Liputan6.com, Jakarta - Kabar Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) sedang mengkaji kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu makin santer terdengar telah menekan harga saham emiten rokok pada sesi pertama perdagangan saham Senin (22/8/2016).
Penurunan harga saham emiten rokok itu di tengah laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak variasi. Pada sesi pertama perdagangan saham Senin pekan ini, IHSG naik tipis 7,05 poin atau 0,14 persen ke level 5.423.
Ada sebanyak 141 saham menguat sehingga mendorong IHSG ke zona hijau. Sedangkan 136 saham melemah dan 84 saham diam di tempat. Transaksi perdagangan saham juga cukup ramai. Total frekuensi perdagangan saham sekitar 141.217 kali dengan volume perdagangan 4,8 miliar saham. Nilai transaksi harian saham sekitar Rp 3,1 trilun. Lalu bagaimana dengan gerak saham emiten rokok?
Berdasarkan data RTI, saham PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) turun 1 persen menjadi Rp 396 per saham. Harga saham WIIM sempat sentuh level terendah Rp 394 dan tertinggi Rp 400 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 50 kali dengan nilai transaksi harian saham Rp 87,8 juta.
Baca Juga
Saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) merosot 1,49 persen ke level Rp 3.980 per saham. Harga saham PT HM Sampoerna Tbk sempat ditransaksikan di level harga tertinggi Rp 4.040 per saham dan terendah Rp 3.930 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 1.389 kali dengan nilai transaksi harian Rp 16,1 miliar.
Harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) tergelincir 1,87 persen ke level Rp 66.750 per saham. Harga saham GGRM sempat tertinggi di kisaran Rp 68.100 per saham dan terendah Rp 66.600 per saham. Total frekuensi perdagangan saham sekitar 1.904 kali dengan nilai transaksi harian saham sekitar Rp 42,6 miliar. Sedangkan saham PT Bentoel International Investama Tbk stagnan di kisaran Rp 460 per saham.
Analis PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee menuturkan isu kenaikan cukai rokok sehingga membuat harga rokok menjadi Rp 50 ribu dalam beberapa hari ini menjadi sentimen pergerakan harga saham emiten rokok. Ada kekhawatiran kenaikan cukai rokok itu akan menekan kinerja emiten rokok.
"Makin santer terdengar kabar (kenaikan cukai rokok) dianggap untuk kejar anggaran sehingga direspons negatif oleh investor," ujar Hans saat dihubungi Liputan6.com, Senin (22/8/2016).
Lebih lanjut ia menuturkan, kinerja rokok juga cenderung stagnan dalam dua tahun ini. Dengan ada rencana kenaikan cukai rokok dapat membebani industri rokok karena makin membuat margin keuntungan industri rokok tergerus. Ia mengatakan, meski kinerja emiten rokok antara lain PT HM Sampoerna Tbk dan PT Gudang Garam Tbk masih positif hal itu terjadi karena kenaikan harga jual.
Seperti diketahui, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), salah satu emiten rokok yang mencatatkan pertumbuhan laba paling besar. Pertama, PT HM Sampoerna Tbk mencatatkan laba naik 22,67 persen menjadi Rp 6,14 triliun pada semester I 2016 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 5,01 triliun.
Kedua, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) membukukan laba naik 19,43 persen menjadi Rp 2,86 triliun pada semester I 2016 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 2,4 triliun. Pendapatan naik 11,24 persen menjadi Rp 36,96 triliun. Kinerja itu ditopang dari pendapatan lainnya naik menjadi Rp 130,12 miliar.
"Volume penjualan rokok stagnan dalam dua tahun ini seiring daya beli masyarakat rendah industri rokok terbebani," kata dia.
Advertisement
Sebelumnya Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.
"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi pada Rabu pekan lalu.
Adapun usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus merupakan hasil studi dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.
Studi ini mengungkap kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Hasilnya 80 persen bukan perokok setuju jika harga rokok dinaikkan.
"Dalam studi ini, para perokok bilang kalau harga rokok di Indonesia naik jadi Rp 50 ribu per bungkus, mereka akan berhenti merokok. Belum lagi ada tambahan dana Rp 70 triliun untuk bidang kesehatan," kata Hasbullah. (Ahm/Ndw)