Peringatan Mayday dan Alasan Buruh Masih Menolak Omnibus Law

Pada peringatan Hari Buruh 2024, tuntutan demonstrasi masih sama yakni tolak UU Ciptaker.

oleh Kartika diperbarui 01 Mei 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2024, 18:00 WIB
Ilustrasi Hari Buruh 1 Mei
Ilustrasi Hari Buruh 1 Mei. (Image by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja sudah berlangsung setahun lebih. Namun sejak disahkan, pada peringatan Hari Buruh (May Day) tahun ini penolakan terhadap UU Ciptaker masih menjadi tuntutan utama para buruh yang melakukan demonstrasi.

Tak terkecuali pada tahun 2024, peringatan Hari Buruh 1 Mei juga diwarnai aksi damai yang melibatkan ratusan ribu buruh dari seluruh Indonesia. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan aksi buruh kali ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain seperti Serang, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Batam, Medan, Banda Aceh, Palembang, Padang, Bengkuku, dan Pekanbaru.

Kemudian Jambi, Lampung, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Pontianak, Makassar, Konawe, Morowali, Gorontalo, Ambon, Ternate, Jayapura, Mimika, Lani Jaya, dan Tolikara. Aksi damai kali ini, kata dia, berisi dua tuntutan yaitu "Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja" dan "HOSTUM" atau Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah.

Said Iqbal menuturkan terdapat sembilan alasan para buruh menolak aturan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan pada pada 21 Maret 2023. Pertama, para buruh menolak UU Cipta Kerja karena aturan itu memberlakukan pembayaran upah minimum yang kembali pada konsep upah murah.

"Kedua, mereka menolak UU Cipta Kerja yang memberlakukan outsourcing seumur hidup karena tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing. Pembatasannya baru diatur dalam Peraturan Pemerintah. Itu artinya, negara memposisikan diri sebagai agen outsourcing," tegas Said yang juga Presiden Partai Buruh.

Bahkan, para buruh juga menyoroti pengadaan kontrak yang berulang-ulang dapat mencapai 100 kali kontrak. Menurutnya, hal ini sama saja dengan kontrak seumur hidup karena buruh dikontrak berulang kali meskipun ada pembatasan lima tahun dalam setiap kontraknya.

 

Pemberian Pesangon yang Murah

Kemudian, pada poin keempat, aksi buruh juga menyoroti pemberian pesangon yang murah. Said Iqbal menilai aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya berlaku membuat buruh bisa mendapatkan dua kali pesangon saat mengalami pemutusan hubungan kerja. Namun, UU Cipta Kerja hanya mengatur pemberian 0,5 kali pesangon.

Kelima, aturan pesangon tersebut juga dinilai mempermudah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karenanya, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menolak sistem "easy hiring easy firing" yang diberlakukan yang membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja.

Keenam, para buruh menuntut pemberlakuan pengaturan jam kerja yang fleksibel. Ketujuh, buruh meminta ada pengaturan cuti terutama untuk buruh perempuan terkait cuti haid dan cuti melahirkan. Kedelapan, buruh menyoroti perekrutan tenaga kerja asing imbas dari aturan UU Cipta Kerja. UU ini mengatur tenaga kerja asing boleh bekerja dulu saat administrasinya masih diurus.

Terakhir, para buruh ingin mengembailkan beberapa sanksi pidana yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 namun dihapuskan dalam UU Cipta Kerja.

Alasan Penolakan UU Ciptaker

Menurut Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat MPP, masih ditolaknya UU Ciptaker karena di tengah kondisi ekonomi yang tertekan dengan kenaikan harga sembako dan biaya hidup, buruh merasa bahwa perlindungan yang mereka peroleh semakin mengkhawatirkan.

"UU ini, yang dimaksudkan untuk memudahkan investasi dan efisiensi industri, tampaknya memperburuk kondisi pekerja dengan menetapkan upah minimum yang tidak memadai, terutama di tengah inflasi yang tinggi," sebutnya dalam rilis yang diterima Rabu (1/5/2024).

Dia menambahkan salah satu isu utama yang diangkat adalah konsep 'upah murah' yang diperkenalkan oleh UU ini. UU Cipta Kerja menghapuskan mekanisme penetapan upah yang melibatkan unsur tripartit, yang biasanya lebih menguntungkan pekerja dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

"Sebaliknya, aturan baru ini memungkinkan penetapan upah yang tidak memenuhi standar kelayakan hidup, membuat pekerja merasa tidak ada peningkatan nyata dalam kesejahteraan mereka," tambah dia.

Selain itu, outsourcing menjadi sorotan karena tidak lagi dibatasi jenis pekerjaannya, yang bisa berarti pekerjaan apapun dapat di-outsourcing. Ini menciptakan ketidakpastian kerja yang besar bagi buruh, yang mungkin harus menghadapi kontrak yang berulang-ulang tanpa harapan menjadi pegawai tetap.

Pun demikian dengan PHK yang dipermudah dan pesangon yang dikurangi menjadi hanya 0,5 kali dari sebelumnya adalah dua perubahan yang sangat mengkhawatirkan. "Praktik 'easy hiring easy firing' ini membuat pekerja merasa tidak ada keamanan dan stabilitas kerja, sementara pengurangan pesangon memperlemah jaring pengaman finansial mereka saat menghadapi pemutusan hubungan kerja," ujarnya.

Menurutnya, kombinasi dari semua faktor ini menunjukkan sebuah gambaran di mana buruh dan pekerja merasa sebagai kelas yang paling menderita di bawah undang-undang baru ini, terutama di saat ekonomi sedang tidak stabil. "Mereka meminta perlindungan sosial yang lebih komprehensif dan up-to-date untuk memastikan bahwa kesejahteraan dan hak-hak mereka terlindungi, tidak hanya di atas kertas tapi juga dalam praktik sehari-hari," tegas Achmad.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya