Teriakan Lantang dari Rempang yang Hilang

Seruan adanya ketidakadilan jika berasal dari Pulau Rempang selalu akan menghilang, ada apa?

oleh Ajang Nurdin diperbarui 25 Jun 2024, 14:33 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2024, 14:33 WIB
Batam
Mereka mendiskusikan pemberitaan yang berhubungan dengan dinamika di Pulau Rempang. Foto: liputan6.com/ajang nurdin 

Liputan6.com, Batam - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi publik, membahas polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City, Jumat, 21 Juni 2024. 

Diskusi daring ini, menghadirkan Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc dan Rina Mardiana dari Pusat Studi Agraria IPB University dan KIKA. Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan Sasmito Madrim dari AJI Indonesia, Boy Jerry Even Sembiring dari Walhi Riau, Andri Alatas dari YLBHI-LBH Pekanbaru, warga Pulau Rempang, dan beberapa narasumber lainnya, mulai dari akademisi, aktivis dan peneliti.

Diskusi publik ini mengupas berbagai perspektif dari para narasumber mengenai polemik yang dialami masyarakat di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Berbagai sudut pandang muncul dalam diskusi ini termasuk framing berita yang tidak berimbang, hingga dampak sosial dari proyek tersebut.

Wadi, perwakilan warga Sembulang Hulu, Pulau Rempang, menyampaikan rasa keprihatinannya atas informasi yang disebarkan Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada publik. Wadi menilai pernyataan BP Batam mengenai data warga yang telah setuju untuk direlokasi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Kami berharap BP Batam jangan asal menyebarkan informasi apalagi bohong. Banyak yang menolak relokasi, jangankan ganti untung yang besar, kami tidak akan mau dipindahkan karena ini kampung kami dari ratusan tahun yang lalu," katanya.

Sementara itu, Saka asal Kampung Tua Pasir Panjang, Pulau Rempang, juga mengutarakan hal serupa. Menurutnya, mayoritas warga Kampung Tua Pasir Panjang menolak relokasi.

"Kami meminta BP Batam terbuka atas informasi yang ada, karena data warga penerima relokasi yang disampaikan oleh BP Batam fiktif," katanya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritik pemberitaan terkait konflik agraria di Pulau Rempang yang dipublikasi tanpa melakukan verifikasi. Perwakilan AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menyoroti minimnya pemberitaan yang sesuai dengan fakta di lapangan.

"Kalau kita lihat di pemberitaan, terdapat dua kubu dan ini terpecah," kata Sasmito.

Dia menjelaskan bahwa ada media yang bersikap kritis dan kredibel, sementara ada pula media yang mewakili kepentingan perusahaan.

Sasmito menekankan pentingnya verifikasi dalam setiap laporan berita untuk memastikan akurasi dan keadilan dalam pemberitaan, terutama dalam kasus konflik agraria yang berdampak langsung pada masyarakat di Pulau Rempang dan daerah lainnya.

 

 

Tetap Lantang

Batam
Barisan obor yang dipegang warga Pulau Rempang saat takbir keliling membentuk lingkaran tanpa putus. Foto: liputan6.com/ajang nurdin 

Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas menyoroti kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Menurut Andri, terdapat perbedaan mencolok antara pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat didahulukan dibandingkan pemegang konsesi, dengan tindakan nyata di lapangan.

"Kementerian hingga ke bawah tidak mengikuti instruksi Presiden Jokowi sehingga konflik agraria terus berlarut hingga saat ini," kata Andri.

Data YLBHI-LBH Pekanbaru di Pulau Rempang, ditemukan bahwa sekitar 90 kepala keluarga yang setuju untuk direlokasi bukan merupakan warga asli Pulau Rempang.

"Mereka menerima relokasi karena tidak memiliki ikatan emosional atau rasa sayang terhadap lahan dan kampung adat yang telah dijaga selama ratusan tahun," kata Andri.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring menambahkan, konflik penolakan pengukuran lahan yang terjadi pada 7 September 2023 di Pulau Rempang merupakan tragedi yang telah disusun secara sistematis oleh pemerintah.

Boy menyoroti ribuan personel gabungan yang dipersenjatai mengusir ribuan masyarakat dengan menggunakan tembakan peluru karet dan gas air mata.

"Ini bukti pemerintah secara sistematis menyusun dan melaksanakan tindakan represif terhadap masyarakat," kata Boy.

Hilangnya berita kritis juga mendapat perhatian. Menurutnya, BP Batam punya hak jawab, tapi tidak punya hak memaksa bahkan mengekang pemberitaan dan kebebasan. 

Rina Mardiana, perwakilan dari KIKA turut menyayangkan situasi konflik yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memadai di Pulau Rempang.

Rina menyebut telah menemukan fakta mengejutkan terkait janji-janji pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dia juga menyoroti banyaknya rilis berita dari BP Batam yang tidak terverifikasi.

"Klaim bahwa banyak warga yang bersedia direlokasi harus diverifikasi ulang, hasil investigasi kami menunjukkan fakta yang sangat berbeda di lapangan," kata Rina.

Dandhy Dwi Laksono, Co-Founder Watchdog mengungkapkan bahwa polemik di PSN Rempang Eco-City merupakan pertarungan berat bagi masyarakat setempat.

"Ini pertarungan yang sepertinya berat karena investor yang berada di Rempang hari ini merupakan investor yang sudah dua kali memiliki proyek besar dan gagal di Selat Sunda dan Teluk Benoa," kata Dandhy.

Ia menambahkan bahwa konflik agraria di Papua dan Banyuwangi jauh lebih kompleks. Di Papua masyarakat yang menolak dianggap pro kemerdekaan atau anti-NKRI, sementara di Banyuwangi, warga yang menolak tambang emas dicap sebagai komunis.

"Identitas Melayu yang digunakan masyarakat Rempang sangat relevan sebagai instrumen untuk menggalang dukungan solidaritas masyarakat," katanya.

Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman. Ia menyatakan bahwa negara telah melakukan kejahatan terencana terhadap masyarakat di Pulau Rempang, seperti yang terjadi di daerah lain.

 

"Negara secara terang benderang melakukan kejahatan serius terhadap masyarakatnya sendiri. Negara tidak hanya merampas tanah, tapi juga merampas ruang hidup dan masa depan anak cucu masyarakat terdampak. Masalah di Pulau Rempang adalah masalah kita bersama, sebagai sebuah bangsa," kata Herdiansyah.

Menurutnya, negara harus menjadi wakil yang merepresentasikan kepentingan rakyat Indonesia, bukan sebagai pihak yang merampas tanah rakyatnya sendiri.

Di akhir pernyataannya, Herdiansyah membacakan sepenggal puisi karya Wiji Thukul yang berjudul 'Pepatah Buron'.

"Kawan sejati adalah kawan yang masih berani tertawa bersama walau dalam kepungan bahaya," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya