Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: Ulasan Foxcatcher ini mungkin mengandung informasi SPOILER atau bocoran cerita.
Foxcatcher adalah jenis film yang semakin sedikit Anda tahu tentang filmnya semakin baik. Maksudnya, film jenis ini paling asyik dinikmati di bioskop tanpa Anda tahu terlebih dahulu kisahnya tentang apa atau bagaimana akhir kisahnya.
Baca Juga
Melihat deretan nama pemain dan pertama kali lihat trailernya, saya awalnya mengira ini sekadar perpaduan film sport plus Channing Tatum. Saya pikir, di film ini sineasnya bakal mengeksploitasi ketampanan dan tubuh seksi Tatum saat bermain gulat. Steve Carell, meski tampangnya terlihat sangat berbeda dengan hidung kelewat mancung, saya pikir hanya menjadi tokoh pelatih nyentrik.
Advertisement
Sebagai sebuah film sport, saya menduga filmnya bakal seperti kisah sejenis tentang perjuangan seorang atlet gulat, yang diperankan Tatum, menjadi juara di baawah bimbingan tokoh yang diperankan Steve Carell. Saya berpikir, ini hanya sebuah kisah inspiratif seorang atlet dalam narasi `from zero to hero` macam Karate Kid atau Friday Night Lights atau Remember the Titans dan sejenisnya.
Saat pertama nonton trailer-nya, saya luput pada dua hal: pertama, Foxcatcher disutradarai Bennett Miller dan kedua, ceritanya diangkat dari kisah nyata sebuah tragedi yang melibatkan John E. du Pont.
Bennett Miller sebelumnya membuat film sport yang menginspirasi, Moneyball (2012). Di film itu, ia mengasting Brad Pitt sebagai manajer sebuah tim baseball yang mengandalkan data statistik, ketimbang insting pelatih saat bertanding. Jika hanya tahu Miller sebagai pembuat Moneyball, calon penonton bakal mengira filmnya yang berikut ini akan menjadi Moneyball versi gulat. Misal, Miller mungkin akan menyuguhkan metode nyeleneh tentang olahraga gulat.
Tidak. Yang harus diiketahui juga, selain Moneyball, Miller adalah pembuat Capote (2006). Film tersebut menghantarkan mendiang Philip Seymour Hoffman meraih gelar Aktor Terbaik di ajang Oscar dan meneguhkannya sebagai salah satu aktor terbaik di generasinya.
Capote diangkat dari kisah nyata. Tentang sebuah keluarga yang dibunuh dengan tangan dingin oleh dua perampok. Capote berfokus pada bagaimana seorang penulis bernama Truman Capote yang menelisik latar belakang pelaku pembunuhan.
Seperti Moneyball dan Capote, Foxcatcher juga berasal dari kisah nyata. Tapi, sekali lagi, akan sangat baik bila kemudian Anda tak tahu peristiwa yang melatari filmnya.
***
Di Foxcatcher kita bertemu tiga tokoh utama. Pertama Mark Schultz (Channing Tatum), peraih medali emas olimpiade tahun 1984 cabang gulat. Mark menjalani hidup susah. Emas olimpiade tak membuatnya populer atau kaya raya. Selain aktif bergulat, ia jadi pembicara bagi murid-murid SD dengan bayaran 20 dolar. Dari sikap dan tampangnya, kita melihat Mark tampak kecewa dengan hidupnya.
Mark punya kakak, David Schultz (Mark Ruffalo) yang juga peraih emas di cabang yang sama. Peran David bagi Mark amat besar. Ia tak cuma sekadar kakak. Tapi juga pelatih, lawan tanding, sekaligus menggantikan peran ayah untuknya.
Tokoh utama ketiga adalah John E. du Pont (Steve Carell). Pada tahun 1980-an du Pont dikenal sebagai keluarga terkaya di AS. Perusahaan keluarga kala itu berada di tangan John.
Syahhdan, John menghubungi Mark. Kepada Mark, John memintanya untuk berlatih gulat di sasana yang dibangunnya. John bakal dibayar tinggi dan mereka akan berjuang agar Amerika meraih emas lagi di olimpiade Seoul tahun 1988 yang akan datang.
Membaca sekilas sinopsis di atas, tak ada yang janggal dari Foxcather. Penonton yang sok tahu mungkin akan mengira bakal ada persaingan kakak-beradik antara Mark dengan David dengan John berada di tengah.
Awalnya saya pun menduga begitu. Mark yang selalu berada di bawah bayang-bayang kakaknya butuh pengakuan diri. Berlatih bersama John E. du Pont adalah kesempatan yang tak mungkin ia sia-siakan.
Film ini belok ke arah berbeda saat kita kian menyelami perangai John E. du Pont. Ternyata John bukan sekadar orang kaya yang peduli pada kemajuan gulat Amerika. Di balik sikapnya yang baik, baginya Mark dan pegulat lain di sasananya adalah mainannya seperti halnya kereta atau tank betulan.
Pada diri John kita lihat seorang anak kecil dalam tubuh orang dewasa. Kita melihatnya ingin diakui sebagai pelatih hebat dan juga pegulat hebat. Film ini punya momen saat John memberi arahan pada pegulat profesional seolah ia pelatih hebat serta saat ia menang gulat yang bikin tersenyum kecut.
Belakangan Mark tahu kemunafikan John. Ia memilih pergi. Tapi bersamaan dengan itu, kakaknya David memilih tinggal.
Seorang kawan bertanya, "Jika David tahu John agak psycho kenapa dia juga nggak pergi seperti Mark?"
Saya menjawab, bagaimanapun John yang punya uang. Ia memberi kehidupan pada atlet-atletnya yang merupakan mainan-mainannya. David, di lain pihak, punya istri dan anak yang juga harus ia hidupi.
Keputusan tersebut harus dibayar mahal. Sangat mahal. Kemudian, sampailah kita pada momen yang bikin setiap penonton terdiam dan kemudian berseru, "An***g nih film Foxcatcher!" (Ade/Mer)