Kisah Pilu Petani Transmigrasi di Jambi: Punya Sertifikat, tapi Tanah Dikuasai Mafia

Seratusan kepala keluarga petani dari Pulau Jawa mesti berhadapan dengan mafia tanah di Jambi.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 27 Sep 2022, 11:00 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2022, 11:00 WIB
Konferensi pers hari tani
Dua perwakilan petani transmigrasi Batanghari saat menyampaikan konferensi pers bersama Walhi Jambi, Sabtu (24/9/2022) Bertepatan dengan Hari Tani ini mereka mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Nasib seratusan petani transmigrasi di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi, kian pilu. Meski mereka punya sertifikat tanah, namun selama bertahun-tahun mereka tak bisa menikmati hasil kebun di atas tanah kapling jatah program transmigrasi.

"Kami ini legal ikut program pemerintah dan dikasih sertifikat tanah. Tapi tanah kami dikuasai mafia tanah," kata Jais, mantan Kades Mekar Sari di Kantor Walhi Jambi, Sabtu (24/9/2022). 

Dalam momentum peringatan Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September itu, Jais datang ke Kota Jambi mewakili 100 kepala keluarga transmigrasi yang tanahnya diserobot mafia tanah. Di Jambi, ia menjelaskan runtutan para petani mengikuti transmigrasi sampai bernasib seperti sekarang ini.

Mafia tanah tersebut kata Jais, bisa dibilang seoarang penguasaha lokal dan mempunyai kekuatan modal. Bahkan di desa tersebut, pengusaha lokal sekaligus mafia tanah ini menggunakan cara-cara menakuti-nakuti warga transmigrasi.

Syahdan pada 2005 mereka mengikuti program transmigrasi. Mereka dari Pulau Jawa. Ada yang berasal dari Sukoharjo, Semarang, Kabupaten Bogor, dan sejumlah daerah lainnya.

Jais yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah itu, bersama rombongan meninggalkan tanah kelahirannya untuk memperbaiki ekonomi. Bersama rombongannya transmigran tersebut oleh pemerintah ditempatkan di Desa Tebing Tinggi dan Mekar Sari. Mereka mendapatkan jatah lahan permukiman dan lahan usaha (LU) I dan LU II.

Meski mereka telah diberikan sertifikat sebagai tanda pemilik sah areal lahan usaha tersebut dan telah ditanami kelapa sawit, namun lahan mereka digusur dan dikuasai oleh mafia tanah. Penguasaan lahan ini dilakukan bertahun-tahun sejak tahun 2012.

Total di Desa Mekar Sari tanah mereka yang dikuasai mafia tanah seluas 108 hektare dengan jumlah 144 KK. Sementara di Desa Tebing Tinggi tanah yang dikuasi mafia tanah seluas 34 hektare dengan pemilik 40 KK.

“Sekarang masih dikuasi mafia tanah dan ditanami sawit. Kalau petani garap, maka tanamannya diracun dan ditebangi serta mendapat ancaman,” kata Jais.

Bahkan yang paling ironis lahan usaha yang telah dicanangkan untuk areal persawahan dan telah mendapat bantuan cetak sawah dan irigasi senilai Rp1,8 miliar juga diganti kebun sawit oleh mafia.

Ia mengatakan selama bertahun-tahun petani transmigrasi di dua desa itu hidup di bawah bayang-bayang ketakutan lantaran mendapatakan berbagai intimidasi.

Dampak penguasaan tanah oleh mafia tanah, kata Jais, warga transmigran harus kerja serabutan mulai dari tukang dodos, bangunan, dan berdagang. Sementara hidup sebagai petani yang mengelola hasil kebunnya sendiri belum bisa diwujudkan.

"Sekarang banyak warga transmigrasi di desa kami untuk menyambung hidup harus kerja serabutan untuk menjaga agar anak-anak tetap sekolah. Ini kami alami sampai sekarang, belasan tahun," kata Jais.

 

Mengadu ke Pemerintah Pusat

Untuk memperoleh haknya, sejumlah perwakilan petani transmigrasi dari dua desa itu didampingi Walhi Jambi awal bulan ini bertolak ke Jakarta. Mereka melaporkan penguasaan lahan oleh mafia tanah kepada Kementrian ATR-BPR, Kemendes, Mabes Polri dan KSP.

Namun sampai sekarang belum ada penyelesaian. Saat tiba di Jakarta, perwakilan petani hanya dijanjikan persoalan ini akan ditindaklanjuti pemerintah.

"Mereka janji mau ditindaklanjuti dan didalami. Sampai sekarang kami masih menunggu janji itu agar cepat diselesaikan," kata Jais.

Hal senada disampaikan Siswanto, Ketua Kelompok Tani di Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Batanghari, Jambi. Dia mengatakan dikelompoknya ada 40 KK yang dirampas oleh mafia tanah dengan luasan 34 hektar.

"Kami sudah ke ATR-BPN tapi kini belum selesai. Semua belum jelas," kata Siswanto, transmigran asal Kabupaten Bogor.

Laporan mereka kepada Kementrian ATR-BPN sudah disampaikan pada Maret lalu. Mereka masih menunggu upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah kebun transmigrasi yang diduduki mafia tanah. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup(Walhi) Jambi Abdullah mengatakan, penyerobotan tanah dilakukan mafia tanah ini dilakukan orang lokal yang memiliki kekuasaan tak terbatas.

Hasil kajian awal yang dilakukan Walhi Jambi--lembaga yang mendampingi petani transmigrasi tersebut, kerugian yang diakibatkan oleh pengusaan kebun transmigrasi mencapai Rp74 miliar.

“Kasihan petani punya legalitas yang sah, tapi tidak bisa menanam dan memanen di atas haknya itu. Kami minta pemerintah segera menyelesaikan pengusaan lahan transmigrasi oleh mafia tanah ini,” kata Abdullah.

Peringatan Hari Tani di Jambi

Hari Tani di Jambi
Petani membentangkan spanduk dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Tani di Jambi, Senin (26/9/2022). Bertepatan dengan Hari Tani ini mereka mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria. (Liputan6.com/dok Walhi Jambi)

Ratusan petani dari 6 wilayah kabupaten di Jambi bersama Walhi menggelar unjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional. Mereka longmarch dari Simpang BI dan lapangan Kantor Gubernur Jambi, Telanaipura, Kota Jambi, Senin (26/9/2022).

Aksi unjuk rasa itu dilakukan untuk mendesak pemerintah menyelesaikan konflik agraria dan mengusut mafia tanah. Secara bergantian, perwakilan petani berorasi. Berbagai tuntutan mereka lancarkan lewat pelantang.

“Kembalikan wilayah kelola rakyat, mengusut tuntas mafia tanah, dan menindak tegas korporasi yang merusak lingkungan,” demikian teriak orator.

Direktur Walhi Jambi Abdullah mengatakan, konflik agraria di Jambi tercatat 156 kasus. Konflik ini melibatkan perusahaan swasta dan BUMN, bahkan individu yang memiliki kekuasaan tak terbatas.

Dari jumlah konflik agraria ini menempatkan Jambi pada posisi kedua sebagai penyumbang konflik agraria terbanyak di Indonesia. Abdullah mendesak pemerintah menerapkan skema penyelesaian konflik agraria yang sesuai dengan kepentingan rakyat, khususnya bagi para petani.

“Konflik agraria ini menimbulkan intimidasi pada petani. Sedangkan konflik agraria tidak ditanggapi serius oleh aparat penegak hukum,” ucap Abdullah.

Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Provinsi Jambi, Ariansyah mengapresiasi para petani yang telah tertiba melancarkan aksi unjuk rasa tersebut. Pemerintah berjanji akan menelaah konflik agraria yang diderita para petani ini.

“Serta kami akan mendalami dugaan adanya mafia tanah,” kata Ariansyah di hadapan para pengunjuk rasa.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya