Liputan6.com, Pekanbaru - Seluas 1.300 hektare lahan gambut di Rokan Hilir, Riau, yang dikelola perusahaan hutan tanaman industri (HTI) diduga menjadi biang kabut asap. Lahan itu sudah disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk diusut.
Lahan berkontur gambut itu terbakar sejak pertengahan Agustus hingga pertengahan September tahun ini. Penyelidik KLHK masih mendalami apakah kebakaran lahan untuk persiapan penanaman (land clearing) atau berasal dari masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Kepala Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatra Eduard Hutapea belum bersedia menjelaskan identitas perusahaan ini dengan alasan masih penyelidikan. Dia hanya menyebut perusahaan ini termasuk dari 8 areal perusahaan yang disegel di Riau.
"Clue-nya adalah hutan tanaman industri, kalau sudah naik ke penyidikan akan diberitahu," sebut Eduard di Pekanbaru, Rabu petang, 25 September 2019.
Akhir pekan ini, penyelidik KLHK Wilayah Sumatra berencana melakukan gelar perkara di Jakarta. Tujuannya untuk menentukan apakah kasus kedelapan perusahaan ini bisa dinaikkan ke penyidikan.
"Kalau ditemukan dua alat bukti langsung naik penyidikan pidananya," tegas Eduard.
Menurut Eduard, sejumlah petinggi di perusahaan itu sudah diminta keterangan. Penyelidik juga mengumpulkan peta konsesi dan surat izin operasional perusahaan di Rokan Hilir itu.
Sebagai catatan, tegas Eduard, pengusutan perusahaan biang kabut asap dilakukan secara menyeluruh. Pihaknya juga berencana menerapkan sanksi administratif dengan ancaman hukuman pembekuan hingga pencabutan izin.
"Itu kalau pelanggaran yang dilakukan perusahaan termasuk kategori berat," kata Eduard.
Pertemuan Tertutup
Sebelumnya, 8 perusahaan terduga biang kabut asap ini dikumpulkan KLHK di sebuah hotel di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Setiap perusahaan diminta berkomitmen menjaga lahannya agar tidak terbakar lagi.
Pertemuan tertutup ini menimbulkan kecurigaan karena dikhawatirkan akan terjadi kongkalikong dengan perusahaan dan penyelidik. Bisa saja nantinya penegakan hukum menjadi lemah dan berujung penghentian penyelidikan.
Hal ini dibantah keras oleh Eduard. Dia menyebut mengumpulkan perusahaan karena ada kunjungan mendadak dari Komisi VII DPR. Beberapa anggota dewan dari Senayan itu juga disebutnya melihat lokasi kebakaran di beberapa titik.
"Saya jamin ini tidak melemahkan penegakkan hukum. Hanya pertemuan biasa sebagai komitmen menjaga lahan ke depannya agar tidak terbakar lagi," tekan Eduard.
Dalam pertempuan, penyelidik tidak sedikit pun membicarakan materi proses hukum. Perusahaan hanya diminta agar taat hukum, menjalani proses yang sedang berlangsung dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.
"Tidak ada tawar menawar lagi, ikuti saja aturan mainnya dan taat kepada aturan hukum yang berlaku," tegas Eduard.
Advertisement
Seret Perusahaan Besar
Terpisah, Direktur Tindak Pidana KLHK Yazid Nur Huda menyampaikan, ada 53 lahan perusahaan disegel pihaknya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Perusahaan itu tersebar di Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan.
"Kemudian ada di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Sudah ada 5 tersangka ditetapkan, perusahaannya ada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur," kata Yazid.
Menurut Yazid, pada Rabu siang, 25 September 2019 juga ada gelar perkara di Jakarta. Dia menyebut bakal ada penambahan tersangka lagi dan segera diumumkan.
"Siapa saja perusahaan yang naik ke penyidikan setelah ditemukan dua alat bukti, saya belum dapat informasi," kata Yazid.
Akhir pekan ini, Yazid juga memerintahkan penyelidik melakukan gelar perkara untuk kasus di Riau dan Jambi. Penetapan tersangka akan dilakukan jika ditemukan dua alat bukti cukup.
Yazid menyampaikan, 8 perusahaan disegel di Riau adalah PT THIP, PT TKWL, PT RAPP, PT SRL, PT GSM, PT GH, PT AP dan PT TI PT GH merupakan korporasi yang lahannya terakhir disegel penyelidik.
"Untuk PT AP masih dikoordinasikan dengan Bareskrim Mabes Polri. Saling men-support nantinya, kalau Polri yang mengusut akan dibantu tenaga ahli," dia menjelaskan.
Simak video pilihan berikut ini: