Liputan6.com, Bandung - Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden disikapi serius oleh Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB). Menurut mahasiswa, upaya demi upaya terus dicoba oleh elite politik untuk mewujudkan rencana yang bertentangan dengan konstitusi tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Bukan hanya inkonstitusional, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden juga menimbulkan banyak kerugian politik dan ekonomi. Pada akhirnya, masyarakat sendiri yang akan menjadi korban dari ketamakan segelintir elite politik," kata Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB Muhammad Hanif Ihsan Syuhada dalam keterangan tertulis, Senin (11/4/2022).
Maka dari itu, KM ITB menyatakan lima sikap terhadap rencana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presidenÂ
Pertama, mengutuk segala upaya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan semangat reformasi.
Kedua, mendesak elemen eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menjunjung tinggi dan mentaati aturan tentang pemilu dan masa jabatan presiden sebagaimana dalam konstitusi yang berlaku saat ini.
"Ketiga, meminta Presiden Jokowi berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu," ujar Hanif.
Keempat, meminta Presiden Jokowi untuk menjatuhkan sanksi kepada menteri-menterinya yang terbukti mendukung dan mengupayakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Kelima, mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menolak upaya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan karena merusak tatanan politik dan menimbulkan kerugian ekonomi.
Selain menyatakan sikap, KM ITB juga akan menyuarakan sikap itu pada aksi demo 11 April 2022.
"Kami mulai dari daerah, lokasi aksinya di Bandung," kata perwakilan KM ITB Reza Rahmaditio.
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Timbul Tenggelam Wacana Perpanjangan Presiden
Dalam pernyataan sikapnya, KM ITB memaparkan kronologi wacana perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Wacana ini bukan diskursus baru.
Pada akhir 2019, genderang wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) muncul bersamaan dengan rencana amandemen UUD. Amandemen terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tersebut dikhawatirkan melebar, hingga menyentuh perubahan batas masa jabatan presiden.
Merespon isu itu bergulir, Presiden Jokowi menyampaikan, "Ada yang ngomong presiden dipilih 3 periode, itu ada 3. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan".
Di akun Twitter-nya, Jokowi pun mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa dirinya adalah produk pemilu berdasarkan UUD 1945 pascareformasi, sehingga menolak dengan tegas usul masa jabatan tiga periode.
Namun, wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir setahun setelahnya. Pada 2021, mantan Ketua MPR Amien Rais mengatakan bahwa ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden.
Namun, Jokowi menegaskan bahwa dirinya tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Bahkan, Jokowi juga berjanji sikapnya itu tidak akan berubah. Pada tahun yang sama, muncul juga versi baru perpanjangan masa jabatan presiden.
Kali ini, bukan melalui tambahan satu periode, melainkan perpanjangan selama tiga tahun. Kabarnya, sejumlah sumber dari kalangan partai politik dan lembaga survei, sudah didekati oleh orang-orang dekat Jokowi. Mereka diajak untuk ikut mewujudkan skenario presiden tiga periode.
Sempat tenggelam, wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali timbul ke permukaan pada Januari 2022. Kini, aktor yang melempar ide tersebut adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Bahlil mengungkapkan kalangan dunia usaha berharap jadwal Pemilu 2024 diundur atau masa jabatan Jokowi diperpanjang hingga 2027. Sebulan berselang, giliran tiga ketua umum partai politik, yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Muhaimin Iskandar merujuk pada klaimnya terkait analisis big data perbincangan di media sosial. Dia mengatakan bahwa dari 100 juta subjek akun media sosial, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
Sementara itu, Airlangga Hartarto mengklaim adanya aspirasi dari kalangan petani di Riau, sedangkan Zulkifli Hasan memberi alasan bahwa pandemi belum berakhir dan ekonomi belum stabil.
Di tengah kegaduhan yang ditimbulkan ketiga ketum parpol tersebut, Presiden Jokowi melunak. Jokowi berpendapat bahwa siapa pun boleh mengusulkan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Sebab, hal tersebut bagian dari demokrasi.
Jokowi juga menyatakan dirinya akan patuh terhadap konstitusi. Ditinjau dari pernyataan tersebut, Jokowi sudah tidak menunjukan sikap tegas menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Sebaliknya, Jokowi justru berlindung di bawah nama demokrasi dan konstitusi.
Tentu hal ini berbahaya, mengingat aspirasi atau opini publik pun dapat terpengaruh oleh wacana-wacana yang dilontarkan oleh menteri dan tokoh-tokoh parpol tersebut. Apalagi, pernyataan tersebut baru muncul setelah satu bulan lebih menteri Bahlil mengeluarkan pernyataannya.
Seminggu setelahnya, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan dukungannya terhadap perpanjangan masa jabatan. Dalam siniar di kanal Youtube Deddy Corbuzier tanggal 11 Maret 2022, Luhut menyebutkan apabila masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang 3 tahun, Indonesia akan lebih baik.
Seminggu kemudian, Luhut mengklaim adanya big data yang menunjukan bahwa ada 110 juta suara warganet yang mendukung pemilu ditunda. Tak berhenti di situ, manuver Luhut berlanjut pada akhir Maret. Luhut diduga berada di belakang deklarasi Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mendukung Jokowi tiga periode.
Presiden Jokowi akhirnya kembali merespons isu tersebut pada awal April. Dalam rapat kabinetnya, Jokowi mengatakan tak ingin lagi ada menteri yang berbicara soal tiga periode maupun penundaan pemilu.
Jokowi juga meminta jajarannya untuk tidak menimbulkan polemik di masyarakat dan fokus menuntaskan pelbagai persoalan negara saat ini. "Pernyataan ini tidak menegaskan sikap penolakan dirinya terhadap wacana yang sebelumnya sudah terlanjur ramai diperbincangkan publik," tulis keterangan resmi KM ITB itu.
Advertisement
Bunyi Konstitusi dan Alasan Mahasiswa Menolak
Berdasarkan kepada konstitusi yang berlaku, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 7. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'.
Aturan tersebut mengartikan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menjalankan amanah rakyat selama dua kali masa jabatan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dan dilaksanakan dengan mekanisme pemilihan umum.
Selain diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum juga sekaligus ditujukkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan umum dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun sekali dan diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal ini jelas diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22E.
Sehingga gagasan mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi yang berlaku di Indonesia dan dapat menciptakan berbagai dampak negatif dalam aspek kehidupan bernegara.
"Pada dasarnya, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden dalam suatu negara harus dihindari, karena dapat berdampak negatif terhadap kualitas ketatanegaraan, demokrasi, dan stabilitas masyarakat suatu negara," KM ITB menjelaskan dalam keterangan resminya.
Penundaan pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian tata negara bahkan pertengkaran kelompok masyarakat yang dapat memicu kehancuran demokrasi dan kepercayaan pada sistem pemerintahan, terutama dari oposisi dan masyarakat umum. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Penundaan pemilu merupakan tindakan yang inkonstitusional dan jelas memaksakan untuk menyesuaikan hukum agar bisa melaksanakan penundaan yang dimaksud. Kasus seperti ini terjadi di Ethiopia beberapa tahun lalu.
Hukum pemilihan yang berlaku di Ethiopia dipaksakan untuk memenuhi rencana penundaan pemilihan, sayangnya, kondisi tersebut justru malah menimbulkan adanya instabilitas kehidupan masyarakat, bahkan hingga terjadi adanya konflik horizontal antar masyarakat yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan di sejumlah daerah.
Oleh karena itu, pembatasan masa kekuasaan sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi serta menghindari kemungkinan terjadinya konflik sosial. Terlebih, penyesuaian hukum demi kepentingan kelompok mungkin saja terjadi di Indonesia. Sebab, mayoritas kursi di MPR telah dikuasai oleh koalisi pemerintah.
Pasal 37 UUD mengatakan bahwa usulan perubahan UUD mensyaratkan â…“ anggota MPR dan diputuskan oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota MPR. Maka, berdasarkan jumlah tersebut, kursi koalisi pemerintah di DPR/MPR (471 kursi) sudah memenuhi syarat â…“ (237 kursi) dan hanya butuh 3 kursi lagi untuk menggelar rapat paripurna (474 kursi).
Penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden di suatu negara juga akan berdampak buruk kepada kondisi fiskal suatu negara. Upaya amandemen konstitusi demi suatu kepentingan politik berpotensi besar dapat berujung pada ketidakstabilan kondisi fiskal suatu negara.
Dalam upaya mencari patronase politik untuk meloloskan amandemen konstitusi, koalisi harus melakukan pengeluaran anggaran yang besar sehingga menyebabkan pengeluaran yang berlebihan. Absennya pembatasan kekuasaan tentunya akan berpengaruh kepada peningkatan kemungkinan adanya monopoli kekuasaan oleh partai penguasa dan meningkatnya kasus korupsi.
Sejatinya, pembatasan masa kekuasaan adalah bentuk redistribusi kekuatan politik. Pembatasan tersebut mencegah adanya kekuasaan terpusat yang tak terkendali dan tentunya akan membantu menghindarkan negara dari kehadiran pemimpin otoriter dan segala kebijakan yang tidak berkualitas seperti yang sudah dirasakan pada rezim Orde Baru.
"Jika tidak ada pembatasan, maka pemerintah yang terus berkuasa akan terus menghimpun kekuatannya dan mengurangi fungsi kontrol dari oposisi, sehingga dapat terus memimpin dalam jangka waktu yang melebihi batas," Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB Muhammad Hanif Ihsan Syuhada menandaskan.