Liputan6.com, Yogyakarta - Prasasti Tuk Mas, peninggalan abad ke-7 Masehi di Jawa Tengah, menjadi bukti tertua yang menggambarkan hubungan manusia dan kucing di Nusantara. Pada relief prasasti ini, kucing diukir di antara simbol kemakmuran seperti padi dan mata air.
Mengutip dari berbagai sumber, keberadaan kucing dalam relief tersebut merupakan gambaran peran kucing sebagai penjaga lumbung padi dari hama tikus. Sekaligus menjadi simbol keseimbangan alam dalam kebudayaan agraris Jawa Kuno.
Advertisement
Prasasti Batu Tulis (1533 M) di Sunda Kuno memperkuat bukti sejarah ini. Dalam prasasti berbahasa Sunda Kuno, kata meong (kucing) disebut sebagai hewan peliharaan tokoh penting kerajaan.
Advertisement
Baca Juga
Teks prasasti mencatat pemberian kucing kepada seorang bangsawan sebagai bentuk penghargaan. Dalam Prasasti Canggal (732 M) dari era Kerajaan Mataram Kuno menyimpan keunikan tersembunyi.
Simbol kucing kecil di sudut prasasti merupakan tanda tangan empu pembuat prasasti yang mencintai kucing. Naskah Kakawin Ramayana versi Jawa Kuno, yang ditulis sekitar abad ke-9, menyebut kucing sebagai sahabat setia penghuni istana.
Deskripsi ini selaras dengan temuan relief di Candi Borobudur yang menggambarkan hewan mirip kucing di antara ukiran flora dan fauna. Meski tidak eksplisit, kucing telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa pada masa itu.
Prasasti dan naskah kuno juga mengisyaratkan peran kucing dalam aspek spiritual. Dalam kepercayaan Hindu-Buddha yang berkembang di Jawa, kucing kerap dikaitkan dengan dewi kesuburan, Dewi Sri.
Prasasti Tuk Mas menampilkan perpaduan gambar kucing dengan simbol padi yang dihubungkan dengan pemujaan terhadap seorang dewi. Tradisi Jawa bernama tedhak siti yang didokumentasikan dalam naskah Serat Centhini tahun 1814
Tradisi ini memasukkan kucing sebagai bagian dari rangkaian upacara. Praktik ini berakar dari kepercayaan kuno bahwa kucing mampu mengusir roh jahat.
Penulis: Ade Yofi Faidzun