Hari-Hari Berat Keluarga Miskin Penghuni Gudang Angker Solo

Keluarga miskin itu memilih tinggal di bangunan gudang angker yang hampir 80 persen sudah rusak, tanpa listrik dan sumber air bersih.

diperbarui 23 Jun 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2020, 04:00 WIB
Tak Ada Listrik Maupun Air, Begini Keseharian Keluarga Miskin Di Gudang Angker Jajar Solo
Celah di pagar jadi akses keluar masuk keluarga miskin di gudang angker wilayah Jajar, Laweyan, Solo, Minggu (21/6/2020). (Solopos/Ichsan Kholif Rahman)

Solo - Kehidupan keluarga miskin di gudang bekas pabrik es yang terkenal angker di wilayah Jajar, Laweyan, Solo, tidak bisa dibilang mudah. Selama lima tahun mereka hidup tanpa listrik maupun sumber air di gudang angker itu.

Tinggal di bekas gudang pabrik es itu memang sudah menjadi pilihan Agus Prayitno (35) dan Noviyanti (36), sejak lima tahun lalu. Bahkan, tawaran warga agar mereka tinggal di indekos yang sewanya dibayari warga pun mereka tolak.

Mereka memilih tinggal di bangunan yang hampir 80 persen sudah rusak itu. Tanpa aliran listrik PLN dan tanpa memiliki sumber air, Agus sebagai kepala keluarga kerap harus menahan malu saat harus meminta bantuan orang lain.

Untuk memenuhi kebutuhan penerangan pada malam hari, keluarga miskin di gudang angker Jajar, Solo, itu mengandalkan daya dari aki. Agus pun harus menumpang kepada tetangga untuk mengisi daya aki.

Sedangkan untuk kebutuhan air, keluarga Agus mengandalkan air dari klinik tak jauh dari gudang itu. Minggu (21/6/2020) siang itu, dua ember plastik berukuran kecil, Noviyanti bawa keluar pagar seng yang mengelilingi tanah kosong itu.

Dengan berjalan perlahan, Noviyanti melalui jalan setapak di antara tingginya semak belukar. Sementara itu, Agus tengah bersiap berangkat kerja di warung wedangan tak jauh dari gudang itu.

 

Baca berita menarik lainnya di Solopos.com

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Perjuangan Menyimpan Air

[Bintang] 8 Postingan Sara Wijayanto yang Bikin Merinding
Ini adalah foto sebuah tangga menuju ke gudang di lokasi yang menurut Sara paling angker. Menurutnya banyak mata yang melihat ke arahnya saat mengambil foto ini. (foto: instagram.com/sarawijayanto)

Setelah membuka keran air di halaman klinik, Noviyanti bergegas mengisi ember ukuran lima liter itu. Dengan menyeimbangkan ember itu, Novi berjalan kembali menuju gudang yang mereka tinggali. Sekitar 500 meter jauhnya melalui Jl Prof Soeharso.

Papan dan MMT bekas ditata di gudang angker yang dihuni keluarga miskin di Jajar, Solo, itu sehingga menyerupai ruangan berukuran kurang dari satu meter persegi. Di situ ada ember besar sebagai tempat menyimpan air.

"Dahulu kami memiliki sumur tanah, tapi karena hujan terus menerus sumur itu akhirnya tertutup tanah," papar Agus.

Setiap sore, mereka harus menyimpan air sebanyak mungkin untuk persediaan saat si sulung hendak berangkat sekolah. Seusai memandikan putra sulungnya, Noviyanti mengantar anaknya itu ke sekolah.

Dengan berjalan kaki, ibu, dan anak laki-lakinya itu menempuh jarak sekitar dua kilometer dari gudang angker tempat tinggal keluarga miskin di Jajar, Solo, itu ke sekolah. Saat mengantar putra sulungnya, Novi menggendong putri bungsu berusia 1,5 tahun.

"Anak saya tidak pernah mengeluh meski berjalan kaki. Saya tahu anak-anak saya merupakan sosok yang kuat," ujar dia.

 

Makhluk Halus dan Ular Berbisa

Saat malam hari, gelap gulita dan binatang malam sudah akrab dengan keluarga Agus. Sudah lima tahun mereka terbiasa dengan gangguan makhluk halus maupun berbagai jenis ular berbisa.

"Kalau ular sangat banyak, tetapi sudah biasa saja. Memang gelap, tapi ada beberapa lampu yang saya gunakan. Saya menggunakan aki untuk listriknya," papar dia.

Tak Mau Merepotkan Orang Tua

Aki itu ia isi daya dua hari sekali. Sekali mengisi daya perlu waktu dua jam. Jika Agus lupa mengisi daya, keluarga miskin itu terpaksa menghabiskan malam dalam gelap gulita di gudang angker di Jajar, Solo, tersebut.

Sementara Agus yang bekerja di salah satu warung wedangan pergi siang pulang pagi-pagi. "Setiap Kamis saya libur, cukup saya habiskan bersama anak-anak di rumah," ujar dia.

Meski harus hidup miskin, Agus mengaku memilih tinggal di bekas gudang itu ketimbang merepotkan keluarganya di Kerten, Solo. Apalagi orangtuanya juga tinggal di rumah kontrakan dan selain ibunya, sudah ada kakak dan tiga keponakannya.

Ia tak mau semakin merepotkan orangtuanya. Beberapa tahun sebelum ia tinggal di gudang itu, ia tidur bersama Noviyanti di emper-emper toko. Tidur dini hari, bangun sebelum subuh beberapa tahun ia jalani.

Hingga akhirnya, mereka menemukan gudang itu. Dia mengakui ada abanyak tawaran untuk tinggal di rumah atau indekos untuk kekuarganya. Namun, ia belum bisa menerima tawaran itu. Alasannya, anak sulungnya sekolah di wilayah Kerten sedangkan lokasi yang ditawarkan jauh dari lokasi saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya