Liputan6.com, Singapura PERINGATAN: Spoiler Alert! Artikel ini mengungkap bocoran cerita dan inti film Fifty Shades of Grey.
"… (S)eksualitas manusia juga abnormal menurut standar tigapuluh juta spesies hewan lain di dunia."
—Jared Diamond di buku Why is Sex Fun? The Evolution of Human Sexuality (1997)—
Advertisement
I. Singapore
Kesempatan berkunjung ke Singapura akhir pekan kemarin tak saya sia-siakan untuk melakukan hal ini: nonton `Fifty Shades of Grey` di bioskop.
Ya, di negeri singa film tersebut dapat izin rilis di bioskop. Di negeri kita dan Malaysia filmnya tak lolos sensor. Berkas unduhan atau DVD bajakannya memang sudah tersedia, namun godaan untuk melihatnya di bioskop begitu besar kemarin. Dan Anda tentu juga sepakat nonton film di layar laptop atau TV memiliki sensasi berbeda dengan nonton di layar lebar dalam keremangan bioskop.
Tambahan pula, `Fifty Shades of Grey` bukan film sembarangan. Hingga kini, filmnya tercatat sebagai film berkategori dewasa paling laris sepanjang masa, sudah menghasilkan lebih dari setengah miliar dollar AS atau setara Rp 6,4 triliun dari seluruh dunia. Ia juga jadi fenomena kultural global. Maka, ikut menjadi bagian dari keriuhan tersebut bersama masyarakat global adalah kesempatan yang amat sayang bila diilewatkan.
Maka, di situlah saya, pada Sabtu (28/2/2015) malam pukul 20.00 waktu Singapura mengantre tiket di bioskop Shaw Brothers Lido di gedung Shaw House lantai 6, Orchard Road, Singapura hendak nonton `Fifty Shades of Grey`. Antrian tak banyak. Saya beli tiket untuk pertunjukkan jam 21.40. Harganya 12 dollar Singapura atau setara Rp 113 ribu. Memilih kursi deretan tengah, O-15 persis dekat lorong. Ketika duduk santai di sofa menunggu pintu teater dibuka, saya mendengar suara-suara orang mengobrol dalam bahasa Indonesia. Saya hanya nyengir dalam hati.
Wartawan Liputan6.com dengan tiket nonton Fifty Shades of Grey.
Saat masuk bioskop, film tak langsung main. Saya harus menunggu lagi kira-kira 20 menit. Sepanjang waktu itu layar diisi iklan-iklan. Berbagai macam iklan diputar, bukan cuma trailer film-film yang hendak tayang. Hm, rasanya iklan-iklan di bioskop kita tak sebanyak itu. Jelas kalau di Singapura beriklan di bioskop dianggap penting bagi pengiklan.
Sebelum film mulai saya menengok ke belakang. Wow, deretan kursi di belakang saya hampir terisi penuh. Sementara itu, tiga deret kursi di depan saya juga terisi. Ini berarti dua pertiga teater dipadati penonton. Saya bertanya-tanya, berapa orang Indonesia yang nonton bersama saya malam itu?
II. The Sex
II. The Sex
Baiklah, sekarang membicarakan filmnya.
Selain ingin mendapat pengalaman nonton `Fifty Shades of Grey` di layar lebar, hal lain yang bikin saya penasaran adalah bakal sejauh mana filmnya disensor oleh lembaga sensornya Singapura. Negerinya Lee Kuan Yew itu dikenal ketat menerapkan aturan. Singapura bukan negeri yang alam demokrasinya sebebas kita. Kontrol pemerintah pada warganya lebih ketat, sampai-sampai Anda dengan mudah menemukan kaus bertuliskan kata-kata sinis “Singapore is Fine City” yang maksudnya bukan Singapura kota yang baik, melainkan di negeri itu apa saja didenda.
Di Singapura, `Fifty Shades of Grey` dapat rating R21 alias restricted 21 yakni filmnya hanya boleh ditonton oleh usia 21 tahun ke atas.
Salah satu adegan seks di Fifty Shades of Grey.
Jujur saja, saya punya dua copy versi `Fifty Shades of Grey`. Pertama copy unduhan filmnya berformat hasil rekaman diam-diam kamera di dalam bioskop. Copy film yang itu sepertinya diambil di Rusia. Filmnya di-dubbing dalam bahasa sana. Gambarnya goyang-goyang. Tak fokus.
Copy kedua adalah DVD bajakan dengan gambar terang dan jelas. Sepertinya ini hasil bajakan dari copy film yang diputar di bioskop. Seseorang yang tak berbudi tampaknya meng-copy filmnya dari versi yang diputar lewat sistem proyektor. Yang versi ini tak didubbing. Namun ada subtitle aksara Mandarin. Mungkin sumber asalnya dari Taiwan.
Maka, tugas saya adalah juga membandingkan tiga versi film `Fifty Shades of Grey`: versi Rusia, Taiwan, dan Singapura.
Ternyata, di Singapura, `Fifty Shades of Grey` rilis dalam versi sesuai aslinya di Amerika. Tidak disensor. Ini berarti setiap adegan panas di film tersebut sama dengan yang dilihat penonton Amerika.
Di negeri Paman Sam, `Fifty Shades of Grey` dapat rating R yang artinya penonton di bawah 17 tahun harus didampingi orang dewasa. Filmnya memang sengaja mengincar rating itu dan berusaha jangan sampai kena rating NC-17 yang tak membolehkan penonton di bawah 17 tahun ikutan nonton.
Nah, agar tak dapat rating NC-17, `Fifty Shades of Grey` tak menampilkan adegan seks yang frontal layaknya film biru. Alat kelamin para pemainnya tak nongol. Meski terlihat bugil total, bagian alat kelamin tetap berhasil disembunyikan.
Yang versi Singapura sama dengan versi Rusia hasil unduhan dengan kualitas kamera candid dalam bioskop. Sementara itu, versi Taiwan menyensor adegan seksnya. Yang muncul hanya bokong Jamie Dornan dari belakang, sedang puting Dakota Johnson ataupun adegannya saat bugil total dipotong.
Advertisement
III. The Romance
III. The Romance
Lantas bagaimana dengan isi filmnya?
Yang harus diketahui terlebih dahulu soal `Fifty Shades of Grey` ini adalah, aslinya berasal dari fan fiction novel `Twilight`. EL James, penulisnya, menulis ulang cerita fiksi dari kisah Twilight menurut versinya sendiri yang diberinya judul `Master of the Universe`. Di cerita versinya, Bella Swan dan Edward Cullen terlibat cinta yang panas.
Maka, meski kemudian nama Edward Cullen dan Bella Swan diganti Christian Grey dan Anastasia Steele, terasa sekali nuansa khas `Twilight` di cerita yang lalu diberi judul baru Fifty Shades of Grey ini.
Kita bisa membayangkan Christian laksana Edward yang dingin namun memiliki daya tarik tersendiri, dan Anastasia, atau Ana, laksana Bella yang menawan tapi naïf.
Filmnya juga punya ambience seperti Twilight pula. Ceritanya dibangun lewat sesuatu yang terasa `Twilight`: too good to be true dan mirip sinetron. Seorang mahasiswi cantik tapi lugu menggantikan temannya yang sakit hendak mewawancarai pengusaha muda nan tampan dan gagah. Si mahasiswi kikuk ketika melihat penampakan sempurna sang pengusaha muda. Sementara itu, entah bagaimana, si pengusah muda pun menunjukkan ketertarikan pada si mahasiswi. Cinta di antara mereka datang begitu saja.
Jamie Dornan sebagai Christian Grey.
Nah, awalan model begini mirip cerita-cerita FTV yang dibangun tanpa kausalitas logis yang didasarinya. Namun demikian, alur begini justru disukai kebanyakan perempuan. Bagi mereka, kisah model begini adalah impian seperti saat Cinderella yang berasal dari rakyat jelata bertemu pangeran tampan.
Maka, saya tak heran kenapa banyak perempuan suka `Fifty Shades of Grey`. Alasan utamanya mungkin bukan lantaran novelnya berisi adegan-adegan seksual yang eksplisit, melainkan kisahnya yang romantis.
Sebagai kisah romantis wanita biasa bertemu pangeran pujaaan, `Fifty Shades of Grey` menyuguhkan narasi bak kisah dongeng princess ala film-film animasi Disney. Kita melihat si wanita diajak pangeran bertualang melakukan hal-hal romantis yang tak pernah ia bayangkan sebagai rakyat jelata: naik helikopter, mobil mewah, hingga diajak naik pesawat terbang melihat indahnya pemandangan dari angkasa.
Adegan-adegan begitu pula yang mengingatkan saya pada `Twilight`. Saat Ana diajak Christian naik pesawat, saya seolah melihat Edward Cullen menggendong Bella Swan mengarungi hutan.
Namun, seperti yang semua pembaca `Fifty Shades of Grey` sudah ketahui, Christian Grey, sang pangeran tampan itu, punya kelainan seksual (kita juga bisa membayangkan di sini, Edward Cullen yang cool dan tampan ternyata vampir). Christian baru terpuaskan secara seksual pada perempuan bila ia menjadi pihak dominan. Yang dimakssud dominan di sini, Christian lebih suka si perempuan menjadi “budak” atau pihak submissive yang bersedia ia apakan saja. Diikat, ditutup matanya, hingga dicambuk. Si perempuan tak boleh melawan.
Syahdan, pada satu ketika ada adegan Christian Grey membeli tali dan plester di toko perkakas bahan bangunan tempat Anastasia bekerja. Melihat belanjaan itu, Ana berkomentar setengah berkelakar, "You’re the complete serial killer."
Ya, Christian sudah punya peralatan lengkap sebagai pembunuh berantai. Adegan di toko perkakas itu seolah mengolok cerita `Fifty Shades of Grey` sendiri. Semacam inside joke yang cerdas. Sebab, bayangkan bila situasinya diubah. Andai Christian bukan pengusaha tampan nan gagah yang super kaya, ia seharusnya sudah bikin setiap wanita ketakutan dengan kelainan seksualnya. Kamarnya yang penuh alat-alat penyiksaan untuk mendukung aktivitas seksualnya, seharusnya terasa menakutkan.
Adegan romantis di Fifty Shades of Grey.
Akan tetapi di situlah keunggulan El James (yang kemudian diterjemahkan dengan baik pula oleh Sam Taylor Johnson lewat bahasa gambar di versi film) bercerita. Perempuan-perempuan yang membaca kisahnya (dan sekarang nonton filmnya) tetap bakal jatuh cinta pada sosok Christian Grey. Ketidak-normalan perangai seksualnya terasa terhapus oleh sosoknya yang romantis.
Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh jahat yang diperankan Jamie Dornan di serial The Fall. Ya, Jamie pernah juga berperan sebagai pria yang punya kelainan seksual ekstrim. Di serial The Fall, ia mengincar wanita-wanita yang umumnya berwajah mirip. Menyiksanya lalu membunuhnya. Sehari-hari, di serial itu, Jamie seorang pria beristri yang punya satu anak perempuan.
Di `The Fall`, penonton perempuan dibuat ngeri oleh sosok Jamie Dornan, sedang di `Fifty Shades of Grey`, penonton perempuan malah jatuh hati. "Mau dong diikat tangannya, ditutup matanya, serta dicambuk," begitu mungkin yang banyak perempuan pikir usai nonton `Fifty Shades of Grey`.
IV. The Conflict
IV. The Conflict
Konflik utama `Fifty Shades of Grey` juga persis Twilight. Christian Grey mengalami dilema yang sama dengan Edward Cullen. Di `Twilight`, Edward Cullen mengalami konflik batin: apakah ia—yang seorang vampir—akan membiarkan dirinya jatuh hati pada Bella Swan, yang seorang manusia biasa. Edward tahu konsekuensi kala vampir menjalin asmara dengan manusia.
Konflik batin senada dialami Christian Grey. Ia jatuh hati pada Ana, tapi di satu pihak ia juga tak bisa melepaskan kesenangan seksualnya yang tak lazim. Bersama Christian, Ana bukan lagi cewek lugu yang masih perawan. Tapi di lain pihak, dengan Ana, Christian tak semata menjadikan wanita sebagai kesenangan seks semata yang ia bisa dominasi.
Syahdan, di antara kusut masai jalinan asmara maju-mundur, Ana menantang Christian, ingin tahu sejauh mana kepuasan seksualnya yang tak lazim pada tingkat paling ekstrim. Saat adegan itu terjadi di layar, meski penonton lihat Ana bugil total, yang terasa bukan kenikmatan menonton adegan seks di layar. Melihat Ana menitikkan air mata dan wajah Christian yang meski tampak tak tega namun melakukan penyiksaan juga, membuat kami yang nonton tersayat-sayat hatinya.
Segala romantisisme pasangan yang sedang dimabuk cinta buyar. Film pun berakhir dengan menggantung. Ana pergi meninggalkan Christian. Adegan terakhir mengulang lagi saat Ana dan Christian pertama kali jumpa.
"Ana…," kata Christian.
"Christian…," kata Ana.
Lift tertutup. Layar menggelap.
Saat keluar dari bioskop, hampir tengah malam waktu Singapura, pasangan bule yang berjalan di depan saya saling rangkul dan berbisik manja. Mungkin mereka saling goda untuk mempraktekkan adegan seks di film yang barusan mereka tonton, saya menduga.
Sendirian di Singapura, saya hanya bisa gigit jari. Tiba di stasiun MRT, kereta terakhir ternyata sudah berangkat. Saya harus keluar dan berjalan cari taksi. Sial, padahal saya harus buru-buru ke kamar mandi… (Ade/Mer)
Advertisement