Liputan6.com, Makassar - Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menyoroti pelaksanaan sidang agenda pembacaan dakwaan perkara korupsi pengelolaan dana PDAM Kota Makassar yang digelar secara daring atau online, Senin (15/5/2023).
"Kami mendesak pada sidang berikutnya Pengadilan Negeri Makassar menghadirkan para terdakwa di depan persidangan alias sidangnya offline agar pemeriksaan perkara bisa berjalan profesional dan proporsional," ucap Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun.
Ia turut mendesak kehadiran Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi langsung jalannya persidangan perkara korupsi yang menjerat adik Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo dan rekannya, Iriawan Abadi sebagai terdakwa.
Advertisement
"Perkara ini termasuk perkara yang paling disoroti publik, sehingga butuh pengawalan ketat dari KY selama persidangan berjalan. Awal persidangan saja sudah mencurigakan karena di sidang online padahal kondisi saat ini, darurat Covid sudah dicabut. Ada apa?," cetus Kadir.
Pengadilan Negeri Makassar melalui Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini, menurut Kadir, seharusnya bersikukuh atau ngotot pelaksanaan sidang digelar secara offline atau menghadirkan para terdakwa di depan persidangan. Bukannya, kata Kadir, justru menyetujui sidangnya digelar online atau secara daring.
"Kalau sidangnya offline kan bisa maksimal jalannya pemeriksaan perkaranya nanti. Tidak seperti sidang online yang kerap ada kendalanya dan tidak berjalan maksimal, diantaranya menyangkut signal yang sering tidak normal," ungkap Kadir.
Diketahui, pembacaan dakwaan pada sidang perdana perkara korupsi pengelolaan dana PDAM Makassar yang mendudukkan dua orang terdakwa masing-masing Haris Yasin Limpo dan Iriawan Abadi berlangsung secara daring (online) di Pengadilan Negeri Makassar, Senin (15/5/2023).
"Iya betul tadi sidangnya secara online dengan agenda pembacaan dakwaan," ucap Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi.
Adapun bertindak sebagai penuntut umum dalam perkara tersebut, kata dia, masing-masing Muhammad Yusuf, Abdullah dan Kamariah.
Dalam dakwaan yang telah dibacakan oleh Tim Penuntut Umum, di mana para terdakwa didakwa melanggar pasal primair yakni pasal 2 (1) jo. pasal 18 UU Tipikor jo. pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo. pasal 64 (1) KUHP serta Subsider pasal 3 jo. pasal 18 UU Tipikor jo. pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo. pasal 64 (1) KUHP.
Para terdakwa dinilai telah melakukan perbuatan secara melawan hukum yaitu mengusulkan pembagian laba yang kemudian membayarkan tantiem dan bonus/ jasa produksi serta pembayaran asuransi dwiguna jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebesar Rp20.318.611.975,60 sebagaimana dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan.Â
Perbuatan yang dilakukan para terdakwa secara berturut-turut dan tidak dapat ditentukan lagi sebanyak berapa kali atau setidak-tidaknya lebih dari satu kali dan perbuatan para terdakwa dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut (voorgezette handeling).
"Setelah mendengarkan pembacaan dakwaan, Penasehat Hukum terdakwa mengajukan eksepsi serta di depan persidangan mereka turut mengajukan permohonan penangguhan penahanan," terang Soetarmi.
Pengadilan Dimintai Tak Beri Penangguhan Penahanan
Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) turut mendesak Pengadilan Negeri Makassar untuk tidak memberikan toleransi kepada para terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PDAM Kota Makassar utamanya memberikan penangguhan penahanan nantinya.
"Pengadilan harus punya komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Jangan beri kelonggaran bagi para terdakwa korupsi termasuk terdakwa di kasus korupsi PDAM Makassar ini," ucap Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi.
Jika nantinya pengadilan memberikan penangguhan penahanan kepada para terdakwa dugaan korupsi PDAM Kota Makassar tersebut yang saat ini telah berstatus tahanan Lapas Klas 1 Makassar, maka kata Kadir, kebijakan tersebut dapat dinilai sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi. Komitmen dan eksistensi pengadilan dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.
"Kita harap nanti teman-teman di kejaksaan mengantisipasi itu dengan berkoordinasi dengan Komisi Yudisial (KY) guna mengawal hal tersebut," terang Kadir.
Advertisement
Kronologi Penangkapan
Dalam kasus korupsi pengelolaan dana lingkup PDAM Kota Makassar ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah menetapkan adik Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo sebagai tersangka.Â
Selain Haris yang diketahui mantan Direktur Utama PDAM Kota Makassar itu, Kejati Sulsel turut mentersangkakan juga mantan Direktur Keuangan PDAM Kota Makassar, Iriawan Abadi.
Haris Yasin Limpo yang diketahui tepatnya menjabat Direktur Utama PDAM Kota Makassar periode 2015- 2019 dan Iriawan Abdullah yang menjabat Direktur Keuangan periode 2017- 2019 itu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi penggunaan dana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar untuk pembayaran tantiem dan bonus/jasa produksi periode 2017- 2019 serta premi asuransi dwiguna jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota periode 2016- 2019.
Haris Yasin Limpo ditetapkan jadi tersangka berdasarkan surat penetapan tersangka Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor 91/P.4/Fd.1/04/2023 tanggal 11 April 2023 dan Iriawan Abdullah berdasarkan penetapan tersangka Nomor :92/P.4/Fd.1/04/2023 tanggal 11 April 2023.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah Penyidik mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah serta telah keluarnya penghitungan kerugian keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Di mana dari hasil audit BPKP ditemukan kerugian sebesar Rp20.318.611.975,60.
Kasus yang menjerat adik kandung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo beserta rekannya, Iriawan Abdullah tersebut, bermula pada Tahun 2016 hingga 2019.Â
Di mana dalam 4 tahun tersebut, PDAM Kota Makassar mendapatkan laba dan untuk menggunakan laba tersebut dilakukan rapat direksi yang disetujui oleh dewan pengawas dan kemudian ditetapkan oleh Wali Kota Makassar.
Adapun prosedur untuk permohonan penetapan penggunaan laba dari direksi kepada Wali Kota Makassar melalui dewan pengawas sampai dengan pembagian laba tersebut, seharusnya melalui pembahasan atau rapat direksi kegiatan itu tercatat atau dicatat dalam notulensi rapat.Â
Namun faktanya, sejak 2016 hingga 2018 tidak pernah dilakukan pembahasan rapat oleh direksi baik terkait permohonan penetapan penggunaan laba hingga pembagian laba serta tidak dilakukannya pencatatan (notulensi) sehingga tidak terdapat risalah rapat. Melainkan pengambilan keputusan oleh direksi hanya berdasar pada rapat per-bidang. Diantaranya jika tentang keuangan, maka pembahasan tersebut hanya terdiri dari Direktur Utama dan Direktur Keuangan PDAM Kota Makassar.
"Meskipun PDAM Kota Makassar mendapatkan laba, seharusnya PDAM Kota Makassar memperhatikan adanya kerugian dalam hal ini kerugian akumulasi sejak berdirinya PDAM Kota Makassar sebelum mengusulkan untuk menggunakan laba," ucap Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel, Yudi Triadi dalam konferensi pers penetapan tersangka korupsi penggunaan dana PDAM Kota Makassar di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 12 April 2023.
Kedua tersangka dinilai tidak mengindahkan aturan Permendagri No. 2 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian PDAM, Perda No. 6 Tahun 1974 dan PP 54 Tahun 2017 karena beranggapan bahwa pada tahun berjalan kegiatan yang diusahakan memperoleh laba sedangkan akumulasi kerugian bukan menjadi tanggungjawabnya melainkan tanggungjawab direksi sebelumnya sehingga mereka berhak untuk mendapatkan untuk pembayaran tantiem dan bonus/ jasa produksi yang merupakan satu kesatuan dari penggunaan laba yang diusulkan.
Pada kedua aturan tersebut yakni Perda No. 6 Tahun 1974 dengan PP 54 Tahun 2017, terdapat perbedaan besaran penggunaan laba. Perda No. 6 Tahun 1974 dengan PP 54 Tahun 2017 khususnya pembagian tantiem untuk direksi sebesar 5 persen dan bonus pegawai 10 persen. Sedangkan pada PP 54 Tahun 2017 pembagian tantiem dan bonus hanya 5 persen, sehingga aturan tersebut tidak digunakan untuk pembayaran penggunaan laba.
Tak hanya itu, dari hasil penyidikan kasus korupsi pengelolaan anggaran lingkup PDAM Kota Makassar tersebut, turut ditemukan ada pemberian premi asuransi dwiguna jabatan bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar pada asuransi AJB Bumiputera yang diberikan berdasarkan perjanjian kerjasama antara PDAM Kota Makassar dengan Asuransi AJB Bumiputera, namun tersangka berpendapat lain tanpa memperhatikan aturan perundang- undangan bahwa Wali Kota dan Wakil Wali Kota sebagai pemilik modal ataupun KPM tidak dapat diberikan asuransi tersebut, oleh karena yang wajib diikutsertakan adalah pegawai BUMD pada program jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan sosial lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Sehingga pemberian asuransi jabatan bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota tidak dibenarkan dengan dasar bahwa selaku pemilik perusahaan daerah/ pemberi kerjalah yang berkewajiban untuk memberikan jaminan kesehatan bukan sebagai penerima jaminan kesehatan.
Dari penyimpangan yang terjadi pada penggunaan laba untuk pembagian tantiem dan bonus/jasa produksi serta premi asuransi dwiguna jabatan bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar tersebut, mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan daerah Kota Makassar khususnya kas PDAM Kota Makassar senilai Rp20.318.611.975,60 sebagaimana hasil audit yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Atas perbuatannya, kedua tersangka disangkakan dengan Pasal Primair yakni Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor : 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal Subsidair yakni Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.