Kisah Abah Emang, Veteran dengan 8 Bekas Tembakan yang Luput dari Perhatian

Dalam perjalanan menuju camp, Abah Emang diberondong peluru senapan Belanda. Dikira sudah tewas, ternyata dia masih hidup. Bagaimana ceritanya?

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Agu 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 17 Agu 2020, 17:00 WIB
Abah Emang Pejuang Kemerdekaan
Abah Emang Pejuang Kemerdekaan. (Liputan6.com/ Asep Mulyana)

Liputan6.com, Purwakarta - Perjalanan hidup Emang bin Mali (99), asal Kampung/Desa Benteng RT 03/01, Kecamatan Campaka, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, nyaris luput dari perhatian publik. Padahal, pria yang usianya nyaris seabad itu merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, mungkin tak banyak orang yang tahu tentang cerita haru yang dialami kakek renta ini semasa muda.   

Di sekujur tubuh kakek lima anak ini, terlihat ada 8 luka bekas tembakan dari senjata api. Itu menjadi bukti jika dirinya pernah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dari ceritanya, Abah Emang pernah ikut melawan saat agresi militer Belanda ke II sekitar tahun 1948. 

Ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Abah Emang sempat bercerita. Di usia 20 tahun atau tepatnya 79 tahun silam, dirinya pernah menjadi tentara yang kala itu lebih dikenal dengan sebutan Tentara Republik Indonesia (TRI). Saat itu, pangkat Emang masih Pratu dan bertugas di Batalyon 1 Resimen 7 Purwakarta, atau masuk dalam pertahanan TRI wilayah Bandung. 

Saat itu, bertepatan dengan agresi militer kedua pecah. Emang bersama puluhan tentara lainnya terlibat baku tembak dengan pasukan Belanda di perkebunan karet di sekitar Kalijati, Kabupaten Subang. Di perkebunan inilah, kisah harunya terjadi. Emang muda, diberondong peluru milik senapan tentara Belanda. 

"Ada 8 tembakan. Yang paling parah di bagian kaki kiri, kepala dan bahu kiri," ujar Emang sembari menunjukan bekas luka tembaknya itu. 

Abah Emang, yang hingga kini tak mengalami gangguan di pendengarannya ini melanjutkan ceritanya. Saat itu, dirinya bersama tiga orang teman satu batalionnya itu sedang menempuh perjalanan menuju camp-nya di tengah hutan. Di tengah perjalanan, dia bersama pasukannya dikepung dan dihujani timah panas oleh puluhan tentara belanda. 

Alhasil, dia bersama tiga temannya tersungkur akibat terkena tembakan. Saat itu, tiga temannya gugur. Sedangkan, dirinya masih selamat meskipun telah bersimbah darah akibat 8 peluru bersarang ditubuhnya. Saat itu, lanjut Emang, dirinya hanya bisa pasrah kepada Sang Pencipta, kendati darah segar telah membanjiri baju tentaranya. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Dikira Sudah Mati

Dalam keadaan pasrah itu, Emang masih bisa menatap cahaya matahari dari balik rerimbunan hutan karet. Di dalam hatinya, Emang selalu berdoa untuk bisa bertahan hidup. Bahkan, dia berdoa supaya bisa bertemu warga lalu menolongnya. 

"Doa Abah terkabul. Saat tak berdaya itu, ada dua orang perempuan melintas. Dengan kondisi sudah tidak bisa apa-apa, Abah minta tolong kepada dua perempuan itu," katanya.

Awalnya, kedua perempuan itu ketakutan. Sebab, wajah dan tubuhnya bersimbah darah. Kepada kedua perempuan itu, Emang meminta minum. Sebab, dia merasakan panas tak terkira disekujur tubuhnya. Lalu, kedua perempuan itu memberi air yang dibawa dengan daun pisang. Setelah meminum air itu, Emang minta wajahnya ditutupi daun. Dengan alasan, supaya dingin. 

Bukannya dingin, ternyata Emang semakin kepanasan ketika wajahnya tertutup daun pisang tersebut. Tak berapa lama, jantung Emang berdetak kencang. Pasalnya, pasukan Belanda terlihat sedang melakukan patroli untuk memastikan bahwa para tentara Indonesia yang tadi dihujani peluru telah gugur seluruhnya. 

"Saat patroli itu, sejumlah pasukan Belanda, menusuk-nusukan bayonet ke perut abah. Beruntung abah tidak memberikan reaksi, termasuk saat sepatu Belanda itu menginjak wajah abah. Jadi, abah bisa selamat, karena dikira sudah tewas," kata dia lirih. 

Menjelang magrib, Emang baru mendapatkan pertolongan. Salah seorang warga, yakni atas nama Main, yang kebetulan mantan pegawai di kediaman kakeknya melintasi wilayah itu. Emang meminta tolong, kemudian warga itu memberikan bantuan. Setelah itu, Emang dievakuasi di salah satu tempat di hutan dan kemudian tak sadarkan diri selama 40 hari. 

Seiring berjalannya waktu, luka di tubuh Emang mulai berangsur sembuh. Tepatnya pada 1950, Emang memilih pensiun dini jadi tentara. Mengingat kondisi badannya sudah tak memungkinkan lagi melanjutkan untuk menjadi tentara. 

"Jadi tentara, itu sekitar tahun 1945. Saat pensiun dini itu, usia abah 25 tahun. Jadi, menjadi TRI hanya selama lima tahun," ujar Kakek kelahiran 1923 itu menambahkan. 

 

Minim Perhatian

Ditanya soal perhatian negara kepadanya, Abah tak menampiknya. Dia mengaku pernah mendapatkan perhatian dari Presiden Sukarno. Prajurit yang cacat seumur hidup, pensiun dini dan mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat. Jadi, abah pensiun dengan pangkat sersan mayor (Serma). 

"Selepas pensiun, abah memilih jadi petani," katanya.

Keinginan Abah Emang di usia senjanya ini tak muluk-muluk. Apalagi, soal perhatian finansial. Mengingat, Emang punya pensiunan yang dinilainya cukup besar. Yaitu Rp2,4 juta per bulannya. Adapun yang paling diinginkan oleh Emang, adalah pengakuan. Terutama dari pemerintah daerah. 

"Selain keluarga dan tetangga, yang sudah memberi perhatian ke abah, baru mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Ini, jadi kebanggaan bagi abah," pungkasnya.

(Asep Mulyana)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya