Liputan6.com, Makassar - Sidang kasus tambang mineral dan batubara yang menjerat mantan Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (26/6/2023) siang. Dalam sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sulsel menghadirkan dua saksi, masing-masing Fardi dan Herlina.
Fardi diketahui sebagai saksi sekaligus pelapor dalam kasus ini. Dia juga merupakan seorang anggota polisi yang bertugas di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel.
Dalam sidang tersebut, Fardi tak mampu membuktikan dugaan laporan palsu yang didakwakan kepada terdakwa. Bahkan, yang bersangkutan tak memahami tentang Undang-undang Perseroan Terbatas (PT) dan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Advertisement
Saat dicecar pertanyaan baik dari majelis hakim maupun tim kuasa hukum Helmut Hermawan, saksi Fardi tak mampu menjelaskan tentang Undang-undang Perseroan Terbatas (PT) dan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Ironisnya, saksi pelapor tersebut mengaku tidak pernah membaca tentang undang-undang tersebut. "Saudara saksi, apakah pernah baca UU Perseroan Terbatas?," tanya kuasa hukum Helmut Hermawan, Tadjuddin Rachman kepada Fardi.
Pertanyaan Tadjuddin pun lantas dijawab saksi dengan jawaban tidak pernah. "Tidak (tidak pernah baca)," ujar Fardi.
Begitu juga saat Tadjuddin mencecar saksi pertanyaan mengenai UU Minerba. Saksi diminta untuk menjelaskan mengenai isi dari undang-undang tersebut. Namun, lagi-lagi saksi menjawab tidak tahu menahu mengenai undang-undang tersebut.
"Saya tidak tahu," jawab penyidik Ditreskrimsus Polda Sulsel itu.
Polisi Dinilai Tidak Profesional
Atas keterangan saksi pelapor tersebut, Tajuddin menilai sejak awal penegak hukum tidak profesional menangani kasus itu. Menurut dia, kliennya sama sekali tidak membuat laporan palsu mengenai produksi pertambangan.
Menurut dia, ada dokumen dari ESDM yang menyatakan bahwa belum ada laporan mengenai produksi bijih nikel untuk Triwulan III. Sayangnya, Polda Sulsel sudah lebih dahulu menuduh terdakwa telah membuat laporan palsu. Sekadar diketahui, Helmut Hermawan adalah mantan direktur PT CLM yang diduga mendapatkan kriminalisasi dari institusi kepolisian terkait kepemilikan saham miliknya. Belakangan, Ditreskrimsus Polda Sulsel menerbitkan Laporan Polisi (LP) model “A” lalu menangkap Helmut Hermawan dengan surat perintah penangkapan nomor SP.Kap/ 08 /II/RES.5./2023/Ditreskrimsus. Surat perintah penangkapan tersebut dikeluarkan tanggal 22 Februari 2023 lalu. Surat tersebut turut ditandatangani Herly Purnama, Kompol NRP 840717183 dan Helmi Warta Kusuma Putra R, Komisaris Besar Polisi NRP 71050400.
Tadjuddin mengatakan, secara singkat apa yang terjadi pada Helmut Hermawan adalah termasuk upaya kriminalisasi. Dimana sejak awal terbitnya Laporan Polisi (LP) model “A” dan proses berita acara pemeriksaan yang berujung pada surat dakwaan sebagaimana disampaikan dalam persidangan.
"Kami menilai, terbitnya LP (model “A”), tidak terlepas dari adanya pesanan dan kepentingan pihak tertentu yang bermula dari proses peristiwa perdata yang bermotif ingin menguasai lahan tambang milik terdakwa selaku Direktur Perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan)," ujar Tadjuddin.
Selain itu, Tadjuddin juga menyebut, dari jenis LP dan Pasal yang didakwakan kepada terdakwa merupakan persoalan administratif sehingga penyelesaiannya seharusnya bukan menggunakan instrumen pidana. Termasuk juga fakta-fakta yang terjadi yang menyertai peristiwa hukum perjanjian atau perdata antara terdakwa selaku Direktur PT. Citra Lampia Mandiri (CLM) perseroan pemegang saham PT. Asia Pacific Mining Resources (APMR) dengan PT. Aserra Capital (AC) dan PT. Aserra Mineralindo Investama (AMI).
"Sangat jelas terlihat, bahwa peristiwa hukum yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap terdakwa," kata pengacara senior ini.
Advertisement
Fakta-Fakta
Hubungan keperdataan yang terjadi dianggap Tadjuddin sangat berkorelasi erat dengan perkara ini, atau pada pokoknya, PT. Aserra Capital (AC) dan PT. Aserra Mineralindo Investama (AMI) dengan hanya bermodalkan USD 2.000.000 telah menguasai dan mengambil alih APMR, CLM, lahan tambang, kantor operasional dan pelabuhan pengangkut hasil tambang dari nilai aset yang telah disepakati dalam Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB), yakni senilai USD 23.500.000.
Menurutnya, terdakwa telah dipaksa dan digiring untuk menyerahkan seluruh kepemilikan atas aset PT. CLM melalui instrumen pidana yang saat ini berlangsung.
"Kami menilai bahwa dakwaan kepada klien kami ngawur dan sama sekali tidak berdasar. Surat dakwaan dibuat dengan lebih mengedepankan semangat untuk memenjarakan terdakwa dibandingkan dengan mengungkapkan kebenaran yang didasarkan atas fakta-fakta yang sebenarnya terjadi," tuturnya.
Selain itu, dalam kasus ini juga dianggap tidak sepenuhnya memahami proses pembuatan laporan triwulan yang merupakan rangkaian proses komprehensif. Atau sejak mula persiapan, eksplorasi sampai tahap penjualan.
Rangkaian tahapan produksi nikel Perusahaan PT. CLM dari perencanaan, pengajuan RKAB, proses produksi, mekanisme pelaporan ke ESDM, pemeriksaan oleh surveyor independen, pembayaran royalti/PNBP, pengapalan, hingga pelaporan ke Syahbandar.
Menurut Tadjuddin, kliennya telah didakwa dengan membuat Laporan Triwulan I dan II yang tidak benar atau palsu. Padahal, kata dia, yang berhak menilai benar atau tidak adalah Kementerian ESDM dalam hal ini Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.
Tadjuddin mengatakan, jika ada kesalahan atau kekeliruan, PT CLM akan mendapatkan teguran dari ESDM. Faktanya, kata dia, teguran atau pemberitahuan atas kekeliruan itu sama sekali tidak ada.
"Jika ada kekeliruan, maka dikenal istilah “revisi” atas Laporan Triwulan yang disampaikan dalam periode Triwulan berikutnya. Untuk itu Kami mempertanyakan, bagaimana cara membuat dakwaan, seolah-olah terdakwa telah membuat membuat Laporan Triwulan I dan II yang tidak benar atau palsu," tegas Tadjuddin.
Bukan hanya itu, JPU juga dinilai secara sembrono, telah menuduh dalam dakwaannya, dengan menyatakan terdakwa selaku Direktur Utama PT. CLM meminta dan mengarahkan Ahmad Sobri, selaku Kepala Teknik Tambang PT. CLM untuk menyiapkan Laporan Triwulan III yang di dalamnya memuat di antaranya realisasi produksi dari bulan Juli sampai dengan Oktober Tahun 2022 sebanyak 0 MT atau sama sekali tidak ada produksi bijih nikel.
Padahal, kata Tadjuddin, faktanya produksi bijih nikel Triwulan III, bulan Juli sampai dengan bulan Oktober, memang belum dilaporkan oleh PT. CLM. Untuk itu JPU dianggap telah memanipulasi keterangan seolah-olah terdakwa yang menyuruh membuat laporan nol.
"Uraian-uraian itu yang kami nilai ngawur dan tidak masuk akal, adalah terkait dengan tuduhan pembuatan Laporan Penjualan yang tidak benar, dengan uraian yang menyatakan, dan berdasarkan data pengapalan muatan bijih nikel yang dijual oleh PT. CLM dari bulan Januari sampai dengan Oktober Tahun 2022 sesuai laporan bulanan kegiatan operasional di pelabuhan yang tidak diusahakan TK. II dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Malili," imbuh Tadjuddin.