Mana Lebih Efektif, Wantimpres Atau DPA?

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna menjelaskan kelebihan penggunaan nomenklatur Wantimpres.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 15 Sep 2024, 15:38 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2024, 15:38 WIB
Henry indraguna
Henry Indraguna, anggota tim ahli hukum Wantimpres. Foto: liputan6.com/Edhie Prayitno Ige 

Liputan6.com, Semarang - Upaya menghidupkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sempat menjadi perbincangan hangat para politisi. Tak sedikit yang menyebut bahwa upaya itu sebagai kode untuk mengakomodir kepentingan Presiden Joko Widodo semata ketika sudah tak jadi Presiden.

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH menilai bahwa jika merujuk pada latar belakang pembubaran DPA saat itu ada beberapa faktor, salah satunya dianggap sangat tidak efisien. 

"Pembentukan lembaga-lembaga baru menyebabkan arah dan tujuan DPA menjadi tidak jelas. Lembaga-lembaga baru ini memiliki fungsi, tugas, dan wewenang lebih jelas," kata Prof Henry.

Menurut Prof Henry, penghapusan DPA yang diwacanakan dihidupkan kembali seperti era Orde Baru, tentu tidak kemudian secara otomatis menghilangkan fungsi memberikan pertimbangan kepada presiden.

Sebagai gantinya, amandemen keempat UUD 1945 mengubah pasal 16 menjadi pembentukan "suatu dewan pertimbangan".

Dijelaskannya, pasal 16 UUD NRI 1945 mengatur, presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.

"Jadi fungsi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) lebih efesien secara teknis" katanya.

Prof Henry berpendapat, DPA menjadi tidak efektif karena dalam praktiknya tidak lagi menjadi sejajar dengan lembaga Presiden. DPA yang seharusnya menjadi salah satu alat kontrol kekuasaan justru menjadi subordinat Presiden. 

"Nah, ketika DPR RI sudah mampu mengembalikan marwahnya sebagai alat kontrol kekuasaan dengan tiga fungsi yang mereka miliki, maka DPA otomatis tak dibutuhkan kembali. Wantimpres menjadi lebih efisien karena secara berkala mengkaji, mengevaluasi kondisi sosial di masyarakat," katanya.

Hasil kajian tersebut kemudian dijadikan masukan, pertimbangan dan evaluasi kebijakan yang diambil Presiden. 

Profesor dari Unissula Semarang ini menyebut keputusan revisi UU Wantimpres yang batal mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA patut diapresiasi. 

"Perubahan nomenklatur kan harus dikembalikan juga pada filosofinya. Kalau menjadi DPA, harus dipahami tugas dan fungsi DPA sebagaimana filosofi pembentukannya dulu. Jika sekarang nomenklatur diubah menjadi Wantimpres RI, yakni dengan menambahkan RI di dalamnya, ini juga menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem Presidensiil," katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya