`Cinderella` dan Kenapa Kita Cinta Cerita Dongeng Disney

Cinderella versi baru mengingatkan kita lagi kenapa sebermula kita mencintai dongeng Disney.

oleh Ade Irwansyah diperbarui 12 Mar 2015, 15:20 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2015, 15:20 WIB
Cinderella
Adegan film Cinderella. (dok. Disney)

Liputan6.com, Jakarta Dongeng Cinderella dan Kenneth Branagh. Dua nama itu sangat menarik perhatian ketika hendak nonton film terbaru Cinderella versi live action rilisan Disney.

Pecinta film yang mengenal nama Kenneth Branagh pasti langsung terpantik rasa ingin tahunya ketika mendapati sutradara asal Inggris itu yang membesut film Cinderella versi baru. Branagh bukan sembarang sutradara. Ciri khasnya bukan pada film-film dengan efek visual dahsyat macam film blockbuster.

Dikenal sebagai sutradara film drama, Branagh punya ciri yang membedakannya dengan yang lain. Ia spesialis mengangkat drama William Shakespeare ke layar lebar. Film pertamanya, yang rilis 1989 dan ia ikut membintangi, berasal dari drama Shakespeare, Henry V.

Branagh kemudian berturut mengadaptasi drama-drama Shakespeare lain ke layar lebar: Much Ado About Nothing (1993), Hamlet (1993), Love’s Labour Lost (2000), dan As You Like It (2006).

Tahun 2011 silam, Branagh membuat versi layar lebar Thor yang berasal dari komik Marvel. Pria ini memberi nuansa berbeda pada narasi film superhero. Thor versi film, di tangan Branagh terasa punya nuansa Shakespeare alias seolah sang pujangga Inggris abad ke-16 itu yang membikin cerita superhero.

Di tangan Branagh, Thor versi film tidak menitikberatkan pada pamer efek khusus dahsyat, melainkan sebuah kisah tragik, drama abang-adik (Loki dan Thor) serta dilema sang raja pada siapa dia akan mewariskan kerajaannya.

Maka, ketika mendengar Kenneth Branagh bakal membuat Cinderella, tanya yang segera menghampiri adalah: Akan se-“Shakespeare” apa filmnya? Apakah ada kelokan cerita berbeda yang terasa seperti dicomot Branagh dari semesta cerita Shakespeare? Ternyata ibu tiri dan saudara tiri Cinderella tidak sejahat yang kita kira, mungkin?

Yang menarik untuk ditelisik terlebih dahulu adalah kenapa dongeng Cinderella diceritakan ulang lagi saat ini.

Jika Anda mengikuti perkembangan sinema dunia empat tahun terakhir, ada tren yang terjadi sejak 2010 silam: mengangkat cerita dongeng lawas ke layar lebar dengan pendekatan baru, baik dari segi teknik sinema (efek visual dkk) maupun penceritaan baru.

Tren Memfilmkan Dongeng

[Bintang] Cinderella
Adegan film Cinderella. (dok. Disney)

Tahun 2010, Tim Burton membuat ulang dongeng Alice in Wonderland. Di versi film baru itu, dongeng Lewis Carroll terasa nyentrik ala “Burtonian”. Toh, nyatanya masyarakat global suka. Filmnya meraup pendapatan USD 1 miliar di bioskop seluruh dunia.

Sejak itu Hollywood kian getol menggali dongeng-dongeng lama untuk diceritakan kembali. Tren ini sejalan dengan Hollywood yang selama 10 tahun terakhir rajin membuat film remake atau reboot, dari mulai Batman-nya Christopher Nolan hingga James Bond-nya Daniel Craig.

Maka, sejak 2010, kita melihat Red Riding Hood, Mirror Mirror, Snow White and The Huntsman, Hansel and Gretel: Witch Hunters, Jack the Giant Slayer, Oz the Great and Powerful dan tahun kemarin Maleficent.

Film-film yang saya sebut di atas hampir semuanya adalah versi berbeda dari dongeng-dongeng yang kita kenal sejak kecil. Snow White and The Huntsman, misalnya, menampilkan Snow White yang pandai bertarung dan mengangkat senjata melawan penjahat. Begitu pula Hansel and Gretel: Witch Hunters yang menampilkan si kakak-beradik sebagai pemburu penyihir. Sedang Maleficent mengambil sudut penceritaan dari tokoh antagonis di dongeng Sleeping Beauty, si Maleficent yang diperankan Angelina Jolie.

Sedangkan yang lain umumnya juga mengambil jalan sebagaimana novel-novel Neil Gaiman, kisah dongeng bagi penonton dewasa.

Dengan pembacaan seperti di atas terhadap tren film dongeng selama empat tahun terakhir, kita bakal menebak, revisionisme ala Kenneth Branagh pada dongeng Cinderella adalah bakal ada nuansa Shakespeare pada ceritanya.

Saya kaget, ternyata Cinderella versi baru garapan Branagh sama sekali tak menawarkan narasi berbeda. Tidak ada cerita yang baru dari kisah Cinderella yang utamanya kita kenal dari film animasi Disney keluaran 1950.

Kisahnya masih sama, tak ada kelokan berarti.

Syahdan, di film ini, kita melihat Ella (Lily James dari serial Downtown Abbey) menjadi yatim-piatu dan diasuh ibu tirinya yang jahat (Cate Blanchett) yang punya dua putri. Mereka memperlakukan Ella bak pembantu. Ella terpaksa tidur di pinggir perapian di dapur. Ketika bangun, wajahnya penuh jelaga. Dari situ ia dapat panggilan Cinderella alias Ella si abu atau kita menyebutnya Upik Abu.

Cerita selanjutnya juga sudah kita hapal: sang pangeran (diperankan Richard Madden dari serial HBO Game of Thrones) mencari istri. Kerajaan lalu mengundang seluruh rakyat—dari kalangan bangsawan, orang kaya hingga jelata—datang ke pesta dansa. Ibu tiri dan saudara tiri Cinderella datang ke pesta. Cinderella ingin pergi. Tapi ibu tirinya menguncinya sendirian di rumah.

Peri baik hati kemudian mewujudkan mimpi Cinderella. Labu diubah jadi kereta kencana; tikus-tikus jadi kuda; kadal jadi pelayan; sedang angsa jadi sais kereta. Gaun robek Cinderella dubah jadi gaun menawan. Tak lupa pula sepatu kaca dikenakannya ke pesta.

Selama pesta, pangeran begitu terpukau pada Cinderella. Mereka berdansa dan mengobrol. Namun, tengah malam hampir tiba. Cinderella harus segera pergi atau pangeran bakal melihatnya seperti apa adanya, bukan bak putri jelita. Saat hendak pergi, sepatu kaca Cinderella lepas satu.

Pangeran kemudian melakukan sayembara ke seluruh negeri: siapa saja yang kakinya muat dengan sapatu kaca yang tertinggal, dia akan dipersunting sebagai istri oleh pangeran. Pencarian dilakukan hingga ke seluruh pelosok negeri.

Tidak ada kaki yang pas dengan sepatu kaca itu. Hingga sampailah rombongan kerajaan di rumah Cinderella. Kaki dua putri ibu tiri Cinderella tak muat dengan sepatu kaca. Rombongan kerajaan hampir pergi, hingga kemudian mereka tahu ada seorang gadis lagi tinggal di rumah itu. Kaki Cinderella pas dengan sepatu kaca. Pangeran bahagia wanita yang dicarinya telah ditemukan. Ia lantas memboyong Cinderella ke istana, menjadi istrinya. Dan mereka hidup bahagia selamanya…

Pertanyaannya adalah, kenapa Disney dan Kenneth Branagh tak membuat tafsir berbeda atas cerita Cinderella? Kenapa pula Branagh tak membuat kisahnya jadi punya nuansa tragedi ala cerita Shakespeare?

Dan yang lebih penting lagi, kenapa dengan cerita yang sudah kita hapal, Cinderella versi baru ini tetap memikat ditonton?

Makna Cinderella Versi Baru

Cinderella

Jawaban tunggal untuk pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Cinderella versi baru ini merupakan antitesis dari tren yang kini sedang berlaku. Semacam anomali.

Jika ditelisik, cerita dongeng lawas sudah kerap diceritakan ulang dengan berbagai versi. Anda bisa langsung tahu kalau kisah Shrek milik DreamWorks sejatinya adalah semacam olok-olok atau parodi dari cerita dongeng lawas. Begitu juga Ella Enchanted, film Disney yang lain.

Generasi 1990-an juga mungkin ingat dengan film Ever After: A Cinderella Story (1998) yang dibintangi Drew Barrymore. Dikatakan, film tersebut adalah kisah asli dari dongeng Cinderella yang kita kenal.

Walau tak ada pendekatan cerita yang berbeda dengan kisah Cinderella yang kita kenal toh film yang ini terasa asyik dinikmati.

Branagh memang sekadar memindahkan cerita Cinderella dari kartun Disney ke versi live-action. Ia tampak tak berpretensi macam-macam. Kecuali memberi tontonan dongeng Cinderella bagi penonton modern. Ia bahkan tak berniat memasukkan subteks lain agar filmnya punya beragam tafsiran, seperti misalnya film animasi Frozen (2013).

Kisah Cinderella versi baru persembahan Branagh unggul justru karena bersetia pada cerita yang sudah kita akrabi. Versi live-action-nya menjadi tampak lebih colorful dan diuntungkan oleh perkembangan teknologi sinema kiwari.

Cinderella versi baru mengingatkan kita lagi kenapa sebermula kita mencintai dongeng-dongeng princess-nya Walt Disney alias putri Disney. Sejak kecil, lewat dongeng-dongeng putri Disney, setiap perempuan punya mimpi jadi putri jelita yang dinikahi pangeran tampan dan hidup bahagia selamanya.

Selama belasan tahun terakhir cerita dongeng kian canggih, rumit, dan terasa untuk tontonan dewasa. Kita seolah lupa kalau kita jatuh cinta pada cerita dongeng justru karena kesederhanaan ceritanya: rakyat jelata menikahi pangeran dan hidup bahagia selamanya.

Cinderella versi barunya Kenneth Branagh memberi kesederhanaan itu dengan tampilan memukau.*** (Ade)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya