Alasan Rumusan Cukai Hasil Tembakau 2025 Perlu Ditinjau Ulang

Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan faktor kesehatan menjadi acuan dalam menentukan besaran cukai CHT.

oleh Tim Regional diperbarui 10 Mei 2024, 12:18 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2024, 21:30 WIB
Gapri 23 Nov 2016
Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlebihan secara terus-menerus dinilai akan sangat memberatkan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Namun, jika pemerintah tetap ingin melanjutkan rencana kenaikan cukai, sejumlah pihak merekomendasikan agar kenaikannya moderat, tidak lebih dari dua digit dan sesuai dengan tingkat inflasi saat ini.

Hal tersebut lantaran kebijakan kenaikan CHT di tahun 2023-2024 justru memicu polemik baru. Tidak hanya menyebabkan turunnya realisasi penerimaan negara dari CHT tetapi juga memperbesar perpindahan konsumsi ke rokok ilegal.

Dalam laporannya, Kementerian Keuangan menjelaskan penerimaan negara dari CHT sepanjang 2023 -2,35% (YoY) menjadi hanya Rp213,48 triliun dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho berpendapat jika ingin menaikkan tarif cukai pada 2025, pemerintah perlu meninjau kembali rumusan yang membentuk tarif cukai. Rumusan yang baku, transparan, dan jelas sangat berpengaruh pada penerimaan negara dan juga keberlangsungan dari IHT itu sendiri

Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan faktor kesehatan menjadi acuan dalam menentukan besaran cukai CHT.

“Misalnya saja dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di 2025 mencapai 5%, lalu inflasi di angka 3% dan faktor kesahatan tidak lebih dari 1%, sehingga semestinya tarif CHT di kisaran 9%, sehingga pelaku usaha bisa lebih bersiap untuk menaikkan setorannya pada negara,” ujarnya.

Ia menilai pengendalian konsumsi rokok tidak hanya terletak pada tarif cukai saja tetapi juga pada insentif dan fiskal. Apalagi kenaikan cukai yang eksesif bagi IHT akan berdampak ke sektor lain yang terkait seperti pertanian, padat karya, tenaga kerja, dan juga ritel.

“Sampai saat ini belum ada arah yang jelas kesana dan masih bersifat memaksa. karena kalau kita hanya fokus pada kenaikan tarif cukai pasti akan berimplikasi pada meningkatnya rokok ilegal,” ucapnya.

Sebab saat cukai naik terlalu tinggi, harga rokok pun langsung ikut meningkat. Sementara itu pabrikan tidak bisa begitu aja mengalihkan beban kenaikan tarif cukai secara langsung dan serentak kepada konsumen. Hasilnya konsumen “terpaksa” berpindah ke rokok yang lebih terjangkau dan malah membuka peluang pasar yang lebih luas bagi peredaran rokok ilegal.

Tingginya peredaran rokok ilegal pun terlihat dari penindakan yang dilakukan bea cukai sepanjang 2023. Melalui Operasi Gempur Rokok Ilegal tahap dua ditemukan peredaran rokok ilegal melalui PJT mengalami peningkatan dengan jumlah barang hasil penindakan mencapai 73,5 juta batang.

“Kami menilai estimasi rokok ilegal yang disurvei oleh Bea Cukai masih tergolong rendah. Karena etika rokok ilegal terus meningkat tentu cerminan yang buruk terhadap Bea Cukai. Padahal kalau kita berbicara rokok ilegal tidak hanya tupoksi Bea Cukai tapi sudah masuk kejahatan internasional atau kejahatan cross border,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, turut menyoroti kebijakan kenaikan CHT di tahun 2023-2024 juga dinilai tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal.

 

Dia mengimbau pemerintah harus lebih serius dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, angka kerugian negara dari usaha ilegal, termasuk rokok ilegal, jumlahnya sudah sangat tinggi untuk dapat ditambal oleh negara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya