47 hektare. Sebanyak 5.420,5 hektare dari total angka tersebut disumbang oleh Provinsi Aceh.

Masyarakat Desa Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I dan II versus PT Rapala di Kabupaten Aceh Tamiang; Desa Krueng Simpo versus PT Syaukat Sejahtera di Kabupaten Bireuen; Desa Pante Cermin versus PT Dua Perkasa Lestari di Kabupaten Abdya; dan Desa Cot Mee versus PT Fajar Baizury & Brother's di Kecamatan Nagan Raya, adalah contoh kasus yang pernah dilaporkan oleh LBH Banda Aceh dalam kurun waktu 2015-2018.

Setidaknya 58 orang warga yang tersebar di tiga wilayah konflik—Kabupaten Aceh Tamiang, Bireuen, dan Nagan Raya—dikriminalisasi dalam beberapa tahun terakhir. 34 orang di antaranya dipidana dengan tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin, dan sebanyak 23 orang menjadi tersangka dengan tuduhan serupa.

Adapun total korban yang pernah didampingi LBH Banda Aceh hingga saat ini mencapai 4.080 korban. Liputan6.com belum lama ini mengunjungi Desa Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya, salah satu desa yang hingga detik ini masih terhembalang dalam konflik agraria.

 

Sengkarut Konflik Agraria di Bumi Cerana

Sawit
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Masih terpacak di benak Ruslaini (50) peristiwa beberapa tahun lalu saat letusan senjata api mengudara beberapa kali di areal lahan sengketa. Kala itu warga berusaha memasuki lahan yang mereka sebut telah diserobot perusahaan.

"Kami ketakutan," ucap perempuan itu, kepada Liputan6.com, Rabu siang (31/7/2019).

Letusan-letusan itu berasal dari senjata milik oknum kepolisian yang bertugas mengamankan perusahaan. Masyarakat tak berani lagi beraktivitas di lahan karena takut dan terancam, meninggalkan kebun yang notabene telah mereka garap sejak zaman baheula.

"Selongsong yang dikumpul hari itu hampir satu plastik gula yang setengah kilogram," tukas Doli (65), seorang warga lainnya, kepada Liputan6.com, Senin (29/7/2019).

Kendati pernah mendatangi Polda Aceh dengan membawa selongsong-selongsong tersebut, namun, hasilnya "tak ada ujung" jika tidak dikatakan nihil.

Masyarakat acap kali berhadapan dengan aparat keamanan dari korp Brigade Mobil yang disebut oleh Doli "tameng". Tak jarang pula menjadi represor saat masyarakat coba memasuki lahan.

"Dipukul sampai mati memang tidak, tapi dihantam dengan ranting, ditolak-ditolak, disuruh pulang," begitu akuan Doli.

Sementara Khairiawati (30) terpaksa menyeret anak pertamanya yang masih kecil dalam kehidupan ekonomi yang pelik. Sang suami belum lama ini merantau ke Riau, mencari nafkah agar periuk tetap mengepul, sebab kebun yang selama ini menghidupi keluarga itu tak bisa lagi digarap.

"Saat itu saya masih sekolah dasar. Ayah sudah garap kebun itu. Terakhir, ibu juga jual emas, saya juga. Rencana untuk sawit dan saya jagung. Tapi, sekarang tak bisa lagi digarap," kesahnya.

 

Akar Masalah

Hasil investigasi LBH Banda Aceh menyatakan, land clearing (pembukaan lahan) yang dilakukan PT DPL pada 2017 berlokasi di lahan masyarakat. Lahan itu merupakan permukiman transmigrasi berdasarkan surat bupati sebelumnya, nomor 674/2015 tertanggal 12 Oktober 2015.

Selain itu, izin lokasi PT DPL diterbitkan bupati pada 30 Januari 2007 ditetapkan di Desa Ie Mirah, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Abdya. Sementara Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) yang diterbitkan gubernur pada 27 Desember 2007 berlokasi di Desa Krueng Seumayam, Kabupaten Nagan Raya.

Dengan kata lain, terdapat perbedaan antara izin lokasi dengan izin IUP-B. Selain itu, perolehan HGU keluar pada 7 Mei 2009 atau 4 bulan setelah berakhirnya masa berlaku izin lokasi yang diberikan kepada perusahaan yang memiliki luas HGU 2.599 hektare itu.

Staf LBH Banda Aceh, Nasrijal, yang kini melakukan pendampingan terhadap masyarakat korban menyebut land clearing yang dilakukan perusahaan melanggar keputusan bupati Abdya nomor 528/287/2015 tanggal 12 Maret tahun tersebut tentang pelarangan melakukan land clearing.

"Karena belum ada rekomendasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Abdya maupun dari BP2T Aceh," ungkapnya.

Selain itu, pengerahan aparat keamanan saat perusahaan melakukan land clearing dinilai bertentangan dengan surat edaran menteri dalam negeri nomor 181.7/7944/Agr, yang melarang penggunaan aparat saat melakukan pembebasan/pengosongan tanah milik masyarakat.

Fakta ini dianggap menjadi bukti penguat bahwa lahan yang diduga diserobot itu merupakan hak ulayat. Tanah yang digarap masyarakat puluhan tahun dan secara turun-temurun ini katanya mencapai 2500 hektare, seluas HGU dari perusahaan yang dituding salah tempat itu.

"Banyak bukti pohon-pohon di situ. Ada palang. Pohon durian. Tapi sama mereka sekarang," ketus Doli.

Soal posisi tanah yang diklaim masyarakat, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia, menjelaskan bahwa tanah negara dapat dibedakan antara tanah yang dikuasai langsung dan yang tidak dikuasai langsung oleh negara. Tanah yang tidak dikuasai langsung termasuk tanah-tanah yang telah melekat sesuatu hak di atasnya.

Sedangkan tanah hak adalah tanah yang telah melekat sesuatu hak di atasnya, yaitu hak-hak atas tanah. Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu hak ulayat dan hak-hak atas tanah yang didasarkan pada hukum adat.

Di pihak berbeda, Said Syamsul Bahri, Direktur Utama PT DPL, menampik semua tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaannya. Ia menilai semua tudingan itu tak lebih dari upaya untuk memburukkan citra perusahaan.

"Apalagi saat ini investasi susah. Uang susah. Kecemburuan sosial pasti ada. Kalau memang merasa itu lahan masyarakat silahkan lapor ke penegak hukum. Kalau diganggu-diganggu, siapa yang mau investasi," Said menjawab Liputan6.com, Rabu siang (31/7/2019).

Insiden penembakan ke udara yang dilakukan aparat yang menjadi penjaga perusahaan itu juga ditepisnya mentah-mentah. Ia pun berdalih penempatan aparat untuk mengamankan lahan dari bencana kebakaran hutan dan lahan.

"Nanti, kalau tidak ada aparat, pertama api, masyarakat juga tidak bisa, nanti, itulah membuka lahan sembarangan, bakar. Jadi ada pengamanan supaya tidak sembarangan. Tidak ada. Masyarakat diintimidasi itu tidak ada," tepisnya.

Kabar terjadinya sengketa antara Desa Pante Cermin versus PT DPL memang sudah sampai ke telinga Dinas Pertanahan setempat. Namun, kepala dinas itu, Arif Takdir, mengaku tidak menahu detail persoalannya.

"Kita memang ada dengar-dengar dari dulu. Tapi persisnya, kan, harus kita dalami dulu. Baru ada, ini, apa, pemahaman kita, kan," jawab Arif, kepada Liputan6.com, Senin (29/7/2019).

 

Qanun Pertanahan, Setitik Cerah

Sawit
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Perpres Reforma Agraria dan Inpres Moratorium Sawit disebut-sebut menjadi jalan perbaikan kembali struktur agraria termasuk menuntaskan sengkarut konflik yang ada di Indonesia. Perpres dan inpres ini, menurut Sekjend KPA, Dewi Kartika, harus diawasi realisasi dan dampaknya di lapangan.

"Jangan sampai mengulang. hal serupa yang pernah terjadi di masa pemerintahan SBY. Di mana kebijakan moratorium sawit ternyata tidak cukup ampuh menahan laju ekspansi perkebunan sawit yang semakin memonopoli tanah di Indonesia ini," kata Dewi, kepada Liputan6.com, Rabu (31/7/2019).

Untuk Aceh, harapan itu digantungkan kepada rancangan qanun (raqan) pertanahan yang diajukan oleh LBH Banda Aceh ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Qanun ini sejatinya dapat menjadi lex specialis Serambi Makkah dalam hal pertanahan cum realisasi salah satu poin MoU Helsinki.

Raqan ini terdiri dari sebelas bab dan 165 pasal. Di antaranya mengatur kewenangan Pemerintah Aceh soal perizinan HGU, dan pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pertanahan secara adil dan setara.

Pertama kali diajukan pada 2008, dan diajukan kembali pada 2016 dengan status kumulatif terbuka atau akan dibahas jika dianggap penting oleh DPRA. Pada 2019 raqan ini masuk dalam lis prolega prioritas atas usulan Komisi I Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum.

"Dalam perjalanannya LBH menangani konflik lahan, ternyata masalahnya adalah pada proses penerbitan HGU dan izin-izin lainnya. Kita ingin Aceh mengatur sendiri peran Pemerintah Aceh dalam penerbitan sertifikat tanah untuk mencegah meningkatnya konflik pertanahan di Aceh," terang Syahrul, kepada Liputan6.com, Rabu malam.

Setidaknya terdapat 75 lebih kasus sengketa pertanahan sejak 2005. Antara lain konflik tanah sektor perkebunan, pertambangan, pembangunan, dan penyedian instalasi pertanahan dan keamanan.

Harapannya raqan pertanahan disahkan tahun ini. Selain mencegah meningkatnya sengketa pertanahan, upaya melepas lilitan masalah yang sengkarut dan seperti mengurai benang kusut itu kelak terlaksana dengan adanya qanun pertanahan ini.

Mengutip ungkapan yang ada di dalam draf naskah akademik raqan tersebut: "Tanoh gampong keu rumoh, di glee nyang jioh ta meulampoh, tempat ta piyoh oh watee tuha". Berarti di tanah kampung kita membuat rumah, di hutan kita berkebun, agar bisa istirahat di masa tua.

Sayangnya, ketuk palu raqan pertanahan itu agaknya masih lama. Abdullah Saleh, Ketua Komisi I yang kini menjadi Ketua Badan Legislasi, mengatakan bahwa raqan tersebut belum disentuh sama sekali, diujung masa jabatan para legislator itu.

"Saya tidak ikuti detail tentang kasus agraria yang belakangan, tapi, tentu, lewat pimpinan komisi, enggak pernah dibawa ke rapat tentang laporan konflik agraria yang dilaporkan ke Komisi I. Jadi akhirnya saya enggak tahu, tentang laporan-laporan konflik agraria," kata Saleh, dihubungi Liputan6.com, Rabu malam.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya