Mosi Tak Percaya Aktivis Terhadap Kinerja Kajati Sulsel di Kasus Dugaan Korupsi PDAM

Sejumlah aktivis di Sulsel ramai-ramai menyatakan mosi tidak percaya atas kinerja Kajati Sulsel, Firdaus Dewilmar.

oleh Eka Hakim diperbarui 27 Jul 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2020, 17:00 WIB
Ketua Sorot Indonesia melayangkan mosi tidak percaya kepada Kejati Sulsel karena menghentikan penyelidikan dugaan korupsi lingkup PDAM Makassar karena alasan pilkada serentak (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Ketua Sorot Indonesia. Amir Made Amin melayangkan mosi tidak percaya kepada Kejati Sulsel karena menghentikan penyelidikan dugaan korupsi lingkup PDAM Makassar karena alasan pilkada serentak (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Sejumlah lembaga pegiat antikorupsi di Sulsel ramai-ramai menyatakan mosi tidak percaya terhadap kinerja penegakan hukum Kejati Sulsel, di bawah kepemimpinan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar.

Firdaus dinilai tak konsisten dengan penegakan hukum, dalam hal ini pemberantasan korupsi. Selama ini, tak ada satupun produk kasus korupsi yang ditangani Kejati Sulsel berakhir ke persidangan.

Terakhir ia malah dipandang membuat kegaduhan karena telah menyatakan menghentikan penyelidikan perkara korupsi di lingkup Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, dengan pertimbangan akan ada kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di Sulsel.

"Ini bukan menutup perkara, kita hentikan hanya selama Pilkada berlangsung. Setelah Pilkada baru kita lanjutkan. Jadi tidak ada SP3," kata Firdaus Dewilmar dalam keterangan persnya di Kantor Kejati Sulsel.

Ketua Lembaga Sorot Indonesia, Amir Made Amin mengatakan penegakan hukum tindak pidana korupsi (tipikor) itu harus substansi sesuai dengan norma tipikor.

Legal struktur di Kejati Sulsel diakuinya sudah baik dan penegak hukumnya pun sudah memadai. Sarana dan fasilitas yang cukup termasuk biaya dan sumber daya manusia (penyidik) di Kejati Sulsel juga bagus. Sehingga tak ada alasan untuk menghentikan kasus dugaan korupsi lingkup PDAM Makassar itu.

"Tak ada dasar hentikan perkara korupsi karena pilkada. Kajati harus jujur, konsisten tegas dan disiplin dalam menangani perkara. Kalau itu semua tidak dipenuhi sebagai penyelidik dan penyidik tipikor, masyarakat tidak percaya lagi sehingga lebih baik bersikap jantan dengan berani mundur saja," terang Amir.

Ia menegaskan jika perkara korupsi dihentikan dengan alasan atau anasir-anasir di luar hukum seperti alasan pilkada, itu dinilai sangat menghambat penegakan hukum (law enforcement).

"Hukum harus murni ((Reene Rechtslehree) tak boleh ada anasir-anasir seperti pilkada," ujar kandidat doktor hukum pidana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun. Menurutnya, alasan penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi lingkup PDAM Makassar karena akan ada pilkada serentak, tentunya itu lebih pada alasan politik, bukan alasan hukum.

Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, kata dia, harusnya berpegangan pada penegakan hukum bukan pada alasan politik.

"Karena ketika memakai alasan politik maka wajar saja publik menilai Kejaksaan telah berpolitik," jelas Kadir.

Ia mengaku sejak awal menaruh kecurigaan terhadap penanganan kasus dugaan korupsi lingkup PDAM Makassar tersebut.

Dimana Kejati terkesan sangat bersemangat mengumbar setiap tahapan penyelidikan kasus tersebut saat awal ditangani oleh bidang Intelijen mereka.

"Kok belakangan dihentikan dengan alasan pilkada. Bukannya diawal mereka sendiri yang proaktif membuka kasus tersebut di jelang pilkada ini. Kami sepertinya curiga jika kasus ini seperti by order saja," tutur Kadir.

Ketua Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan (LAKSUS) Muh. Anshar juga turut mengecam sikap Kejati Sulsel yang telah menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi PDAM Makassar dengan alasan pilkada serentak.

"Keputusan Kajati terlalu terburu-buru dengan menghentikan sementara penyelidikan kasus PDAM tersebut dengan alasan untuk pilkada serentak. Sesuai tahapan yang terjadwal di KPU, masih ada waktu beberapa bulan kedepan untuk menggenjot kasus tersebut bukan justru dihentikan," jelas Anshar.

Ia mengatakan penting bagi Kejati Sulsel untuk segera menjelaskan kepada publik alasan penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi PDAM Makassar itu agar tidak berkembang spekulasi. Meskipun sebenarnya penghentian penyelidikan dalam perkara pidana itu bukan sesuatu yang aneh.

"Tidak ada dasar hukum penghentian perkara apalagi tipikor dengan alasan politik. Kejati Sulsel harus beri penjelasan ke publik soal ini," tutur Anshar.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Respons Komisi III DPR

Kajati Sulsel, Firdaus Dewilmar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kajati Sulsel, Firdaus Dewilmar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Sebelumnya Kejati Sulsel mengaku terus menggenjot penyelidikan dugaan korupsi pengelolaan anggaran di lingkup Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar yang ditaksir merugikan negara itu.

Penyelidikan kasus tersebut diketahui telah diserahkan bidang Intelijen ke bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel).

"Pemeriksaan saksi-saksi masih berjalan tidak berhenti," singkat Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil saat ditemui di ruangan kerjanya, Jumat (3/7/2020) silam.

Hanya saja ia belum dapat mengumbar siapa-siapa pihak terkait yang telah diperiksa kembali oleh penyidik bidang pidsus.

"Saya belum dapat informasi dari penyidik pidsus soal itu. Nanti hari Senin saya coba tanyakan," tutur Idil.

Kasus ini pun sempat mendapat respons dari Komisi III DPR. Melalui rapat kerja bersama dengan Jaksa Agung, seorang anggota Komisi III DPR, Supriansa blak-blakan mengadukan kinerja Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) kepada Jaksa Agung.

Di hadapan Jaksa Agung, Supriansa meminta agar kinerja Kejati Sulsel dievaluasi. Sejumlah kasus-kasus korupsi yang telah ditanganinya, kata Supriansa ramai menjadi bahan pembicaraan.

Bahkan, lanjut Supriansa, beberapa kasus yang terkait dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setiap hari menjadi berita dan benar-benar gaduh.

Tak hanya itu, mantan Wakil Bupati Soppeng itu juga membeberkan adanya peran seseorang yang dinilai bisa melindungi semua orang yang diduga terperiksa di Kejati Sulsel. Dan ketika seseorang yang dimaksud itu berbicara dihadapan Kajati, juga langsung didengar.

"Saya minta kalau modelnya seperti itu Kajatinya, tarik aja Kajatinya itu. Tidak bisa dibiarkan seperti itu modelnya. Merusak namanya penegakan hukum," tutur Supriansa.

 

Kasus PDAM Makassar Beralih ke Tangan Pidsus

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Firdaus Dewilmar sebelumnya mengatakan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran di lingkup PDAM Makassar telah diserahkan penyelidikannya oleh bidang Intelijen Kejati Sulsel ke bidang Pidana Khusus Kejati Sulsel.

"Itu sudah naik ke Pidsus," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Selasa (16/7/2020).

Pihak-pihak yang sudah menjalani pemeriksaan di bidang Intelijen, kata dia, tentunya kembali diperiksa intensif oleh penyidik bidang Pidana Khusus (Pidsus).

"Penyelidikan di Pidsus itu sifatnya pendalaman lagi," ujar Firdaus.

Penyidik Pidsus, lanjut dia, akan fokus menyelidiki adanya pengendapan dana cadangan dan dividen milik PDAM Makassar yang nilainya ditaksir mencapai Rp80 miliar di Asuransi Bumiputera.

Pengelolaan dana cadangan dan dividen itu sendiri diketahui dikelola sendiri oleh internal perusahaan daerah tersebut.

Pengendapan dana yang nilainya cukup besar itu, ditemukan setelah tim penyidik Intelijen Kejati Sulsel mendalami adanya dugaan kebocoran dana tantiem (hadiah untuk karyawan yang bersumber dari keuntungan perusahaan), bonus pegawai dan kelebihan pembayaran beban pensiunan.

"Setelah ditelaah ternyata potensi dikorupsi paling besar itu ada pada sektor pengelolaan dana cadangan dan dividen. Nah Pidsus akan fokus kesitu," terang Firdaus.

Ia menjelaskan bahwa dana cadangan yang dikelola oleh internal PDAM Makassar, besarannya 20 persen dari laba perusahaan. Sementara dana dividen, kata dia, nilainya 45 persen dari laba perusahaan.

"Kita melihat ini sangat rawan apalagi sistemnya dikelola sendiri oleh mereka," kata Firdaus.

Mengawali penyelidikan, penyidik bidang Pidsus telah mempelajari dokumen laporan pertanggungjawaban pengelolaan angaran PDAM Makassar tahun 2010 hingga 2019.

"Oleh Intelijen ditemukan adanya deviden yang tidak terpenuhi dan merupakan temuan BPK namun ini tidak ditonjolkan," jelas Firdaus.

Dalam tahap penyelidikan kasus dugaan korupsi di lingkup Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Kejati Sulsel juga telah memeriksa sejumlah pihak yang terkait.

Selain mantan Wali Kota Makassar, Moh. Romdhan Pomanto dan Ilham Arief Siradjuddin, tampak sejumlah pejabat teras Pemerintah Kota Makassar dan jajaran Direksi PDAM Makassar tak luput dari pemeriksaan.

Kemudian tak berhenti disitu, Kejati kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap pihak Asuransi Bumiputera dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Semua sudah diambil keterangan oleh penyidik Intelijen," ucap Firdaus.

Tak hanya itu, sejumlah legislator diperiode tahun 2003 hingga tahun 2018, lanjut dia, juga tak luput dari panggilan untuk diambil keterangannya.

"Ada Komisi B misalnya yang merupakan mitra kerja PDAM itu kita panggil juga untuk mengetahui sejauh mana fungsi pengawasan yang mereka jalankan dalam mengontrol pelaksanaan anggaran oleh perusahaan plat merah milik Pemkot Makassar tersebut," jelas Firdaus.

 

Awal Mula Kasus PDAM

Diketahui, dalam LHP BPK bernomor 63/LHP/XIX.MKS/12/2018 terkait kegiatan anggaran PDAM Makassar, ditemukan sejumlah pelanggaran. Sehingga BPK memuat adanya lima rekomendasi baik untuk Pemkot Makassar maupun PDAM Makassar sendiri.

Dari lima rekomendasi yang ada, dua diantaranya dinilai berpotensi ke ranah hukum.

Pertama, BPK merekomendasikan kepada Wali Kota Makassar diperiode itu agar memerintahkan Direktur Utama PDAM Makassar untuk mengembalikan tantiem dan bonus pegawai sebesar Rp8.318.213.130 ke kas PDAM Makassar.

Kedua, BPK juga merekomendasikan kepada Wali Kota Makassar diperiode itu agar memerintahkan Direktur Utama PDAM Makassar untuk mengembalikan kelebihan pembayaran beban pensiunan PDAM sebesar Rp23.130.154.449 ke kas PDAM Makassar.

Atas dua poin rekomendasi BPK itu, dinilai terjadi masalah hukum karena terjadi kelebihan pembayaran yang nilainya mencapai Rp31.448.367.629 miliar.

Lebih jauh temuan dan rekomendasi BPK tersebut sangat erat kaitnnya dengan dugaan pelanggaran terhadap UU No 28 tahun 1999 tentang Pemerintah Bebas KKN, UU No 9 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya