Saham Unggulan Topang Kenaikan IHSG Sepekan

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,4 persen selama sepekan dari periode 26 Mei-2 Juni 2017.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Jun 2017, 09:36 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2017, 09:36 WIB
Ilustrasi laju IHSG
Seorang pria melintas di depan papan monitor di Mandiri Sekuritas, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung menguat selama sepekan. Saham blue chip atau saham unggulan mendorong kenaikan IHSG.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (3/6/2017), IHSG naik 0,4 persen secara mingguan dari level 5.716 pada Jumat 26 Mei menjadi 5.742 pada Jumat 2 Juni 2017. Saham-saham unggulan menopang kenaikan IHSG. Tercatat saham unggulan itu naik 0,74 persen.

Meski demikian, investor asing cenderung melakukan aksi jual di pasar saham. Sementara itu, pasar obligasi atau surat utang naik 0,2 persen secara mingguan. Terjadi aksi beli di pasar obligasi pada pekan ini senilai US$ 700 juta.

Ada pun sentimen yang dicermati selama sepekan antara lain dari eksternal, Amerika Serikat (AS) berencana keluar dari perjanjian atau kesepakatan perubahan iklim Paris. Presiden AS Donald Trump menyarankan agar AS keluar dari kesepakatan Paris tersebut. Ini menunjukkan AS perkuat sektor batu bara dan tambang. Meski demikian, negara di Eropa bersama China untuk fokus mengurangi emisi karbon.

Selain itu, tampak kuat keyakinan bank sentral AS atau the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga. Hal ini mengingat sejumlah data ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan melebihi yang diharapkan. Data tenaga kerja sektor swasta naik menjadi 253 ribu. Selain itu, data manufaktur meningkat menjadi 54,9 dari perkiraan 54,8. Dari hasil survei, sekitar 90 persen pelaku pasar yakin the Federal Reserve menaikkan suku bunga.

Di sisi lain, harga minyak masih tertekan usai pertemuan OPEC. Negara pengekspor minyak yang tergabung dalam the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sepakat memangkas produksi minyak hingga Maret 2018. Namun hal itu belum mampu angkat harga minyak. Namun, AS juga melanjutkan produksi shale oil. Harga minyak pun sentuh level US$ 49 per barel.

Dari internal, Indonesia mencatatkan inflasi 4,33 persen hingga Mei 2017. Ini masih sesuai dengan perkiraan pasar. Namun, level itu tertinggi sejak Maret 2016. Ke depan yang dicermati inflasi mengingat ada momen puasa dan lebaran yang akan berdampak terhadap harga makanan.

Selain itu, Indonesia mencatatkan pertumbuhan pendapatan pajak naik 18 persen. Usai tax amnesty atau pengampunan pajak yang cukup kuat mendorong risiko fiskal Indonesia turun. Pemerintah pun melihat ada tambahan Rp 15 triliun dari revisi anggaran sehingga akan dianggarkan untuk belanja infrastruktur. Hal itu baik untuk pertumbuhan ekonomi ke depan.

Lalu apa yang dicermati ke depan?

Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) telah menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi atau BBB- pada 19 Mei 2017. Ini akan mendorong aliran dana investor asing sehingga rupiah menguat.

Arus dana investor asing diperkirakan bisa mencapai US$ 1,18 miliar dengan ada peringkat layak investasi. Para ekonom memperkirakan Indonesia bisa menerima arus dana investor asing US$ 5 miliar.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) pun belum menunjukkan akan menurunkan suku bunga. Ashmore menilai, rupiah akan menguat seiring kenaikan peringkat layak investasi oleh S&P. Rupiah telah menguat 1,1 persen menjadi Rp 13.356 per dolar AS secara year to date. Penguatan rupiah didukung dari arus dana masuk mencapai US$ 14,7 miliar. Pada tahun lalu, rupiah menguat 2,2 persen terhadap dolar AS dengan dana investor asing masuk US$ 17,7 miliar.

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya