Kesadaran Krisis Iklim Anak-Anak Daerah Rawan Bencana di Donggala

Ancaman banjir rob dan krisis iklim mendorong anak-anak di Desa Labean, Kabupaten Donggala memitigasi kampung mereka dengan penanaman pohon dan aksi bersih-bersih pantai.

oleh Heri Susanto diperbarui 25 Mei 2022, 10:00 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2022, 10:00 WIB
Anak-anak menanam pohon di tepi pantai Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Donggala.
Anak-anak Child Campaigner Save the Children Indonesia saat menginisiasi Aksi Generasi Iklim dengan melakukan aksi bersih pantai dan menanam bakau, Minggu (22/5/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Liputan6.com, Donggala - Aksi itu diinisiasi anak-anak yang tergabung dalam Child Campaigner Save the Children Indonesia di Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala, Minggu pagi (22/5/2022). Dari menyisir tepi Pantai Mapaga di Desa Labean, 11 kantong berukuran besar berisi sampah plastik berhasil dikumpulkan, padahal radius aksi mereka hanya sekitar 100 meter persegi.

Menanam pohon juga dipilih anak-anak di wilayah itu sebagai mitigasi dari banjir rob dan abrasi yang mengancam desa mereka. Pohon Butun yang merupakan salah satu jenis bakau dipilih sebagai benteng tepi pantai lantaran mudah beradaptasi dan tumbuh dengan cepat sehingga bisa menjadi pemecah gelombang.

"Setiap banjir rob di sini, banyak sampah terbawa ke darat dan aktivitas sekolah terganggu," Rei (17) salah seorang anak Desa Labean mengatakan, Minggu (22/5/2022).

Pengelolaan sampah yang buruk di wilayah itu juga lantaran tidak adanya bank sampah yang jadi titik pengumpulan sampah bagi warga.

Anak-anak itu menutup aksi mereka dengan diskusi dan belajar tentang perubahan iklim hingga mitigasi yang bisa mereka lakukan.

Simak video pilihan berikut ini:

Harapan dari Anak-anak yang Terdampak

Bangunan SD yang rusak akibat rob di Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala.
Salah satu bangunan SD yang tidak bisa lagi digunakan akibat sering diterjang rob di Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala. (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Banjir rob akibat abrasi dan sampah memang jadi ancaman di desa-desa di Kecamatan Balaesang dan Sirenja. Kondisi yang diperparah akibat penurunan tanah yang dipicu gempa yang terjadi pada tahun 2018 lalu.

"Sebelum gempa, sebenarnya rob sudah terjadi tingginya semata kaki saya, tapi sekarang bisa sampai selutut saya tingginya dan meluas," penyintas rob dan gempa Donggala, Rahmi (17) menceritakan.

Untuk mengakses sekolah tingkat SMA di Kecamatan Sirenja yang bersebelahan dengan Kecamatan Balaesang, Rahmi bilang, dia dan puluhan anak harus diantar dengan perahu dari rumah mereka yang terdampak rob. Kondisi itu juga dialami anak-anak usai sekolah dasar di Desa Labean.

Bahkan, salah satu bangunan SD di desa tersebut tidak lagi bisa digunakan akibat sering diterjang rob. Sebagian warga di lokasi itu juga memilih pidah ke hunian sementara.

Kondisi anak-anak di Kecamatan Balaesang dan Sirenja, Kabupaten Donggala itu sendiri menurut Save The Children Indonesia hanya bagian kecil dari besarnya ancaman perubahan iklim di Sulawesi Tengah, terutama terhadap anak-anak. Sebab, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada 34 titik sebaran abrasi pantai di Sulawesi Tengah atau yang terbanyak ke-3 di Pulau Sulawesi.

Inisiasi dan kesadaran mitigasi terhadap perubahan dan krisis iklim oleh anak-anak di daerah-daerah rawan tersebut dinilai menjadi kunci perubahan dan harapan untuk merespon risiko bencana pada masa-masa akan datang.

"Krisis iklim dirasakan nyata oleh anak-anak, terutama mereka yang di daerah rawan bencana dan pernah mengalami bencana skala besar seperti di Kabupaten Donggala," Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication, and Media - Save the Children Indonesia, menjelaskan di Desa Labean, Minggu (22/5/2022).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya