Kisah Mistis di Rumah Tua Peninggalan Bupati ke-18 Gunungkidul

Dulunya rumah tua tersebut terdiri dari tiga bangunan yaitu bangunan depan, belakang dan samping kiri

oleh Hendro diperbarui 28 Sep 2020, 05:00 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2020, 05:00 WIB
Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)
Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

Liputan6.com, Gunungkidul - Bangunan tua yang kondisinya sudah miring di Kapanewonan Ponjong belakangan viral di media sosial. Bangunan tua yang ternyata adalah rumah milik mendiang Bupati Gunungkidul ke-18, Pawiro Suwignyo. Bupati yang merupakan bupati hasil pilihan DPRD Gunungkidul sebelum pemilihan langsung.

Media ini mencoba berkunjung ke lokasi rumah tersebut di Padukuhan Pati Kalurahan Genjahan Kapanewonan Ponjong. Bangunan mirip arsitektur Belanda itu kini sudah mulai lapuk karena dimakan usia. Kondisinya sudah miring dan di dalamnya sudah banyak tiang-tiang kecil untuk mencegah agar bangunan tersebut tidak roboh.

Warga yang tinggal di depan rumah tua tersebut, Suyono (60) mengungkapkan sudah puluhan tahun rumah tersebut sudah tidak ditinggali. Sebab ahli waris pemilik rumah tersebut sudah pindah ke Surabaya Jawa Timur. Mereka telah sukses meniti karier di Jawa Timur sehingga memutuskan untuk pindah ke kota Pahlawan tersebut.

Dulunya, lanjut Suyono, rumah tersebut adalah rumah yang paling bagus dan megah sekecamatan Ponjong. Rumah tersebut dulu ditinggali oleh keluarga Bupati Pawiro Suwignyo. Di mana Pawiro Suwignyo sendiri memiliki tiga orang anak Sucipto, Suroyo dan Asri Subaryati. Dulu, di sekeliling tersebut banyak terdapat pohon kelapa menjulang.

"Rumahnya rapi. Saya tidak pernah masuk, ndak berani," ujarnya, Minggu (27/9/2020) saat ditemui di rumahnya.

Ia sendiri tak banyak mengerti bangunan tersebut banyak berkurang. Karena dulunya rumah tua tersebut terdiri dari tiga bangunan yaitu bangunan depan, belakang dan samping kiri. Rumah bagian depan adalah bangunan yang kini tersisa. Kemudian ada bangunan bagian belakang yang berasitektur Limasan.

Di mana ada sela (longkangan) sekitar empat meter antara bangunan belakang dan depan. Kemudian ada bangunan kiri yang letaknya memanjang dari depan ke belakang. Dan ada sebuah sumur yang terletak di bagian belakang rumah tua tersebut.

"Yang sisi kiri itu dirobohkan. Belum begitu lama," katanya.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Status Kepemilikan

Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)
Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

Media ini lantas ke rumah kerabat bupati tersebut. Adalah Rokib (76) pensiunan polisi ini keponakan dari Pawiro Suwignyo yang juga tinggal tak jauh dari rumah tersebut. Di juga yang dipercaya menjaga dan mengelola rumah tersebut. Meski demikian, ia tidak berani menyentuh barang-barang yang ada di rumah tersebut.

Rokib menuturkan, rumah tersebut yang masih tersisa hanyalah bagian depan dan ukurannya tinggal 9x6 meter saja. Sebelumnya ada beberapa bagian rumah yang masih ada namun telah roboh dan dirobohkan. Terakhir adalah bangunan sebelah kiri yang terpaksa dijual karena membahayakan.

"Atas kesepakatan keluarga, bangunan sisi kiri dijual untuk membangun balai padukuhan Tanggul Angin," ujar Rokib ketika ditemui di rumahnya.

Bangunan rumah bupati Pawiro Suwignyo tersebut berdiri di tanah seluas 4.000 meter persegi. Oleh Pawiro Suwignyo lantas dibagi menjadi tiga bagian masing-masing untuk ketiga anaknya. Namun usai sepeninggal mantan bupati tersebut, seluruh bagian tanah dibeli oleh Asri Subaryati.

Ia sendiri pernah tinggal di rumah tersebut kala tahun 1948. Di mana kala itu ayahnya diminta untuk menunggu rumah tersebut karena pemiliknya, Asri Subaryati pernah harus pindah tugas menjadi Guru di Solo Jawa Tengah.

Di rumah tersebut ada istri dari Pawiro Suwignyo dan seorang cucunya Martanty Soenar Dewi yang kini maju menjadi calon wakil bupati mendampingi Immawan Wahyudi.

"Martanty itu tanggal lahirnya sama dengan ibunya. Nah menurut tradisi Jawa, ia harus dipisah dengan ibunya, sehingga Martanty tinggal di rumah tersebut bersama eyangnya. Sementara ibunya di Jawa Timur sukses berkarir dan menjabat ketua DPRD Jawa Timur," terangnya.

Sejak Martanty lulus SMP, wanita ini pindah ke Surabaya bersama ibunya dan sang Nenek, Ny Pawiro Suwignyo juga diajak serta ke Jawa Timur karena memang usianya sudah tidak muda lagi. Sejak saat itu, rumah tersebut tidak pernah ditinggali lagi. Tak ada yang merawatnya karena Rohib sendiri tak ada di padukuhan tersebut karena terus berpindah.

"Saya pernah tugas di Papua. Jadi tidak pernah ke sini," tambahnya.

 

Kisah Mistis di Rumah Tua di tengah Kebun Jati

Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)
Rumah tua di tengah kebun Jati. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

Bangunan tersebut sebenarnya sudah ada 'penunggunya' bahkan sejak masih ditinggali oleh keluarga Pawiro Suwignyo. Rohib bercerita dulu pembantunya pernah diangkat keluar rumah ketika tengah terlelap. Tak hanya itu, ada seorang guru yang mengontrak rumah tersebut juga mengalami nasib yang sama.

Kini, setelah sempat viral di media sosial rumah ini mulai banyak yang berkunjung sekedar untuk foto-foto. Pihak keluarga sendiri sebenarnya berencana ingin merobohkan bangunan lama tersebut dan menggantinya dengan yang baru, meskipun juga bangunan klasik.

Wanita yang pernah tinggal di rumah tersebut, Martanty Soenar Dewi menjelaskan bahwa rumah dia tidak tahu pasti kapan rumah itu berdiri. Namun, dia memperkirakan rumah itu telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.

"Itu rumah eyang saya, eyang saya dulu Kepala Daerah (Bupati) ke-18 Gunungkidul namanya Prawiro Suwignyo," ucapnya saat dihubungi wartawan, Rabu (23/9/2020).

Dia menjelaskan, rumah itu hanya rumah bagian depan dan sebetulnya ada bangunan di bagian belakang nun saat ini sudah rubuh. Menurutnya, rumah itu adalah rumah paling bagus saat eyangnya menjabat Kepala Daerah.

"Kalau sejak kapan berdirinya rumah itu saya kurang tahu, kemungkinan antara tahun 1920-1925," lanjut Martanty.

Wanita yang merupakan cucu Prawiro ini melanjutkan, bahwa dia sempat tinggal di rumah tersebut selama beberapa tahun. Hal itu karena weton atau penanggalan Jawa hari lahirnya sama dengan ibunya.

"Sebetulnya dipisah itu hanya simbol, istilahnya ditemu orang dan nanti ditebus sama orangtua. Tapi karena yang ambil eyang saya sendiri jadi tidak boleh diambil karena sudah terlanjur senang dapat momongan (Martanty)," imbuhnya.

Selesai menempuh studi SMP pada tahun 1974, dia pindah ke Malang, Jawa Timur. Di mana saat eyangnya juga ikut berpindah tempat tinggal ke Malang.

"Lalu pindah ke Malang dan eyang putri ikut, saat itu eyang putri masih wara wiri (bolak balik Gunungkidul) dan akhirnya tinggal di Malang. Terus ada yang jaga tapi akhirnya yang jaga ikut keluarganya dan mulai kosong 10 tahun yang lalu," ujarnya.

Rencananya rumah tersebut akan dipugar. Hal itu untuk mempertahankan bentuk rumah aslinya. Mereka sudah berembuk rumah itu dipugar untuk transit kalau keluarga ke Ponjong, tapi belum kesampaian.

“Nantinya kalau dipugar jelas akan mempertahankan bentuk aslinya," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya