Plecing Kangkung, Kuliner Tradisional Dengan Sajian Sederhana dari Tanah Lombok

Dimasak dengan kesederhanaan, namun penuh ketelitian dalam pemilihan bahan dan pengolahan bumbu, plecing kangkung menegaskan bahwa kekuatan kuliner Nusantara

oleh Panji Prayitno Diperbarui 22 Apr 2025, 12:00 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2025, 12:00 WIB
Plecing Kangkung, Kuliner Tradisional Dengan Sajian Sederhana dari Tanah Lombok
Menu sayur plecing kangkung khas Bali. (Liputan6.com/Dewi Divianta)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Plecing kangkung bukan sekadar sayuran rebus yang disiram sambal, melainkan representasi dari semangat masyarakat Nusa Tenggara Barat dalam menghadirkan rasa yang kuat, lugas, dan tanpa kompromi.

Di tanah Lombok, tempat di mana hamparan sawah mengalun selaras dengan lautan biru dan gunung Rinjani berdiri megah, plecing kangkung hadir sebagai menu harian yang akrab di meja makan masyarakat Nusa Tenggara Barat.

Makanan ini biasanya tak berdiri sendiri, ia sering kali menjadi pendamping yang tak terpisahkan dari ayam taliwang yang terkenal itu—paduan dua elemen yang menciptakan harmonisasi rasa yang menggugah dari gigitan pertama.

Dimasak dengan kesederhanaan, namun penuh ketelitian dalam pemilihan bahan dan pengolahan bumbu, plecing kangkung menegaskan bahwa kekuatan kuliner Nusantara sering kali justru terletak pada hal-hal yang tampak remeh dan tak mencolok.

Keistimewaan plecing kangkung bermula dari bahan utamanya: kangkung air khas Lombok yang memiliki batang lebih besar dan renyah dibanding kangkung pada umumnya. Kangkung ini ditanam di sawah-sawah yang mengalirkan air jernih dari kaki gunung, membuat teksturnya segar dan tidak mudah lembek saat direbus.

Kangkung tersebut kemudian direbus sebentar, cukup hingga layu namun masih menyimpan kerenyahan aslinya. Di atasnya, disiram dengan sambal plecing yang menjadi jantung dari seluruh sajian.

Sambal ini bukan sambal sembarangan; terbuat dari cabai rawit merah yang dibakar, tomat segar, terasi bakar, jeruk limau, dan sedikit garam—semua ditumbuk kasar dalam cobek batu, menciptakan aroma menyengat yang khas, asam segar bercampur dengan aroma terasi yang menguar kuat.

Kadang-kadang ditambahkan taburan kacang tanah goreng yang ditumbuk kasar, menambahkan tekstur dan lapisan rasa yang unik. Hasilnya adalah hidangan dengan kontras yang tajam namun menyenangkan: pedas, asam, segar, dan renyah dalam satu piring.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Warisan Kuliner

Dalam budaya masyarakat NTB, plecing kangkung bukan sekadar makanan pendamping. Ia adalah bagian dari identitas, sebuah pernyataan rasa yang menyuarakan keberanian dan kejujuran.

Masyarakat Lombok dikenal menyukai makanan pedas, dan plecing kangkung menjadi salah satu wujud kecintaan itu. Di banyak rumah makan tradisional, bahkan di acara-acara resmi seperti pernikahan atau syukuran adat, plecing kangkung hampir selalu hadir.

Di samping ayam taliwang yang dipanggang atau dibakar dengan bumbu merah menyala, keberadaan plecing ibarat penyeimbang sekaligus penguat rasa. Ia menyegarkan, namun juga membakar menyederhanakan rasa berat ayam taliwang, namun juga mempertegas karakter kuliner Lombok yang tajam dan berani.

Menyantap plecing kangkung di tempat asalnya, dengan sambal yang diulek langsung oleh tangan-tangan ibu-ibu Lombok yang penuh pengalaman, adalah pengalaman rasa yang sulit ditiru oleh dapur manapun di luar Nusa Tenggara Barat.

Kini, di tengah maraknya kuliner modern dan menjamurnya makanan cepat saji, plecing kangkung tetap bertahan sebagai ikon kuliner lokal yang disegani. Bahkan, keberadaannya mulai merambah restoran-restoran di kota besar yang menyajikan makanan khas daerah.

Banyak chef dan pelaku kuliner mencoba mengangkat plecing kangkung ke panggung nasional, mengemasnya dalam tampilan modern tanpa menghilangkan ruh aslinya. Beberapa menyajikannya dengan ayam bakar modern, sate tuna, atau bahkan sebagai bagian dari menu vegetarian.

Namun demikian, plecing kangkung sejati tetaplah yang diracik dengan tangan dan hati di dapur sederhana warga Lombok, yang disajikan di piring-piring plastik di warung pinggir jalan, atau dalam baki besar di tengah keluarga besar yang berkumpul merayakan momen-momen penting.

Plecing bukan hanya soal makanan, tetapi juga tentang kebersamaan, tentang napas panjang budaya yang diwariskan dari nenek ke cucu, dari sawah ke meja makan.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya