Liputan6.com, Batam - Pulau Rempang merupakan salah satu pulau terbesar kedua setelah Batam diantara deretan dan gugusan pulau-pulau kecil diantara semenanjung selat Malaka dan Singapura, menghubungkan langsung dengan jalur Sutra sebagai jalur Internasional.
Jauh sebelum Pulau Rempang masuk ke wilayah Admistrasi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Rempang Galang dan Batam masuk ke wilayah ke kesultanan Riau Lingga Johor dan Pahang.
Kala itu Pulau Rempang dan Galang sudah dihuni oleh dua kelompok Melayu yang sama hidupnya berpindah-pindah (Nomaden), suku laut atau orang laut yang mereka hidup di pesisir dengan Perahu Kajangnya dan Suku Darat dan mereka hidup dari hasil hutannya.
Advertisement
Hulu Sungai Sadap (Muara) yang menghubungkan dengan perairan laut cate, Blongkeng di Pulau Rempang menjadi persinggahan terakhir orang suku darat. Mereka tak lagi berpindah-pindah.
Lamat Anak (Bin) Kosot adalah salah satu penduduk asli dari suku darat pulau Rempang bercerita bahwa dirinya dilahirkan bersama 3 saudara bukan dalam kondisi menetap seperti yang sekarang melainkan berpindah-pindah.
"Saya lahir di Ulu Buton, bukan di Sadap, kami 4 bersaudara, Abang saya sudah meninggal, tinggal 2 lagi saudara," kata Lamat sambil mengisap cangklong Mangtove yang berisi tembakau.
Â
Ada 8 Jiwa
Lamat mengungkapkan bahwa yang tinggal di Kampung Ulu Sadap hanya 8 Jiwa yang tersisa diantaranya dirinya mertuanya bernama Senah, kemudian Yang Adek (sepupu), Opo (adik ), Tongku, Baru (anak Yang Adek), Umiaty dan Juli (keponakan Lamat).
Dari 8 orang Suku Darat Lamat anak(bin) Kosot (65) termasuk dituakan. Ia mengaku tidak begitu memamahami tentang silsilah asal -usul moyangnya terdahulu karena kedua orang tuanya tak pernah menceritakannya. Lamat hanya bercerita sering diajak berburu dan mencari hasil hutan, tidak menetap di suatu tempat.
"Nanti yang di luar kampung Sadap akan berbuat rumah di sini, kami berkumpul di sini," kata Lamat.
Semenjak ditinggal wafat anak dan Istrinya Lamat ditemani Stephen, anjing peliharaannya yang setia kemana ia pergi selalu mengikuti. Kadang ia ditemani kemenakan istrinya. Mereka kadang dipekerjakan memanen kelapa muda dan membersihkan kebun sebuah perusahaan yang ada di sekitar Kampung Sungai Sadap Hulu.
"Memanen kelapa upahnya seribu rupiah/butir. Atau membersihkan kebun upahnya dua ribu rupiah/pohon," kata Lamat.
Lamat mengaku sebagai pekerja kebun jika ada yang memperkerjakan. Juga mencari kepiting dan ikan Sembilang di muara sungai. Namun beberapa bulan ini Lamat tidak pernah lagi ke sungai mencari ikan. Perahunya rusak dan tak sanggup lagi memperbaiki.
Â
Advertisement
Kondisi Terkini
Rumah yang ditempati merupakan bantuan dari Pemerintah ketika orang tua dan istrinya masih ada 4 tahun lalu. Rumah itupun kini sudah mulai lapuk,Â
Memang sebulan terakhir listrik sudah masuk ke Kampung Sadap. Lamat ingin rumahnya terang dengan lampu listrik. Namun ia tidak mampu membayarnya.
Lamat bercerita bahwa suku darat mempunyai bahasa tersendiri yang tidak begitu berbeda dengan bahasa masyarakat Galang. Ia mulai mengerti Bahasa Indonesia sejak banyak yang orang luar dari Batam datang ke kampungnya.
Saat di tanya untuk mempraktikan bahasa Suku Darat ia tidak mengaku bisa menggunakan bahasa Suku Darat ketika tidak ada lawan bicaranya.
Suku Darat yang ada sekarang ini tidak semua menetap di Kampung Ulu sadap, mereka ada yang menikah dengan Suku Jawa (Sunda) Melayu pesisir dan Tionghoa.
Untuk 8 orang dari tiga kepala keluarga yang tinggal di Kampung Ulu Sadap. Ada 3 anak bersekolah di SD Tanjung Kertang.