Prof Henry Indraguna: Revisi UU Pilkada Berpotensi Melanggar Konstitusi

Ahli hukum Prof Dr Henry Indraguna mengingatkan agar DPR RI tidak bermain api dengan mengesahkan RUU Pilkada atau merevisi UU Pilkada dan mengingkari putusan MK.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 24 Agu 2024, 22:32 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2024, 22:32 WIB
Henry Indraguna
Ketua Pengurus Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro 1957, Henry Indraguna. (Ist)

Liputan6.com, Semarang - Ahli hukum Prof Dr Henry Indraguna menilai revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dilakukan DPR RI sebagai upaya mengabaikan perintah putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Menurutnya, putusan MK itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh pembuat Undang-undang baik legislatif maupun eksekutif. 

Menurutnya UU Pilkada hasil revisi yang tidak berpedoman pada putusan MK berpotensi menimbulkan masalah baru dan bisa jadi kembali digugat melalui uji materi.

"Seperti mempermainkan dan mengabaikan hukum. Jadinya DPR RI sebagai pembuat legislasi tapi tidak taat konstitusi," katanya.

Jika .DPR nekad dan tetap mengesahkan, kapanpun saat masyarakat tidak memantau, anggota DPR yang selama ini terhormat dan dihormati justru hilang kehormatannya di mata rakyat.

Prof Dr Henry Indraguna menyampaikan hal itu di sela-sela mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif Jawa Tengah di Bidang Hukum di Wisma Perdamaian, Semarang, Jumat (23/8/2024). 

Menurutnya, DPR seharusnya tidak perlu menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK. Kalau DPR mengatur yang berbeda itu, artinya cukup jelas sebagai sebuah potensi pelanggaran konstitusi. 

"Regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada hanya perlu dibenahi dan disesuaikan dengan Putusan MK tersebut. Bukan dibuat berbeda dengan Putusan MK tersebut," katanya.

Putusan MK tersebut memungkinkan tersedianya calon yang beragam. Kalau calonnya beragam, maka pilihan-pilihan pemimpin daerah itu dapat diseleksi yang paling baik oleh masyarakat.

Dalam putusannya, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen dari perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah dari jalur independen atau perseorangan atau nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Selain itu, MK juga memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.

DPR kemudian berniat merevisi UU Pilkada pada Rabu (20/8/24) setelah MK memutus judicial review atas UU Pilkada. Berdasarkan informasi revisi UU Pilkada tersebut dilakukan sangat cepat dan singkat waktunya oleh Baleg DPR RI. Bahkan tanpa melalui kajian akademis dan mendengarkan suara masyarakat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya