Liputan6.com, Jakarta Miracle In Cell No. 7 yang dibintangi Vino G. Bastian dan Mawar De Jongh siap tayang di bioskop Tanah Air mulai Kamis (8/9/2022). Karya sutradara Hanung Bramantyo ini menempatkan sang aktor sebagai ayah pengidap disabilitas intelektual dengan autisme.
Berbincang dengan Showbiz Liputan6.com di Jakarta Selatan, pekan ini, suami Marsha Timothy berbagi cerita soal tantangan jadi ayah dalam remake resmi film Korea Selatan berjudul sama.
Advertisement
“Saya konsultasi dengan tiga psikolog,” kata Vino Bastian. Ini bagian dari riset dan menggali informasi detail seperti apa mereka yang hidup dengan disabilitas intelektual seperti ini.
Advertisement
Baca Juga
Vino G. Bastian Terangkan Beda Remake dan Plagiat, Luruskan Isu Miracle In Cell No. 7 Jiplak Film Korea
Reaksi Sineas Lee Hwan Kyung Nonton Trailer Miracle In Cell No. 7 Versi Indonesia: Paling Mirip Korea
6 Fakta Lagu Balon Udara Soundtrack Miracle In Cell No. 7, Karya Ade Omar Dibuat Hanya Dalam 1 Jam
Sementara Hanung Bramantyo konsultasi dengan pengacara mengingat film Miracle In Cell No. 7 memuat gugatan terhadap sistem hukum. Berikut 6 fakta dari balik layar Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia. Selamat menyimak.
1. Antisipasi UU ITE
Hanung Bramantyo membeberkan susahnya mengadaptasi film bertema hukum. Tokoh utama baik dalam versi Korea maupun Indonesia dikisahkan menggugat hukum atas ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas atau yang dianggap “tidak normal.”
“Dia melawan, ending-nya orang ini menang tapi sudah terlambat. Ketika yang dilawan hukum, kita kan punya UU ITE pasal 27, jadi ini sangat mungkin dilaporkan sebagai pencemaran nama baik hukum,” ujar suami Zaskia Adya Mecca.
Advertisement
2. Tak Pakai Simbol Indonesia
Karenanya Hanung Bramantyo sengaja bikin salah. Dalam adegan sidang misalnya, baju hakim dengaja “dimodifikasi.” Sejumlah simbol negara juga tak tampak di ruang sidang.
“Jadi semua simbol tentang Indonesia saya buang sekalipun berbahasa Indonesia. Tidak ada lambang Garuda Pancasila, bendera Indonesia, foto Presiden yang mestinya di pengadilan ada. Ini bukan tanpa dasar,” tutur sineas peraih dua Piala Citra.
3. Diingatkan Pengacara
“Saya tadinya mau benar murni mengadaptasi hukum di Indonesia tapi kemudian disarankan pengacara dari Falcon Pictures: Serius Mas Hanung mau bikin adaptasi secara murni hukum di Indonesia, nanti saya yang repot, Mas,” Hanung Bramantyo membeberkan.
Meski begitu, hasil akhir film ini diapresiasi sutradara Miracle In Cell No. 7 versi Korea Selatan, Lee Hwan Kyung. “Menurut saya ini suatu yang baru. Ada warna Indonesia terlihat di film ini. Saya sangat menikmati,” ujarnya di Jakarta, pekan ini.
Advertisement
4. Intellectual Disabilitas Cross Autisme
Vino G. Bastian memerankan Dodo Rozak, ayah pengidap intellectual disabilitas cross autisme. Agar tampil maksimal, ia beberapa kali ke panti untuk melihat beberapa role model. Selain itu, sebelum berakting, ayah satu anak ini mengonfirmasi ke psikolog dan sutradara.
“Setiap saya melakukan gerakan saya konfirmasi ke Mas Hanung dan psikolog, boleh enggak melakukan gerakan ini dan berlebihan enggak? Takutnya ketika saya melakukan gerakan atau omongan tersebut, itu bukan bagian dari disabilitas yang diidap Dodo,” urai Vino G. Bastian.
5. Dilarang Ngelead
Ini bukan kali pertama Vino G. Bastian jadi ayah di film. Ia menyebut adu akting dengan Graciella Abigail yang memerankan Kartika (anak Dodo -red) saat kecil, terasa spesial. “Di sini sangat berbeda karena yang harus ngelead bukan saya tapi Grace,” kenangnya.
“Dari awal Mas Hanung mengingatkan: Kamu enggak boleh ngelead. Kalau ada sesuatu harus Kartika yang lebih aktif membangun chemistry. Walau ini hubungan bapak anak, tidak bisa seperti (maaf) kita yang normal. Harus ada gap antara saya dan Grace,” ia menukas.
Advertisement
6. Pola Pikir 5 Tahun
Terkait pola pikir Dodo Rozak, Vino G. Bastian menjelaskan, yang ada di pikiran Dodo tak berkembang. “Misalnya, Kartika 7 tahun, Dodo itu 5 tahun. Bagaimana menjadi bapak tapi pola pikir saya tidak solutif seperti anak,” terang Vino G. Bastian.
Hanung Bramantyo mengingatkan, jika biasanya seorang aktor harus berdialog dengan artikulasi jelas, maka di sini Vino diizinkan mematahkan artikulasi demi menghidupkan peran. Penasaran, kan?