The Fed Pertahankan Suku Bunga Acuan, Bursa Saham Global Semringah

The Federal Reserve yang mempertahankan suku bunga acuan berdampak positif untuk bursa saham global.

oleh Agustina Melani diperbarui 18 Mar 2021, 10:41 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2021, 10:41 WIB
IHSG Menguat
Seorang pria mengambil gambar layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Seiring berjalannya perdangan, penguatan IHSG terus bertambah tebal hingga nyaris mencapai 1,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street menyambut positif dari keputusan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) untuk mempertahankan suku bunga acuannya.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks saham Dow Jones naik 189,42 poin atau 0,6 persen menjadi 33.015,37. Ini menandai pertama kali indeks saham unggulan ditutup di atas ambang batas 33.000. Indeks saham S&P 500 naik 0,3 persen ke rekor penutupan tertinggi 3.974,12. Indeks saham Nasdaq menguat 0,4 persen ke posisi 13.525,20.

Di bursa saham Asia pada perdagangan saham Kamis pagi, indeks saham cenderung menguat. Indeks saham Hong Kong Hang Seng naik 1,67 persen.

Selanjutnya, indeks saham Korea Selatan Kospi mendaki 1,1 persen, indeks saham Jepang Nikkei menguat 1,63 persen. Indeks saham Jepang Nikkei pimpin penguatan di bursa saham Asia.

Selain itu, indeks saham Thailand menanjak 0,83 persen, indeks saham Shanghai melambung 0,68 persen, indeks saham Singapura menguat 1,13 persen dan indeks saham Taiwan menguat 0,92 persen. IHSG menguat 0,90 persen. Demikian mengutip data RTI.

The Fed meningkatkan harapan untuk pertumbuhan ekonomi tetapi mengindikasikan tidak ada kemungkinan suku bunga hingga 2023 meski prospek membaik dan 2021 beralih ke inflasi yang lebih tinggi.

Seperti yang diharapkan, pembuat kebijakan the Federal Open Market Committee (FOMC) juga memilih mempertahankan suku bunga acuan pinjaman jangka pendek mendekati nol, sambil melanjutkan program pembelian aset. Hal ini seiring bank sentral AS membeli USD 120 miliar obligasi sebulan.

Perubahan utama terjadi pada bank sentral memandang ekonomi ke depan dan dampaknya terhadap kebijakan.

“Menyusul perlambatan dalam laju pemulihan, indikator kegiatan ekonomi dan lapangan kerja telah muncul baru-baru ini, meski sektor paling berpengaruh tetap lemah. Inflasi terus berjalan di bawah dua persen,” ujar FOMC dilansir dari CNBC, Kamis (18/3/2021).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Prediksi PDB

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) diperkirakan meningkat 6,5 persen pada 2021 sebelum mereda pada tahun-tahun berikutnya. Hal itu berdasarkan proyeksi ekonomi triwulanan dari anggota FOMC. Perkiraan median tersebut mewakili peningkatan dari kenaikan 4,2 persen yang diantisipasi selama putaran terakhir pada Desember 2020.

Proyeksi pada 2022 dan 2023 masing-masing 3,3 persen dan 2,2 persen. Seiring pertumbuhan PDB, anggota komite memperkirakan pengangguran turun menjadi 4,5 persen dari level 6,2 persen saat ini.

Angka itu lebih rendah dari perkiraan FOMC pada Desember 2020 yang mencapai 5 persen. Pada tahun berikutnya diperkirakan masing-masing 4,2 persen dan 3,7 persen sebelum ditetapkan ke tingkat 4 persen.

Meski demikian, inflasi diharapkan bergerak lebih tinggi. Diperkirakan inflasi 2,2 persen pada 2021 yang diukur pengeluaran konsumsi pribadi. Inflasi diperkirakan turun menjadi 2 persen pada 2022 dan naik lagi menjadi 2,1 persen pada 2023. Jangka panjang diharapkan dua persen.

Meski ada perbakan, FOMC juga mengharapkan suku bunga acuan tetap hingga 2023. Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell menuturkan, inflasi akan naik pada 2021.

Namun, hal itu tidak akan cukup untuk mengubah kebijakan meski inflasi di atas dua persen dalam jangka waktu. “Saya akan mencatat bahwa kenaikan sementara inflasi di atas dua persen yang tampaknya akan terjadi tahun ini tidak akan memenuhi standar ini,” ujar Powell.

Selanjutnya

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Pasar mengamati proyeksi dengan cermat untuk mengantisipasi the Federal Reserve mungkin bereaksi terhada ledakan pertumbuhan ekonomi baru-baru ini dan harapan inflasi yang lebih tinggi. Pengukuran inflasi berbasis pasar menunjukkan tingkat 2,59 persen dalam lima tahun.

Namun, pernyataan the Federal Reserve terus menunjukkan kebijakan akan tetap longgar hingga kemajuan substansial lebih lanjut untuk lapangan kerja dan stabilitas harga.

Adapun pasar gelisah akhir-akhir ini karena kekhawatiran tekanan inflasi mungkin menimbulkan bahaya lebih besar dari pada yang dipikirkan the Federal Reserve. Imbal hasil obligasi pemerintah telah melonjak ke level tertinggi karena investor khawatir inflasi akan mengikis keuntungannya.

Inflasi buruk untuk obligasi karena berarti pembayaran bunga di masa depan untuk memegang obligasi bernilai rendah. Meningkatnya imbal hasil berarti penurunan harga yang terjadi ketika pemegang obligasi menjual obligasinya.

Namun, the Fed merasa nyaman dengan sejumlah peningkatan imbal hasil obligasi selama mereka melakukannya sebagai respons terhadap pertumbuhan ekonomi.

The Fed menganggap inflasi dua persen sebagai tingkat yang sehat bagi perekonomian, dan juga memberi ruang bagi bank sentral untuk mengambil kebijakan. Jika inflasi tidak terkendali, pejabat the Fed yakin mereka memiliki alat untuk mengendalikannya.

Dalam beberapa pekan terakhir, ada harapan pasar kalau FOMC akan menyesuaikan program pembelian aset untuk membeli lebih banyak obligasi jangka panjang sehingga menekan suku bunga tetapi tidak ada indikasi dalam keputusan pada pertemuan Rabu pekan ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya