Liputan6.com, Banyumas - Jauh hari sebelum sebuah wilayah menjadi satuan administratif pemerintahan, budaya terlebih dulu lahir dan memengaruhi kehidupan masyarakat tanpa batas.
Budaya Pasundan misalnya, hidup dan berkembang di Jawa Tengah. Pun sebaliknya, bahasa Jawa menjadi bahasa tutur sehari-hari di sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Satuan wilayah administratif lantas menciptakan identitas-identitas. Jawa Tengah mengidentifikasi diri dengan budaya dan bahasa Jawa. Jawa barat, dengan budaya parahiyangan dan bahasa Sundanya.
Advertisement
Dua-duanya sama-sama elok. Namun, sayangnya, kedua budaya yang berimpitan itu sama-sama terancam punah lantaran hidup bukan di wilayah yang secara administratif mengakomodasi budaya tersebut.
Baca Juga
Contoh kepunahan bahasa Sunda bisa dilihat di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Banyumas. Di desa ini, 20-30 tahun silam, sebagian masyarakat masih berkomunikasi dengan bahasa Sunda. Namun kini penuturnya sudah punah.
Dikhawatirkan kepunahan bahasa dan budaya yang hidup bukan di satuan administratifnya itu juga terjadi pada wilayah lainnya. Sebabnya, gejala kepunahan telah terlihat.
Untuk melindungi bahasa Sunda di Jawa Tengah dan sebaliknya bahasa Jawa di Jawa Barat, pakar Toponimi yang juga Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. DR Cece Sobarna berniat mempertemukan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Pertemuan dua kepala daerah ini bertujuan untuk mencegah kepunahan bahasa Sunda dan Jawa. Dari pertemuan itu, harapannya muncul komitmen untuk saling melindungi bahasa lokal.
"Inginnya nanti bahasa Sunda di Jawa Tengah juga terlindungi, sebaliknya bahasa Jawa di Jawa Barat juga terlindungi," ucapnya usai diskusi memahami Toponimi di Dermaji, Jumat, 30 Agustus 2019.
Komitmen Saling Melindungi Budaya Daerah
Dia menegaskan, komitmen untuk mencegah kepunahan penutur bahasa lokal itu penting. Sebab, kepunahan penutur, bagi dia, adalah bencana kemanusiaan.
Dia mengungkapkan, di Jawa Tengah ada tiga kabupaten yang sebagian warganya menggunakan bahasa Sunda. Tiga kabupaten tersebut yakni, Brebes, Banyumas dan Cilacap.
Sebaliknya, di Provinsi Jawa Barat ada sejumlah wilayah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa tutur sehari-hari. Bahasa itu digunakan dalam lingkup keluarga sebagai bahasa ibu, dan juga lingkungan sekitar.
Beberapa wilayah yang sebagian kecil warganya menggunakan bahasa Jawa di antaranya Pangandaran, Ciamis, dan Kota Banjar. Kabupaten dan kota di Jawa Barat itu berada di perbatasan Jawa Tengah.
"Ada penuturnya. Itu artinya, harus dilindungi. Jangan dipaksa untuk belajar bahasa Sunda. Begitu pula sebaliknya di Jawa Tengah penutur bahasa Sunda juga jangan disuruh untuk belajar bahasa Jawa," dia menerangkan.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan tetap mengajarkan bahasa lokal tanpa sekat wilayah administratif. Penutur bahasa Jawa tetap diajarkan budaya dan bahasa Jawa, meski berada di Jawa Barat. Sebaliknya, penutur bahasa Sunda juga tetap belajar bahasa Sunda, meski berada di Jawa Tengah.
Pertemuan itu juga dilakukan untuk merumuskan langkah-langkah antisipatif. Misalnya, dengan komitmen untuk saling mengirim guru bahasa lokal masing-masing untuk mengajar di sekolah-sekolah.
Selain bahasa Sunda dan Jawa, Cece mengungkapkan bahwa di Jawa Barat pun ada bahasa-bahasa lain yang perlu dilindungi. Salah satunya, bahasa Cirebonan.
"Bahasa Cirebonan itu, disebut Sunda bukan, Jawa juga tidak mau. Ya memang bahasa Cirebon. Itu juga merupakan kekayaan budaya lokal," dia mengungkapkan.
Advertisement
Menyusutnya Pengguna Bahasa Sunda di Brebes
Gejala kepunahan penutur bahasa yang hidup bukan di wilayah administratifnya juga terekam dari riset yang dilakukan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Siti Junawaroh di Brebes, Jawa Tengah. Ia meneliti sikap penutur bahasa Sunda di kabupaten paling barat sisi utara Jawa Tengah ini.
Hasil mengejutkan diperoleh dari penelitian ini. Ternyata, sebagian penutur bahasa Sunda malu, atau lebih tepatnya tak percaya diri menggunakan bahasa Sunda jika berhadapan dengan orang di luar lingkungannya.
Pengguna Bahasa Sunda di Kabupaten Brebes juga semakin menyusut. Kini, satu-satunya kecamatan yang mayoritas warganya masih menggunakan bahasa Sunda hanya Kecamatan Salem.
Siti mengatakan riset sikap penutur bahasa Sunda di Kabupaten Brebes menunjukkan tren positif lemah. Artinya, pengguna bahasa Sunda tetap menggunakan bahasa tersebut, namun sudah merasa malu jika menggunakan bahasa Sunda di kalangan umum.
Menurut dia, bahasa Sunda kini cenderung hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari di lingkungan keluarga atau berkomunikasi dengan tetangga. Bahasa ini sudah sangat jarang digunakan di masyarakat umum, terlebih lembaga pendidikan, perusahaan, maupun kantor pemerintahan.
"Sudah tidak digunakan lagi di sekolah-sekolah, di kantor kecamatan atau kantor pemerintahan lainnya," kata Siti.
Dia menerangkan, penutur bahasa Sunda di Brebes sekitar 14 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Brebes. Pusat penutur bahasa Sunda adalah Kecamatan Salem.
"Di kecamatan lainnya sudah mulai jarang," dia mengungkapkan.
Menurut dia, kini warga lebih percaya diri menggunakan bahasa Indonesia. Ini terlepas dari penggunaan bahasa Jawa yang memang masih mayoritas di Kabupaten Brebes.
"Riset saya di Brebes ini seperti mengumpulkan remahan-remahan. Nanti akan dilakukan juga penelitian di Cilacap. Semoga sudah bisa menunjukkan hasil utuh," dia mengungkapkan.
Saksikan video pilihan berikut ini: