Dinamika Kebijakan Donald Trump, Ini Saran dari Pakar Hubungan Internasional

Kebijakan Donald Trump dengan America First dan slogan Make America Great Again kembali menjadi landasan utama kebijakan luar negeri AS, yang secara langsung berpengaruh pada berbagai sektor kerja sama antar negara.

oleh Yanuar H diperbarui 13 Feb 2025, 22:00 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2025, 22:00 WIB
Baru Dilantik, Donald Trump Langsung Batalkan Puluhan Kebijakan Joe Biden
Baru Dilantik, Donald Trump Langsung Batalkan Puluhan Kebijakan Joe Biden... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Donald Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat tentu berdampak pada hubungan kerja sama dengan berbagai terlebih kebijakan Trump membuat khawatir negara lainnya. Pakar Ilmu Hubungan Internasional UGM, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan soal kebijakan luar negeri Trump yang cenderung mengutamakan kepentingan nasional AS di atas kerja sama multilateral, memicu kekhawatiran bagi Indonesia yang selama ini aktif dalam isu lingkungan global. “Trump kembali menarik AS dari berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, yang sempat direstorasi oleh Joe Biden pada 2021,” jelasnya, Selasa (11/2/2025).

Kebijakan Trump di bidang perdagangan, menerapkan proteksionis dengan meningkatkan tarif impor dan meninjau ulang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) bagi Indonesia. Bahkan ancaman penghapusan fasilitas GSP sempat menimbulkan ketegangan, meskipun pada akhirnya fasilitas tersebut tetap diberikan setelah negosiasi yang berlangsung cukup lama.

Keijakan Trump lainnya di sektor pertahanan, kerja sama militer antara Indonesia dan AS tetap berjalan melalui program Garuda Shield, tapi kebijakan luar negeri Trump yang keras terhadap Tiongkok semakin meningkatkan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan. Walau Indonesia bukan negara pengklaim sengketa Laut Cina Selatan, namun mempunyai kepentingan langsung dalam menjaga kedaulatan perairan Natuna. “Meningkatnya kehadiran militer AS di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia harus semakin cermat dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan dua kekuatan besar, AS dan Tiongkok,” paparnya.

Program pembangunan Indonesia terdampak dari perubahan kebijakan AS di bawah Trump, terutama setelah pembatasan peran USAID. Sebelumnya, USAID berperan penting dalam mendukung berbagai proyek pembangunan di Indonesia, mulai dari pemberdayaan masyarakat hingga penguatan pelayanan kesehatan. “Adanya kebijakan baru Trump, beberapa program USAID mengalami pembatasan,” ungkap Poppy.

Poppy mengatakan menghadapi kebijakan Trump ini pemerintah Indonesia harus mengambil langkah strategis agar tidak bergantung pada Amerika Serikat. Bergabungnya Indonesia ke BRICS adalah salah satu langkah signifikan menjaga entitas ekonomi yang mencerminkan kekuatan Dunia Selatan. “Masuknya Indonesia ke dalam BRICS dapat dilihat sebagai upaya untuk memperluas daya tawar Indonesia di tengah ketidakpastian kebijakan AS,” jelasnya.

Bidang pertahanan agar tidak beragantung ke AS, menurut Poppy perlu perkuat kerja sama dengan negara lain seperti Jepang dan India agar terjaga stabilitas keamanan. “Diversifikasi mitra strategis menjadi langkah kunci bagi Indonesia untuk mempertahankan otonomi dan stabilitas di tengah perubahan geopolitik yang semakin kompleks,” tegas Poppy.

Kebijakan luar negeri di pemerintahan Trump ini, menurut Poppy, sudah menciptakan tantangan baru bagi hubungan bilateral Indonesia-AS. Namun, dengan pendekatan diplomasi yang bebas dan aktif, Indonesia berusaha menjaga keseimbangan antara mempertahankan hubungan baik dengan AS dan memperkuat kemitraan dengan negara-negara lain.

Sementara itu Pakar Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ratih Herningtyas, menyatakan bahwa kebijakan Trump memiliki dampak bagi Indonesia setelah peran USAID dibatasi. Hal ini dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada bantuan asing. “Pemerintah harus menyadari bahwa bantuan asing itu tetap alat politik yang akan digunakan negara asing, selama dia bisa memenuhi atau mengamankan kepentingan strategisnya,” katanya.

Kebijakan Trump ini tentu berdampak bagi negara-negara penerima bantuan, salah satunya Indonesia. Sejumlah proyek yang telah berjalan, seperti program kesehatan terkait stunting, polio, TBC, serta proyek-proyek anti korupsi dan tata kelola pemerintahan, terancam terganggu.

Menurut Ratih, pemerintah Indonesia harus memastikan kelanjutan proyek-proyek ini tanpa bantuan dana dari USAID. Pemerintah Indonesia harus segera mencari alternatif pendanaan dari lembaga donor internasional lainnya, seperti Australia melalui AusAID, atau negara-negara maju lainnya yang memiliki lembaga serupa. “Karena dananya dihentikan, artinya Indonesia harus berpikir untuk memastikan proyek yang sudah berjalan tidak mangkrak. Harus mencari alternatif pendanaan baru, paling tidak untuk memastikan target dari proyek itu tercapai. Akan tetapi melihat situasi sekarang itu kan tidak mudah karena pemerintah sedang melakukan efisiensi, pemotongan berbagai anggaran,” tandasnya.

Ia memberikan pandangan agar Indonesia perlu merencanakan alternatif jangka panjang agar proyek-proyek strategis tetap berjalan tanpa bergantung pada bantuan luar negeri. Selain itu pemerintah harus memahami bahwa bantuan asing hanyalah sebagai tambahan dana yang bisa membantu percepatan sebuah program, bukan menjadi sumber utama pendanaan bagi proyek-proyek strategis.

Kebijakan Trump ini menjadi pengingat bagi Indonesia untuk lebih mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan luar negeri yang sewaktu-waktu bisa dihentikan. Ke depan, Indonesia perlu memperkuat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan prioritas dalam negeri, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara donor untuk memastikan kelancaran proyek-proyek pembangunan yang penting bagi kesejahteraan rakyat,” tuturnya.

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya