Anggota Wantiknas Nilai Network Sharing Pro Rakyat

Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional menilai skema network sharing merupakan kebijakan yang pro rakyat.

oleh M Hidayat diperbarui 23 Jan 2017, 13:00 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2017, 13:00 WIB
BTS
BTS (towershare.com)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo memandang, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Komunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, berperan vital bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.

Pernyataan itu disampaikan sebagai respons atas pro-kontra yang selama ini mengemuka. Salah satunya menyebut bahwa negara akan menderita kerugian atas skema berbagi jaringan (network sharing) yang dirancang dalam revisi peraturan pemerintah tersebut di atas.

Padahal, apabila dicermati, regulasi ini juga bermaksud memeratakan cakupan jaringan operator hingga ke daerah pelosok, utamanya di luar pulau Jawa. Nantinya operator telekomunikasi dapat menyewa infrastruktur PT Telkom selaku BUMN dan jaringannya akan menjangkau lebih banyak masyarakat di seluruh Indonesia.

"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Board of Director di Telkomsel, Indosat, dan Telkom tersebut hari ini (23/1/2017).

Terlebih, pemerintah ingin kota-kota di negeri ini menerapkan konsep kota pintar (smart city). Hal ini tentunya mutlak memerlukan akses internet berkecepatan tinggi serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam Seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), akhir pekan lalu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sepakat atas pentingnya dampak pemerataan yang bakal diproses melalui perubahan di PP No. 52 dan 53 Tahun 2000.

Namun, ada hal yang mesti digarisbawahi yakni infrastruktur awal milik PT Telkom sebagai objek berbagi jaringan. Maksudnya, harus ada perhitungan yang tepat untuk mengonversikan biaya yang akan ditanggung saat skema berbagi jaringan ini diterapkan.

"Pertanyaannya, apabila infrastruktur itu di-sharing, bagaimana penggunaan dana yang sekian lama itu bisa diperhitungkan dengan seadil-adilnya bagi para operator?" kata Syarkawi.

Lebih lanjut, ia mengkritik tarif telepon antaroperator telekomunikasi yang berbeda (off net) di sistem interkoneksi. Ia menuntut pemerintah mampu mengkaji dengan baik dan serius untuk menangani permasalahan itu sebab masyarakat terkena dampak langsung. Dengan tarif off net saat ini, menurut Syarkawi, konsumen bisa membayar 10 kali lebih mahal.

Pada akhirnya, kata Syarkawi, supaya murah saat menelpon konsumen juga harus membeli beberapa kartu perdana operator-operator tertentu. Hal tersebut, ditinjau dari sisi efektivitas, sangatlah tidak tepat dan hanya bermuara pada pemborosan. 

"Oleh sebab itu kami mendorong agar persaingan semakin baik, tarif off net harus setransparan mungkin," tegas Syarkawi.

Adapun pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio memiliki pandangan serupa dengan Menkominfo. Menurut Agus, revisi ini sangat mendesak untuk diselesaikan karena regulasi mesti mampu dengan cepat mengimbangi teknologi yang tengah berkembang pesat.

Seperti diketahui PP No. 52 dan 53 Tahun 2000 saat ini hanya berfokus menjamah unsur telekomunikasi di ranah telepon dan pesan singkat. Padahal tren telekomunikasi sudah berubah ke layanan data. "Perubahan atas PP nomor 52 dan 53 yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan," tutur Agus.

Di satu sisi, melalui skema berbagi jaringan, masyarakat akan mendapat akses lebih merata. Di sisi lain, industri menjadi lebih efisien serta ketersediaan infrastruktur telekomunikasi bisa meluas makin cepat. Sebagian besar KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau jawa (80 persen) saat ini dilakukan oleh satu operator telekomunikasi.

"Pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai oleh satu operator, yakni Telkomsel, sekitar 37 persen pangsa pasar. Di bawah Telkomsel terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo 23 persen dan XL Axiata 14 persen," kata Agus.

Selain tiga operator itu ada beberapa operator lainnya seperti Ceria, 3 Hutchinson, Smartfren, dan Bakrie Telecom. Struktur pasar yang demikian, menurut Agus, menyebabkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli. "Kondisi ini diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya," lanjut Agus.

Oleh sebab itu, diperlukan regulasi untuk mengatur persaingan usaha yang memastikan peningkatan manfaat bagi para pemangku kepentingannya. Salah satunya melalui revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000. Hal ini juga selaras dengan visi pemerintah pada 2020 untuk menjadi pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

"Ini harus segera terealisasi, sehingga selain terwujud pemerataan akses di seluruh Indonesia, masyarakat sebagai konsumen juga mendapatkan harga kompetitif dan layanan lebih baik," pungkas Agus.

Sementara itu, Pengamat Persaingan Usaha Bambang Adiwiyoto juga menilai skema berbagi jaringan memiliki tujuan akhir untuk memangkas harga layanan pada konsumen. Skema itu memungkinkan operator-operator menjalin kemitraan untuk menggunakan jaringan secara bergantian. Maka itu, keliru jika dikatakan bentuk kerja sama itu merugikan negara, sedangkan hal tersebut memberi keuntungan pada rakyat Indonesia dengan tarif murah.

"Tujuan negara kan untuk menyejahterakan rakyat. Kalau tarif murah itu ya yang sejahtera rakyat. Yang jelas rakyat harus makmur," ujar Bambang.

Terlebih, ada pemanfaatan maksimal dari jaringan sebagai fasilitas yang disewakan negara pada operator untuk melayani masyarakat. "Malah kalau nganggur tidak terpakai, itu yang justru jadi kerugian negara karena tidak terpakai. Kerugian ekonomi," tegas Bambang.

(Why/Isk)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya