Hidup Didik Nini Thowok tak lepas dari tangan dingin sang kakek. Semasa kecil, Didik hidup bersama kakek dan ibunya di Temanggung, Jawa tengah.
Banyak pelajaran yang ia peroleh. Berkat sang kakek pula, Didik tumbuh sebagai pria yang disiplin dan berjiwa keras. Dari banyak petuah, ia ingat satu ucapan sang kakek yang kini menjadi bekalnya mengarungi kehidupan. "Kata kakek saya, 'kalau berkumpul dengan copet, kamu harus bisa jadi raja copet!"
belum lama ini, tim liputan6.com, berbincang hangat dengan Didik Nini Thowok di kediamannya di Godean, Yogyakarta. Didik bercerita tentang gaya sang kakek dalam mendidiknya.
"Kakek mendidik saya sangat disiplin. Dalam arti kakek menanamkan kebiasaan untuk kerja keras. Tanpa kerja keras, tanpa berkeringat, jangan harapkan dapat uang. Jadi dari kecil sudah diajari begitu," bilangnya.
Untuk mendapatkan uang jajan sekolah, Didik harus ikut sang ibu membuka warung dulu. "Zaman itu, tutup warung kan dibuat dari kayu, jadi saya harus bantu ibu membukanya dan menyiapkan barang dagangan, baru dapat uang jajan. Kalau tidak begitu, ya tidak dapat apa-apa. Mungkin waktu itu saya tidak rasakan manfaatnya, tapi itu membentuk saya menjadi pribadi yang bekerja keras," kenang Didik.
Untuk mendapatkan uang lebih, sang kakek juga memberikan komik-komik kepada Didik untuk disewakan.
"Kakek kasih buku komik, kalau mau dapat uang jajan lebih, aku harus menyewakan buku komik. Saya mengiyakan itu, sampai kemudian perpustakaan saya menjadi besar. Dari 12 buku menjadi 300 buku," kenang Didik bangga.
Memiliki uang jajan lumayan banyak, Didik tidak berfoya-foya. "Uangnya saya belikan tape rekorder untuk iringi tarian," katanya.
Sang kakek pula yang mengenalkannya kepada dunia seni tari. "Walaupun dia China, dia suka wayang kulit, wayang wong dan sebagainya," imbuhnya.
Ditempa disiplin tak melulu menghasilkan tampang yang sangar. Di balik wajah Didik yang lembut, jiwanya sangat keras ketika menggapai impian.
"Saya lembut karena menekuni dunia tari, tapi saya punya jiwa yang keras. Seperti halnya saya menekuni tari Bali, saya pantang menyerah berusaha bagaimana saya sampai Bali. Tari Cirebon pun begitu. Pembentukan karakter yang keras bukan diwujudkan oleh wajah yang sangar, tapi semangat dan kemauan. Bisa jadi, yang wajahnya sangar tapi jiwanya kerdil kan. Apalagi, kalau lihat weton saya dari weton saya, saya ini orangnya keras kepala, dan pintar cari uang,hehee," Didik menimpali.
Selain dari sang kakek, Didik juga memetik banyak pelajaran dari guru sekaligus kakak angkatnya, I Gusti Agung Ngurah Sukarte.
"Dia bilang, lebih baik jadi raja kecil di kerajaan kecil, daripada hidup di kerajaan besar tapi cuma jadi prajurit," sebut Didik.
Inipula yang menjadi pegangannya, kala memutuskan keluar dari pegawai negeri untuk mendalami dunia tari. Didik kini menjadi 'raja kecil' di panggung budaya jawa dengan sanggarnya, Natya Lakshita, yang hingga saat ini mencetak penari-penari muda. (fei)
Banyak pelajaran yang ia peroleh. Berkat sang kakek pula, Didik tumbuh sebagai pria yang disiplin dan berjiwa keras. Dari banyak petuah, ia ingat satu ucapan sang kakek yang kini menjadi bekalnya mengarungi kehidupan. "Kata kakek saya, 'kalau berkumpul dengan copet, kamu harus bisa jadi raja copet!"
belum lama ini, tim liputan6.com, berbincang hangat dengan Didik Nini Thowok di kediamannya di Godean, Yogyakarta. Didik bercerita tentang gaya sang kakek dalam mendidiknya.
"Kakek mendidik saya sangat disiplin. Dalam arti kakek menanamkan kebiasaan untuk kerja keras. Tanpa kerja keras, tanpa berkeringat, jangan harapkan dapat uang. Jadi dari kecil sudah diajari begitu," bilangnya.
Untuk mendapatkan uang jajan sekolah, Didik harus ikut sang ibu membuka warung dulu. "Zaman itu, tutup warung kan dibuat dari kayu, jadi saya harus bantu ibu membukanya dan menyiapkan barang dagangan, baru dapat uang jajan. Kalau tidak begitu, ya tidak dapat apa-apa. Mungkin waktu itu saya tidak rasakan manfaatnya, tapi itu membentuk saya menjadi pribadi yang bekerja keras," kenang Didik.
Untuk mendapatkan uang lebih, sang kakek juga memberikan komik-komik kepada Didik untuk disewakan.
"Kakek kasih buku komik, kalau mau dapat uang jajan lebih, aku harus menyewakan buku komik. Saya mengiyakan itu, sampai kemudian perpustakaan saya menjadi besar. Dari 12 buku menjadi 300 buku," kenang Didik bangga.
Memiliki uang jajan lumayan banyak, Didik tidak berfoya-foya. "Uangnya saya belikan tape rekorder untuk iringi tarian," katanya.
Sang kakek pula yang mengenalkannya kepada dunia seni tari. "Walaupun dia China, dia suka wayang kulit, wayang wong dan sebagainya," imbuhnya.
Ditempa disiplin tak melulu menghasilkan tampang yang sangar. Di balik wajah Didik yang lembut, jiwanya sangat keras ketika menggapai impian.
"Saya lembut karena menekuni dunia tari, tapi saya punya jiwa yang keras. Seperti halnya saya menekuni tari Bali, saya pantang menyerah berusaha bagaimana saya sampai Bali. Tari Cirebon pun begitu. Pembentukan karakter yang keras bukan diwujudkan oleh wajah yang sangar, tapi semangat dan kemauan. Bisa jadi, yang wajahnya sangar tapi jiwanya kerdil kan. Apalagi, kalau lihat weton saya dari weton saya, saya ini orangnya keras kepala, dan pintar cari uang,hehee," Didik menimpali.
Selain dari sang kakek, Didik juga memetik banyak pelajaran dari guru sekaligus kakak angkatnya, I Gusti Agung Ngurah Sukarte.
"Dia bilang, lebih baik jadi raja kecil di kerajaan kecil, daripada hidup di kerajaan besar tapi cuma jadi prajurit," sebut Didik.
Inipula yang menjadi pegangannya, kala memutuskan keluar dari pegawai negeri untuk mendalami dunia tari. Didik kini menjadi 'raja kecil' di panggung budaya jawa dengan sanggarnya, Natya Lakshita, yang hingga saat ini mencetak penari-penari muda. (fei)