Liputan6.com, Bandung - Startup atau perusahaan rintisan di sektor digital dinilai masih kekurangan tenaga kerja di bidang IT yang siap kerja. Padahal, kebutuhan tenaga kerja IT diprediksi meningkat di masa depan.
"Secara keseluruhan, tenaga kerja IT yang siap kerja untuk startup sangat kurang,"Â ujar Co-CEO & Co-Founder Bandung Initiative Movement (BIM), Nur Javad Islami ditemui di Bandung, Minggu (9/4/2017) kemarin.Â
Advertisement
Baca Juga
Ia menilai kebutuhan tenaga kerja IT dipicu dari adanya kesenjangan (gap) antara ide kreatif di tingkat pemodal dan penguasaan IT untuk merealisasikan ide tersebut. Padahal, para investor tersebut dinilai siap menggelontorkan modalnya.
Sementara, Project Manager Monicca dari Startup Astrajingga, Syaifullah Abdurrachman, menambahkan tenaga kerja ITÂ siap kerja menjadi salah satu permasalahan serius bagi startup digital. Monicca sendiri, kata Syaifullah, tengah kekurangan pekerja IT.
"Kami sudah membuka lowongan. Akan tetapi, tidak mudah menemukan pekerja IT yang memiliki skill seperti yang dibutuhkan. Contohnya, programmer untuk Android. Itu juga masih jarang," katanya.
Permodalan Startup
Tak cuma soal tenaga kerja IT, Nur melanjutkan bahwa startup juga terkendala permodalan. Kebanyakan startup mendapatkan suntikan dana dari luar, seperti Singapura. Namun, para startup itu pada akhirnya menjadi pemegang saham minoritas.
"Umumnya, pembagian saham investor asing bisa mencapai 70-99 persen. Ada startup yang akhirnya hanya tinggal memiliki 1 persen saham. Pola investasinya banyak yang memberatkan startup," kata Nur.
Lebih lanjut, persoalan lain yang dihadapi startup, khususnya di sektor financial technology (fintech), adalah pemahaman terhadap regulasi. Menurutnya, tidak semua startup paham mengenai regulasi fintech.
Terkait permodalan, ia juga mengatakan bahwa aksesnya tidaklah mudah. Dari kebutuhan permodalan tahun pertama sebesar 250.000 dolar Amerika Serikat (AS), baru ada 60%-70% yang sebagian diantaranya berasal dari investor asing.
(Msu/Cas)