Tekad Dua Sejoli Bebaskan Masyarakat Pedalaman Talang Mamak dari Buta Huruf

Neli dan Medi mendadak jadi guru karena lingkungan desanya. Desa yang hingga kini belum dialiri listrik PLN itu didominasi warga buta huruf, termasuk beberapa perangkat desa.

oleh M Syukur diperbarui 22 Nov 2019, 03:00 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2019, 03:00 WIB
Tekad Dua Sejoli Bebaskan Masyarakat Pedalaman Talang Mamak dari Buta Huruf
Neli dan Medi mendadak jadi guru karena lingkungan desanya. Desa yang hingga kini belum dialiri listrik PLN itu didominasi warga buta huruf, termasuk beberapa perangkat desa. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Indragiri Hulu - - Tekad Neli Sasmiliwati dan Medi membebaskan warga Desa Durian Cacar dari buta huruf perlahan mulai membuahkan hasil. Cikal bakal cinta antara keduanya juga tumbuh dari ruang belajar bagi masyarakat adat Talang Mamak itu hingga berujung di pelaminan pada tahun lalu.

Neli, begitu dia dipanggil, merupakan guru SD Plus di daerah pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Bersama Medi suaminya, perempuan 26 tahun ini memperkenalkan huruf dan angka bagi belasan murid sejak awal tahun 2017.

Bukan anak-anak, mayoritas peserta didiknya adalah pria dewasa dan wanita. Terkadang ada perangkat desa seperti RT dan RW juga karena tidak pernah mengeyam pendidikan dari kecil.

"Sampai sekarang masih ada sekolahnya, yang ikut belajar sudah bisa mengeja dan menulis nama sendiri," kata tamatan STIE Rengat ini kepada Liputan6.com, Kamis siang, 21 November 2019.

Neli mendadak jadi guru karena lingkungan desanya. Desa yang hingga kini belum dialiri listrik PLN itu didominasi warga buta huruf, termasuk beberapa perangkat desa. Terkadang mereka dihadapkan surat menyurat tapi tidak tahu apa isinya.

Melihat ini, Neli yang saat itu masih lajang tergerak mengajarkan warganya mengenali huruf dan angka. Medi yang berstatus serupa kala itu juga ikut, begitu pula penjabat kepala desa, Husaini, sebagai motor penggerak.

"Sekarang sudah ada empat guru, saya dan suami serta Pak Santana sama istrinya," ucap Neli.

Sejak SD ini ada, peserta didiknya tidak tetap dan selalu berganti orang. Dalam suatu waktu, ada 12 warga yang ikut. Jumlah itu berkurang di lain hari dan bisa bertambah kemudian waktu.

"Kadang ada 10. Terkadang 12, dan sampai pula 15 orang yang ikut belajar. Berganti-ganti orangnya," sebut Neli.

Neli maklum karena peserta didiknya terkadang harus bekerja untuk membiayai hidup rumah tangga, terkadang juga dipengaruhi mood. Kalau lagi bagus, bisa banyak yang datang ke sekolahnya.

"Kalau mood lagi bagus, terkadang bisa sampai tiga jam belajar. Sekolahnya tiap hari Minggu, mulai dari jam 2 sampai jam 4," kata Neli.

Awalnya, rumah sosial milik desa dijadikan tempat belajar. Aula kantor kepala desa tidak menjadi pilihan karena jaraknya dengan rumah warga cukup jauh.

Kini, sudah ada ruang serba guna milik desa dijadikan tempat belajar tetap. Sekolah ini juga kedatangan warga dari desa tetangga, Desa Sungai Ekok, yang ingin mengenal huruf dan angka supaya tak buta aksara lagi.

Akhir tahun ini, Neli berharap peserta didik dan sekolahnya masuk paket. Sekolah ini diharap bisa menjadi cabang ke sebuah SD yang ada di daerah Belilas.

"Harapannya bisa sederajat dengan SD, tengah diusahakan," ucap perempuan yang bekerja sebagai pegawai tata usaha di SMK Rakit Kulim ini.

Dari sekolah ini, bisa dikatakan tidak ada pundi-pundi uang diperoleh Neli dan suaminya, Medi. Sekolah ini murni swadaya dari desa dan seorang anak kepala suku atau Batin setempat.

 

Kondisi Memprihatinkan

Tekad Dua Sejoli Bebaskan Masyarakat Pedalaman Talang Mamak dari Buta Huruf
Medi sedang mengajar masyarakat pedalaman Talang Mamak. (Liputan6.com/M Syukur)

Husaini sebagai penjabat kades berusaha mengadakan peralatan belajar seperti buku, pensil, dan papan tulis. Dia juga mengusahakan adanya uang pengganti lelah bagi Neli dan guru lainnya.

"Bisa dibilang seadanya (uang), niatnya memang membantu agar warga bisa baca tulis," tegas Neli.

Cerita lain, dari sekolah inilah Neli jatuh hati pada Medi. Dia pun merajut kasih hingga akhirnya memutuskan menikah dan tetap berbakti kepada masyarakat adat Talang Mamak dengan mengajar di sekolah itu.

"Kalau kenal dengan suami sudah lama karena satu desa, pacarannya ya ketika mengajar di sana," ungkap Neli malu-malu.

Terpisah, Husaini menyebut sekolah itu ada juga berkat peran badan permusyawaratan desa. Peserta didik tidak dipungut biaya mengingat usia sudah tidak muda lagi dan takut ada benturan aturan.

"Usia tidak dibatasi, yang penting warga yang mau ikut tahu tulis dan baca," kata pria yang juga sebagai PNS di kecamatan ini.

"Kalau dipungut biaya takutnya juga mempengaruhi semangat warga. Makanya sekolah ini mengedepankan semangat kekeluargaan dan gotong royong," tambah Husaini.

Awalnya, terang Husaini, sekolah ini diadakan tiga hari dalam satu pekan. Tempatnya juga sering berpindah dari awal, mulai dari balai adat desa, rumah tetua adat hingga akhirnya terpilih balai serba guna milik desa.

"Sekarang sudah ada yang lancar membaca dan menulis," katanya.

Hati Husaini tergerak melihat perkembangan zaman. Banyak warga tidak bisa membaca, begitu pula dengan beberapa perangkat desa yang tidak tahu isi papan pengumuman.

"Kemudian ada beberapa sarjana di desa ikut membantu sampai sekarang. Guru tetapnya ada dua, Neli dan Medi," terang Husaini.

Meski nanti tidak sebagai penjabat kepala desa lagi, Husaini bertekad mengembangkan sekolah ini agar semua masyarakat adat Talang Mamak melek huruf dan aksara.

"Tahun depan ada pemilihan kades, sebagai PNS di kecamatan, saya tetap akan membina sekolah ini," tegasnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya