Kebijakan Tarif Donald Trump, Seberapa Besar Dampaknya ke Indonesia?

Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menjelaskan, jika Trump jadi mengenakan tarif 10 persen untuk universal dan 60 persen untuk China dampaknya akan lebih besar kepada AS dan China itu sendiri.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 10 Feb 2025, 14:15 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2025, 14:15 WIB
50 Bulan Beruntun, Neraca Perdagangan RI Surplus
Surplus yang didapat pada periode Juni 2024 berasal dari nilai transaksi ekspor yang mencapai 20,84 miliar dolar AS, serta impor sebesar 18,45 miliar dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pasar global masih mencermati kebijakan Presiden AS, Donald Trump terkait rencana penerapan tarif kepada beberapa negara, terutama pada China. Lantas bagaimana dampaknya pada ekonomi Indonesia jika Donald Trump benar-benar mengenakan tarif tinggi pada beberapa negara?

Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menjelaskan, jika Trump jadi mengenakan tarif 10 persen untuk universal dan 60 persen untuk China dampaknya akan lebih besar kepada AS dan China itu sendiri.

“Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia lebih relatif kecil atau hanya sekitar 0,06 persen poin. Ini mengindikasikan kondisi ekonomi domestik masih dominan dalam mendorong pertumbuhan di Indonesia,” kata Josua dalam acara PIER Economic Review 2024, Senin (10/2/2025).

Tantangan Ekonomi Indonesia pada 2025

Tak hanya soal kebijakan tarif Trump yang perlu dicermati, Josua mengungkapkan perlambatan ekonomi AS dan China juga menjadi salah satu risiko yang mempengaruhi ekonomi domestik dan global. 

Perlambatan ekonomi China dan AS yang menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia perlu dicermati karena dapat mempengaruhi kinerja impor Indonesia pada 2025. 

“Banyak ekspor Indonesia ditujukan ke Tiongkok, tahun ini ekonomi tiongkok diprediksi alami perlambatan ini akan berdampak pada permintaan ekspor barang-barang komoditas dari Indonesia seperti CPO, batu bara. Ini akan mempengaruhi kinerja impor indonesia,” jelas Josua. 

 

Kondisi Ekonomi Global Diprediksi Stabil

Neraca Perdagangan RI
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Adapun dalam outlook yang dikeluarkan oleh IMF, World Bank, dan OECD ekonomi global diprediksi cenderung stabil dalam dau tahun ke depan.

Josua menuturkan IMF, World Bank, dan OECD memprediksikan China dan AS akan mengalami pelambatan Ekonomi, sedangkan Eropa akan membaik dan ekonomi Indonesia cenderung alami stabilitas di kisaran 5,1 persen.

Pada kesempatan yang sama, Josua menyebut daya tarik Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain dalam pertumbuhan ekonomi yang sama di G20.

“Kita masih berada dalam ekonomi yang stabil. Ini berbeda dengan stagnansi, kalau stagnansi itu seperti di Jepang atau Jerman yang tidak bergerak, tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia stabilitas di 5 persen,” ujarnya. 

 

BI Waspadai Kebijakan Donald Trump

Proyeksi Ekonomi Indonesia 2022
Suasana gedung bertingkat dan permukiman warga di kawasan Jakarta, Senin (17/1/2022). Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 mencapai 5,2 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) terus memantau tiga kebijakan utama yang diterapkan di bawah kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang berpotensi meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.

Tiga kebijakan utama yang berperan dalam hal ini adalah kebijakan tarif dagang, kebijakan pajak (tax), dan kebijakan tenaga kerja. Ketiga kebijakan ini memiliki implikasi signifikan terhadap inflasi dan pasar global.

"Kebijakan tarif, kebijakan tax, kebijakan tenaga kerja, ini mengakibatkan ketidakpastian di global," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, dalam media briefing di Aceh, Jumat (7/2/2025).

Juli menyampaikan, salah satu kebijakan yang mencolok adalah kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan tarif ini tidak hanya mempengaruhi hubungan dagang internasional, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan inflasi di AS.

Selain itu, dengan tarif yang lebih tinggi, biaya impor akan naik, yang kemudian meningkatkan harga barang dan layanan, mendorong inflasi dari sisi permintaan dan biaya. Akibatnya, inflasi di AS diperkirakan akan terus meningkat, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya