Simpul Walhi Gorontalo Serukan Moratorium Industri Ekstraktif

Setelah itu Simpul Walhi Gorontalo membentangkan spanduk yang bertuliskan “Pulihkan Gorontalo, Moratorium Industri Ekstraktif di Provinsi Gorontalo.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 12 Jun 2024, 08:57 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2024, 13:00 WIB
Simpul Walhi Gorontalo
Melalui poster masa aksi, mengampanyekan bahaya industri ekstraktif. Foto: Simpul Walhi Gorontalo (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Gorontalo - Simpul Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gorontalo meminta pemerintah untuk melakukan Moratorium Industri Ekstraktif di Provinsi Gorontalo.

Hal tersebut diserukan Simpul Walhi Gorontalo saat menggelar aksi refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap 5 Juni.

Aksi mereka dilakukan di jembatan Talumolo II, Kota Gorontalo. Aksi mereka dimulai dengan mimbar bebas, masing-masing perwakilan organisasi mengisinya dengan membawakan orasi ilmiah dan pembacaan puisi.

Unjuk rasa itu juga diwarnai dengan aksi teatrikal yang dibawakan oleh Indira Lomban dari Indung Art Project. Indira melumuri tubuhnya dengan lumpur, memakai sungkup oksigen dan meneriakan “bumi menderita”.

Apa yang dikatakan Indira itu melambangkan jika kondisi bumi saat ini sedang di ambang kehancuran. Indira menutup aksi teatrikalnya dengan membacakan puisi, 'Membaca Tanda-Tanda' karya Taufik Ismail.

Setelah itu Simpul Walhi Gorontalo membentangkan spanduk yang bertuliskan “Pulihkan Gorontalo, Moratorium Industri Ekstraktif di Provinsi Gorontalo.

Permintaan Moratorium Industri Ekstraktif dipercaya sebagai jalan untuk pulihkan Gorontalo atas ketidakpercayaan mereka terhadap kehadiran industri ekstraktif di Provinsi Gorontalo.

Renal Husa, Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo mengatakan, industri ekstraktif merusak sumber daya alam secara masif, dan mengambil hak-hak rakyat.

“industri ekstaktif merusak juga menimbulkan bencana ekologis yang merugikan,” kata Renal Husa.

 

Simak juga video pilihan berikut:

Kriminalisasi

Tarmizi Abbas, Koordinator Institute for Human and Ecological Studies (Inhides), dalam orasinya bilang, Provinsi Gorontalo sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

Menurutnya, pemerintah sedang gencar-gencarnya mendorong investasi, meminggirkan rakyat bahkan mengambil ruang-ruang mereka.

“Tahun 2022 lalu, lima orang petani yang ada di Desa Pangeya, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, dikriminalisasi oleh perusahaan sawit,” katanya

“Kriminalisasi yang dilakukan itu pun tanpa prosedur yang jelas. Mereka dijemput paksa oleh polisi menggunakan mobil perusahaan.” sambungnya

Tarmizi bilang, hal menjadi tanda jika kriminalisasi bisa terjadi saat kita sedang mempertahankan ruang-ruang hidup.

“Juga sebagai sebuah gambaran kecil dari konflik agraria yang sedang terjadi di Provinsi Gorontalo,” jelasnya.

Puput Pakaya, salah satu dinamisator Simpul Walhi Gorontalo juga mengatakan, aksi tersebut untuk mengkampanyekan bahaya industri ekstraktif.

Pasalnya, kata Puput, saat ini industri ekstraktif sudah mulai merambah hampir di setiap Kabupaten yang ada di Provinsi Gorontalo.

“Masyarakat Gorontalo perlu tahu, jika industri ekstraktif itu sangat destruktif. Menimbulkan konflik agraria, perebutan ruang hidup dan bencana ekologis,” ujarnya

Ketahui, aksi refleksi tersebut, diakhiri dengan penandatanganan pada spanduk bertuliskan “moratorium industri ekstraktif di Gorontalo” sebagai bentuk dukungan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya