Bersengketa dengan Pengusaha Ternama, 28 Warga Sulsel bakal Minta Perlindungan Menkopolhukam

Mereka sebelumnya bersengketa dengan salah seorang pengusaha kenamaan asal Sulsel yakni Aksa Mahmud.

oleh Fauzan diperbarui 22 Okt 2022, 11:50 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2022, 22:30 WIB
Konfrensi pers kasus sengketa lahan 28 warga sulsel vs Aksa Mahmud (Liputan6.com/Fauzan)
Konfrensi pers kasus sengketa lahan 28 warga sulsel vs Aksa Mahmud (Liputan6.com/Fauzan)

Liputan6.com, Makassar - Kuasa hukum dari 28 warga Sulawesi Selatan yang menjadi tergugat dalam kasus sengketa sita jaminan di Jalan Hertasning Baru, Kecamatan Rappocici, Kota Makassar, Sulawesi Selatan bakal melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri Makassar ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tak hanya itu, mereka juga akan meminta perlindungan kepada Menko Polhukam, Mahfud MD. 

"Dalam waktu dekat saya akan ke Jakarta untuk mengadukan ini ke MA dan KY. Saya juga sekalian mau ke Menko Polhukam untuk meminta perlindungan hukum," kata Syamsuddin, kuasa hukum dari 28 warga tersebut, Jumat (21/10/2022). 

Dia menjelaskan bahwa ketiga hakim PN Makassar itu diduga melanggar etika dalam memutuskan perkara nomor 409/PDT.BTH/2021/PN.Makassar tertanggal 16 Oktober 2022. Betapa tidak, sejumlah putusan dalam sengketa lahan dan sita jaminan itu terbukti hakim bersikat aktif atau Ultra Petita.

"Hakim disini bersifat aktif, padalah sebagaimana azas hukum dimana hakim dalam perkara perdata harus bersifat pasif sebagaimana azas hukum perdata. Tindakan tersebut telah melanggar azas hukum Ultra Petita," terang Syamsuddin.

Dalam perkara itu, Majelis Hakim yang diketuai oleh Farid Hidayat Sopamena itu menyempurnakan amar putusan dan mengabulkan apa yang sama sekali tidak diminta oleh penggugat. Dengan demikian amar putusan dalam perkara tersebut berubah. 

"Setidaknya ada tiga amar putusan yang berubah karena Hakim bersifat aktif. Dimana dalam amar gugatan disebut menyatakan mencabut, membatalkan  serta mengangkat sita jaminan, oleh majelis hakim diubah menjadi menyatakan tidak sah dan tidak mengikat sita jaminan," jelasnya. 

Selain bersifat aktif dan, lanjut Syamsuddin, Majelis Hakim juga menambahkan bahwa putusan tersebut bisa dijalankan lebih dulu meskipun timbul verzet, banding, atau kasasi dan upaya hukum lainnya. Hal tersebut menurut dia sangat janggal.

"Ini saja sampai sekarang kami belum terima salinan putusan hanya pemberitahuan putusan. Bagaimana kami bisa membuat memori banding," imbuhnya. 

 

Awal Mula Perkara hingga 28 User rugi total Rp9 M

Berdasarkan data yang diterima Liputan6.com, sengketa lahan itu bermula dari dibangunnya sebuah kondotel di Jalan Hertasning, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar pada tahun 2010 silam. Setelah struktur bangunan setinggi 21 lantai itu telah rampung, kamar-kamar kondotel itu kemudian mulai dipasarkan. 

Dalam waktu singkat 28 warga Sulsel pun bersepakat membeli kamar kondotel tersebut dengan perjanjian bahwa kondotel tersebut sudah rampung pada tahun 2015. Ternyata hingga waktu yang dijanjikan, kondotel tersebut tak kunjung rampung hingga melalui kuasa hukumnya, 28 warga tersebut kompak mengajukan gugatan wanprestasi sebagaimana perkara nomor 335/PDT/2018/PN.MKS. 

Dari gugatan tersebut, lahirlah putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah terbit sita jaminan atas aset yang dimaksud sebagimana yang telah ditetapkan oleh PN Makassar pada tanggal 21 Februari 2019 dimana tergugat dalam hal ini Mubyl Handaling telah menyerahkan akta jual beli atas lahan seluas 1.850 meter persegi sebagai bentuk tanggung jawab penyelesaian perkara tersebut. 

"Jadi objek itu secara sah menjadi milik 28 warga yang menggugat saat itu," jelas Syamsuddin. 

Belakangan, PN Makassar tiba-tiba menerbitkan putusan eksekusi atas lahan tersebut pada 22 Juli 2020. Putusan itu diterbitkan atas gugatan yang telah diajukan oleh pengusaha ternama asa Sulsel, Aksa Mahmud, dengan dalih lahan yang telah dikuasai oleh 28 warga itu terlebih dahulu diwakafkan kepada Aksa Mahmud. 

"Para user atau 28 warga yang telah secara sah tentu melakukan upaya hukum balik," jelasnya. 

Namun, Aksa Mahmud ternyata melakukan berbagai upaya untuk bisa menguasai lahan seluas 1.850 meter persegi tersebut. Menurut Syamsuddin, Aksa Mahmud sempat melaporkan 28 warga tersebut ke polisi atas tuduhan pemalsuan surat, penggelapan hak dan penyerobotan. 

"Namun itu tidak terbukti," sebutnya. 

Syamsuddin pun menduga bahwa alasan pihak Aksa Mahmud begitu ingin menguasai lahan tersebut lantaran perusahan milik Aksa Mahmud yakni Bosowa telah membeli bangunan kondotel yang telah terbengkalai tersebut. Bangun tersebut rencananya akan dijadikan rumah sakti. 

"Lahan ini kan menjadi akses utama untuk masuk ke bangunan yang akan dijadikan rumah sakit itu," jelasnya. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya