Sejarah Organisasi Islam Terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Begini sejarahnya.

oleh Liputan Enam diperbarui 01 Feb 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2020, 04:00 WIB
Silaturahim Nahdlatul Ulama (NU) XVIII sedunia kembali digelar di Makkah Arab Saudi pada Kamis (8/8/2019) pagi waktu Arab Saudi (WAS). Bahauddin/MCH
Silaturahim Nahdlatul Ulama (NU) XVIII sedunia kembali digelar di Makkah Arab Saudi pada Kamis (8/8/2019) pagi waktu Arab Saudi (WAS). Bahauddin/MCH

Liputan6.com, Jakarta - Di Jawa Timur, terdapat salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia.

NU pun memperingati Harlah ke-94 pada 31 Januari 2020. Organisasi Islam ini tumbuh dan berkembang di tanah Jawa sejak dulu. Kali ini Liputan6.com akan membahas mengenai sejarah NU mengutip dari laman resmi nu.or.id.

Pada mulanya, kalangan pesantren mempunyai tekad untuk melawan kolonialisme dengan membentuk suatu organisasi pergerakan pada 1916, kala itu bernama Nahdlatul Wathan yang mempunyai arti “Kebangkitan Tanah Air”.

Selang dua tahun, pada 1918 didirikan kembali organisasi yang bertujuan untuk pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan santri bernama Taswirul Afkar atau dikenal dengan Nahdlatul Fikri yang mempunyai arti “Kebangkitan Pemikiran”.

Kemudian, untuk memperbaiki perekonomian rakyat didirikan Nahdlatul Tujjar yang mempunyai arti “Pergerakan Kaum Saudagar”. Dengan begitu, Taswirul Afkar menjadi lembaga pendidikan yang berkembang, bahkan sampai memiliki cabang di beberapa kota.

Dengan demikian, kaum terpelajar menyadari keterbelakangan yang dialami oleh Indonesia baik mental maupun ekonomi akibat penjajahan atau kungkungan tradisi dan berniat memperjuangkan harga diri bangsa ini. Hal ini direalisasikan dalam jalan pendidikan dan organisasi.

Gerakan ini muncul pada 1908 dan dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Akibatnya, banyak bermunculan organisasi pendidikan dan pembebasan.

Ketika Raja Ibnu Saud berencana menerapkan asas tunggal, yaitu mazhab wahabi di Mekah dan menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam termasuk pra-Islam yang banyak didatangi karena dianggap bi’dah.

Hal tersebut disambut baik oleh kaum modernis Indonesia, baik Muhammadiyah yang berada di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII yang berada di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Namun, kalangan pesantren yang berpihak kepada keberagaman, menolak gagasan tersebut.

Karena tidak sejalan dengan gagasan pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban, maka kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada 1925. Dengan demikian, kalangan pesantren tidak dilibatkan dalam delegasi Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah untuk disahkan.

Akibat dari hal tersebut, kalangan pesantren membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz yang diketahui oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Dengan desakan Komite Hejaz dan seruan dari penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud membatalkan pengesahan tersebut dan sekarang di Mekah bebas untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.

Setelah itu, untuk mengantisipasi perkembangan zaman lalu dibentuklah organisasi yang lebih sistematis. Organisasi yang dibentuk awalnya dimusyawarahkan dengan para kiai, kemudian lahirlah Nahdlatul Ulama (NU) yang mempunyai arti “Kebangkitan Ulama”. NU lahir pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

K.H. Hasyim Asy’ari pun merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) dan Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah yang kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU dan menjadi dasar dan rujukan pemikiran dan tindakan keagamaan juga politik warga NU.

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Cerita soal Banser

Sejarawan Universitas Airlangga, Adrian Perkasa mengatakan di NU terdapat bagian otonom, yaitu Ansor. Ansor merupakan badan otonom yang dikhususkan bagi kawula muda dan dinamakan Banser. Banser adalah kependekan dari Barisan Ansor Serbaguna.

"Berdiri tahun 1937 di Malang. Jadi awalnya didirikan sebagai satuan pengamanan saat kongres Ansor di sana," kata Adrian.

Menurut Adrian, Banser dilatih oleh para pimpinan militer terkemuka seperti Hamis Rusdi yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Malang. Dengan demikian, Banser dapat digolongkan sebagai paramilitary tetapi sifatnya lebih ke sosial.

"Maka kelompok ini dikenal juga karena kemampuan pertahanan yang tangguh, kelihaian baris berbaris," kata dia.

Banser juga terkenal menjadi organisasi yang siap dibutuhkan saat negara berada dalam kondisi apa pun, contohnya bencana alam.

"Ikut mengamankan ibadah umat beragama di luar Islam juga sering. Bahkan salah satu anggota banser rela mati pada saat ada bom mengancam perayaan Natal beberapa tahun lalu. Jadi tidak identik dengan kekerasan atau yang seram-seram,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya