Liputan6.com, Gowa - Ribut Sugiyo, seorang eks tahanan politik (tapol) terkait PKI yang hingga saat ini masih memilih tinggal di daerah Tanah Merah, Dusun Moncongloe, Desa Paccelekang, Kecamatan Patallasang, Kabupaten Gowa yang dikenal sebagai kawasan penampungan para tapol terkait G30S/PKI.
Pada usianya yang menapaki 75 tahun, kakek asal Kota Madiun, Jawa Timur (Jatim) itu, mengisi hari-harinya bermain bersama cucu karena kondisi tubuhnya kini tak lagi mendukung untuk bekerja sebagai petani.
"Yah di usia sudah tua begini, enggak mungkin kuat lagi bertani. Tiap hari paling menemani cucu bermain," kata Ribut saat ditemui di rumahnya di kawasan Tanah Merah, penampungan para tapol terkait PKI, Minggu, 29 September 2019.
Advertisement
Baca Juga
Masa kelam yang mewarnai kehidupannya dulu, telah ia lupakan dan kubur dalam-dalam. Ia mengaku ikhlas dengan apa yang menimpanya dan hanya ingin fokus beribadah untuk bekal di kehidupan akhirat kelak.
"Hingga saat ini saya tak tahu apa yang dituduhkan kepada saya. Semuanya tak pernah saya lakukan. Biarlah Tuhan yang membalasnya. Saya sudah ikhlaskan semuanya," tutur Ribut.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya berada di kawasan penampungan para tapol terkait PKI ini, sejak tahun 1978. Sebelumnya, ia menjalani hidup dalam sel tahanan Poltabes Makassar yang kemudian berlanjut dipindahkan ke sel Rumah Tahanan Militer (RTM). Semuanya, kata dia, terhitung 10 tahun lamanya.
"Tahun 1964, itu saya masih status anggota kepolisian pangkat kopral yang bertugas di Satuan Perintis Poltabes Makassar. Saya dituduh berafiliasi dengan PKI karena hanya akrab dengan seseorang teman yang katanya dia anggota PKI. Di situlah awal masa suram itu," ungkap Ribut.
Ia mengatakan saat itu dirinya bersama tiga orang rekannya sedang beristirahat di Asrama Polisi (Aspol) yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Makassar usai menunaikan tugasnya di kantor.
Tiba-tiba datang beberapa orang yang mengaku dari CPM dan langsung memboyongnya naik ke atas mobil dan menjebloskannya ke sel tahanan Poltabes Makassar kemudian berlanjut memindahkan dirinya ke sel RTM yang berlokasi di Jalan Rajawali Makassar.
"Saya dipaksa mengaku apa yang mereka tuduhkan. Padahal, sama sekali saya memang tak tahu apa-apa soal itu, makanya saya tak pernah tanda tangan hasil BAP yang dimaksud. Jadi saya ini tak pernah melewati persidangan dan langsung dijebloskan ke penjara dan dibuang ke sini," terang Ribut.
Â
Perjuangan Bertahan Hidup
Selama di penampungan, Ribut mengaku hidup bersama dengan para tapol terkait PKI lainnya. Ia bertahan hidup dengan berkebun menanam ubi kayu di atas lahan Tanah Merah yang sangat gersang.
Fasilitas berupa satu unit traktor dan satu unit mobil truk transportasi yang disediakan Kodam untuk dimanfaatkan oleh para tapol terkait PKI di penampungan, awalnya sangat membantu. Namun belakangan, semuanya hilang secara misterius.
"Jadi selain kami diberi lahan 1 hektare dan gubuk tinggal, dulu juga ada traktor untuk menggarap dan truk transpor untuk digunakan ketika ingin mengambil uang ke Kodam yang berada di Kota Makassar. Tapi semuanya tidak tahu itu ke mana lagi. Hilang," kata Ribut.
Ia menceritakan perjuangan para tapol terkait PKI untuk bertahan hidup di penampungan Tanah Merah dulu sangat berat. Selain lokasi yang berada di tengah hutan, juga berada dalam bayang-bayang intimidasi kala itu.
"Kawasan ini dulu ramai perampok karena masih hutan. Tapi sekarang sudah banyak perubahan. Di depan dan belakang area penampungan sudah jadi perumahan. Ada beberapa warga penampungan sudah meninggal dunia dan mereka jual lahannya," ucap Ribut.
Â
Advertisement
Dari Hidup Susah hingga Ketemu Jodoh
Hari-hari kelam yang dijalani Ribut di daerah penampungan, perlahan berubah sejak kepemimpinan negara beralih dari tangan Soeharto.
Ribut bersama para tapol terkait PKI lainnya yang tinggal di penampungan kala itu, sudah dapat leluasa keluar menghirup suasana baru di luar penampungan. Sesekali ia ke Kota Makassar menemui kawan-kawan lamanya saat masih bertugas di kepolisian dulu.
"Saya juga ke Makassar biasanya ke Tempat Hiburan Rakyat (THR) yang saat itu kalau enggak salah berada di Jalan Kerung-Kerung. Di situlah saya juga ketemu ibu (istri)," ujar Ribut.
Ia mengaku butuh perjuangan berat untuk dapat meminang pujaan hatinya yang saat ini sekarang sudah berstatus sebagai istrinya, Ngadira (55).
Beratnya, kata dia, keluarga Ngadira yang berada di Kampung Wonomulyo, Kabupaten Polman yang saat itu masih bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) tak dapat menerimanya karena statusnya sebagai eks tapol terkait PKI.
Namun, karena rasa cinta yang begitu mendalam terhadap pujaan hatinya itu, Ribut terus berupaya menghadapi segala rintangan yang ada.
"Semuanya tak luput dari campur tangan Tuhan. Namanya jodoh yah tak mungkin lari ke mana. Saya akhirnya nikah sama ibu dan tinggal bersama di penampungan dan kami dikarunia 4 orang anak," ungkap Ribut.
Sejak hidup bersama keluarga kecilnya di daerah penampungan, Ribut semakin giat bercocok tanam dengan peralatan seadanya. Istrinya pun turut berperan membantu menopang perekonomian keluarga dengan berjualan nasi dan gado-gado di sekolahan dan markas TNI Zipur yang jaraknya tak jauh dari lokasi penampungan.
"Sekarang saya sudah gak beraktivitas seperti dulu lagi. Usia sudah tua. Ibu saja yang bantu dengan jualan nasi. Anak-anak juga sudah ada yang berkeluarga dan seorang lagi menempuh pendidikan di Negara Taiwan," Ribut menandaskan.
Ia mengaku cukup bersyukur atas karunia Tuhan, masa kelam yang mewarnai kehidupannya dulu berangsur hilang dan ia hanya ingin fokus menikmati usia tuanya dengan memperbanyak ibadah saja.
"Saya berharap generasi muda belajar dengan baik dan bangun negeri ini dengan jujur dan damai sehingga semuanya bisa sejahtera," harap Ribut.
Â
Simak video pilihan berikut ini: