Liputan6.com, Tapanuli Utara Kegembiraan dirasakan masyarakat adat di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), usai menerima Surat Keputusan (SK) Nomor 6056/2024.
SK tersebut menetapkan status Hutan Adat di wilayah masyarakat hukum adat Simardangiang dengan luas 2.917 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
Mereka juga telah menerima SK Bupati Tapanuli Utara Nomor 457/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat seluas 5.797 hektare.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Dana Prima Tarigan mengatakan, dari luas tersebut, 513 hektare diantaranya berfungsi sebagai hutan produksi.
"Nah, SK dari KLHK ini telah diterbitkan sejak 15 Maret 2024 kepada masyarakat Simardangiang," kata Dana, Rabu (14/8/2024) di Medan.
Â
Pengakuan Legalitas
Ada beberapa nilai penting dengan keluarnya SK tersebut, terutama dalam hal pengakuan legalitas dan hak atas tanah dan wilayah masyarakat adat untuk melindungi wilayahnya.
Terutama dari ancaman perambahan, perampasan tanah, atau konflik dengan pihak luar, seperti perusahaan atau pemerintah.
Dikatakan Dana, dengan diakuinya status hutan adat, masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola dan melestarikan hutan sesuai kearifan lokal yang telah mereka anut selama berabad-abad.
"Sudah jadi fakta pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sering kali lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan dibandingkan dengan model pengelolaan hutan komersial," terangnya.
Advertisement
Perkuat Identitas dan Budaya
SK tersebut juga dapat memperkuat identitas dan budaya masyarakat adat, bahwa hutan dan wilayah adat tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan kultural yang penting bagi kehidupan masyarakat adat.
Masyarakat adat juga dapat memanfaatkan sumber daya hutan secara legal untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pertanian berkelanjutan, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan.
"Kita berharap SK ini bisa berfungsi sebagai perlindungan hukum terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan oleh pihak ketiga," Dana mengatakan.
"Termasuk perusahaan-perusahaan besar yang mungkin ingin memanfaatkan sumber daya alam di wilayah tersebut tanpa persetujuan masyarakat adat," sambungnya.
Menurut Dana, pengakuan ini memberi masyarakat adat peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah sejalan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat setempat.
Ketetapan Luas Wilayah Adat
Bupati Tapanuli Utara juga telah mengeluarkan ketetapan luas wilayah adat di desa tersebut seluas 5.797 hektare melalui SK Bupati Tapanuli Utara Nomor 457 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat kepada masyarakat Desa Simardangiang.
SK ditandatangani Bupati Bupati Tapanuli Utara pada periode 2019-2024, Nikson Nababan. Penyerahan dilakukan di Pendopo Bupati Tapanuli Utara pada 19 April 2024.
SK diterima langsung Ketua Masyarakat Hukum Adat, Sardi Sitompul, bersama Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul, serta masyarakat hukum adat Simardangiang.
Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul, mengapresiasi keluarnya 2 SK pengakuan masyarakat adat Simardangiang.
"Awalnya masyarakat Simardangiang tidak begitu serius menanggapi pengajuan hutan adat," bebernya.
Namun, lanjutnya, 2 tahun pengajuan masyarakat sangat setuju dengan alasan mereka semakin tahu bahwa hutan yang mereka kelola fungsinya adalah kawasan lindung.
"Setelah terbit SK Masyarakat Hutan Adat, seluruh masyarakat sangat senang, mereka sudah menjadi tuan di tanah sendiri. Walaupun belum keseluruhan dari pengajuan awal yang di SK-kan Menteri LHK. Masih tetap akan mengusulkannya di masa akan datang," Tampan menuturkan.
Advertisement
Perlu Pendampingan
Dijelaskan Tampan, masyarakat Simardangiang selama ini hidup dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti kemenyan, karet, durian, petai, jengkol, dan rotan. Desa Simardangiang menurutnya menjadi penyangga hutan.
"Untuk mengelola hutan adat maka direncanakan untuk berdialog, berdiskusi, untuk tata kelola agar hutan lestari namun bermakna bagi masyarakat, ekonomi meningkat," ucapnya.
Karena itu, lanjutnya, perlu pendampingan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah maupun lembaga lain untuk meningkatkan kesadaran. Selama ini masyarakat mendapat pendampingan dari Green Justice Indonesia.
"Kurang lebih empat tahun kita bersama. Sampai sekarang banyak yang sudah kami dapatkan dari GJI. Doa dan harapan kami agar GJI semakin sukses di masa yang akan datang," sebutnya.
Penyerahan SK ini menjadi tonggak penting dalam upaya melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat hukum adat di Tapanuli Utara, serta memastikan keberlanjutan pengelolaan hutan adat.